Oleh Sinta Ridwan |
Ritual Babasuh Kematian
100 tahun lalu kematian dekat, para ibu mendekap erat rumahnya.
70 dalang bergilir membaca manuskrip kuna, langsung dihapalkannya.
30 umbul kuning di panggung wayang kulit purwa dikibar angin laut.
1 gentong air berkembang 7 rupa, 3 rupa menyan, 1 gayung di hadapan.
Demi selamatkan yang masih bernapas, yang menghirup kehidupan.
Mereka membawa malapetaka, di tengah tanam paksa dan kerja rodi.
Padi kuning tak mengeluarkan bijinya, kosong, dibakar lawan pamali.
Sengsara menjadi badai yang menerpa, satu nagari bergelimpangan.
Dalang mengkidung asa, para ibu membasuh wajah anak-anaknya.
Kaki para bapak yang kapalan pun termasuk. Menginjak tanah retak.
Langit tiada kunjung menangis, purnama rasanya seperti mentari.
Air di ujung kendi dipaksa hilangkan haus dan kicauan bunyi perut.
Manuskrip kuna tergeletak di perpustakaan, menanti dibaca cicit.
Di mana bumi berputar pada porosnya sebanyak 36.500 kali, letih.
Kematian kembali datang membawa jutaan parang scythe, nyebar.
Ketakutan dibalut masker-masker, sudah lupa hirup segar udara.
Ratapan kepada langit diberinya hujan tiada berhenti, hingga April.
Semesta membasuh wajahnya, pepohonan kering mencuci tangan.
Kegelisahan menjaga jarak dari pintu keluar, di sana maut berdiri.
Mahkota berterbangan menyerbu yang ringkih, yang tak berdaya.
Ramalan tertulis aksara-aksara dalam manuskrip kuna, tak dibaca.
Makhluk-makhluk sibuk merusak diri dan melukai rahim Ibu Pertiwi.
Jalan tak lagi panjang, dunia sebatas kamar, pikiran tak menapak.
Diingatkan babasuh diri, menutup tirai lalu menyepi. Selamanya?
Kebagusan City, 10 April 2020
*Puisi ini masuk dalam buku “Kemanusiaan Pada Masa Wabah Corona” semacam Renungan 110 Penulis SATUPENA. Terbit pada Mei, 2020.
Foto diambil pada 21 Maret 2020 di Kebagusan, Jakarta.