Barus: Kearifan Lokal III

Dirangkai oleh Sinta Ridwan |

Kearifan Lokal III: ‘Hukuman’ Begu Somboan (Perbandingan Waktu Masih 1922) 

- untuk ceritarempahbarus.org | Rilis 17 Juni 2021 |

Jika seorang perempuan muncul dalam mimpi, maka untuk menghormati Begu Sombaon dipotongnya seekor ayam putih, kelabu dan hitam kemudian Bona Hayu memanggil: “Hai, Begu Sombaon, berikan agar aku menemukan kamper di salah satu jenis pohon kamper itu, apakah sedikit, sedang atau banyak. Jika tidak, maka aku akan mati karena malu”. Setelah itu, Bona Hayu kembali kepada pemesannya untuk memberitahukan warna kerbau yang akan dipotong sebagai sesaji untuk dipersembahkan kepada Begu Sombaon.

Kadang-kadang yang diminta tidak sekadar kerbau, bahkan anak-anak dari raja-raja yang dicuri secara alami di kampung terdekatnya dan kemudian dibiarkan begitu saja di hutan untuk dimangsa Begu Sombaon. Anak-anak tersebut memang dimangsa, tetapi oleh binatang buas. Jika keinginan Begu Sombaon terpenuhi dan sesaji diberikan, maka di bawah bimbingan para pemimpin yang ditunjuk, orang-orang pergi masuk hutan dan menebang sesuai petunjuk Bona Hayu. Kebanyakan mereka memperoleh hasil yang memuaskan sebagai imbalan atas semua kesulitan.

Tetapi kadang-kadang petunjuk dari Bona Hayu terbukti salah dan tidak ada kamper yang ditemukan. Bona Hayu memberikan perhatiannya kepada dampak aturan larangan yang tidak mencukupi, mantra kembali dibacakan, dan akhirnya minta sesaji lagi untuk diberikan kepada Begu Sombaon. Kadang-kadang pemesan memenuhi permintaan Bona Hayu, tetapi kadang-kadang juga tidak. Bila tidak dipenuhi, Bona Hayu bertanggung jawab untuk ditaatinya janji-janji itu kepada Begu Sombaon.

Sementara untuk mencegah bencana, ia mengangkat salah seorang pembantunya sebagai penggantinya. Apabila pembantunya tidur pada petang hari, ia meletakkan kain putih di kepala dan berkata kepada Begu Sombaon: “Roh agung, sungguh menyesal aku tidak boleh memenuhi permintaanmu untuk memberi sesaji apa yang kau inginkan, tetapi terimalah sesaji manusia ini agar aku memperoleh kamper dan tetap hidup.”

Menurut orang-orang mangsa akan langsung mati, tetapi sejak masa Kumpeni Belanda, Begu Sombaon seperti semua roh lain yang tidak lagi menyukai mangsa manusia dan tidak ada lagi orang-orang lenyap dengan cara ini. Begu Sombaontidak begitu keras terhadap para pelanggar pantangannya, ia hanya membuat orang sakit atau miskin dan bahkan patah tulang, sehingga kemudian mereka akan mati karena dampak-dampak ini.

Dalam pencarian kamper, ada pantangan berupa kata-kata verbal dan ada pantangan untuk tindakan. Pencari kamper tidak berbicara tentang sendok, karena sendok berarti ular yang membahayakan. Karena itu mereka berbicara tentang suatu lemuk—satu kata yang berarti sendok. Juga dilarang berbicara gading, tetapi menyebut tanduk, karena gajah akan merusak gubuk mereka. Untuk orang yang masuk gubuk harus mengucapkan kata-kata, “Aku datang”, karena orang yakin kalau melanggar hal tersebut akan dimangsa harimau.

Apabila orang kembali dengan panen kamper yang melimpah, kedatangan mereka dirayakan dengan gondang dan manortor. Menariknya—atau uniknya menurut si pencatat, bahwa Bona Hayu tidak boleh dituntut karena kesalahannya, ia juga bebas pajak. Dalam pembicaraan awam, orang meyakini pada akhirnya nasib Bona Hayu mati dalam kemiskinan. Sementara penyembelihan hewan sebagai sesaji untuk memperoleh kamper.

Kisah ini juga diberitakan oleh Ibn Bat’ sebagai berikut, “Perihal pohon-pohon yang mengandung kamper adalah sejenis buluh yang serupa dengan tanaman air di kawasan ‘kita’, perbedaannya adalah bagian di antara dua bonjol lebih panjang dan lebih tebal. Ketika batangnya dipotong tangkai yang mengandung kamper (akan) kelihatan. Ada suatu rahasia yang mengherankan, yaitu kamper hanya diperoleh dari dalam batangan buluh jika seekor binatang disembelihkan pada kaki pohonnya. Di kawasan ini kamper yang terbaik disebut al-hardãlah dan mencapai derajat kedinginan yang tertinggi. Beratnya sedragma (atau kurang lebih 3,24 gram, dalam catatan penerjemah) yang cukup untuk mematikan seseorang dalam pernapasan. Jenis kamper ini diperoleh dari pohon buluh yang di dekatnya telah disembelih seorang manusia. Korban manusia boleh diganti dengan beberapa gajah muda” (dalam Nurfaizal, 2018).

Petikan tersebut untuk mengkonfirmasi penyembelihan hewan bahkan manusia untuk sesaji dalam mendapatkan kamper yang disebut dalam legenda kamper. Sementara penyebutan pohonnya dari bulu oleh Ibn Bat’ yang ditulis khusus dalam jurnalnya Nurfaizal (2018) ini disebut sebagai kekeliruan, karena mungkin bahan bersilika atau sumsum dalam batangan buluh dipercaya sebagai kamper (atau tabachir), jika isinya berupa sumsum, maka kekeliruan mungkin berawal dari cara penduduk menempatkan, yang menyimpan getah cair dari kamper dalam batang-batang bambu di mana sebagai tempat proses pengentalan berlangsung. Nurfaizal (2018) menyebutkan catatan Duarte Barbosa yang ditulis pada abad ke-16 M, kamper dijual dalam potongan batangan bambu.

***

Demikian kumpulan dua catatan dalam perbandingan perbandingan waktu, yaitu 2019 dan 1922, sebagaimana dirangkum untuk melihat tingkah pola dan tindak laku pencari atau pengambil kamper yang berhubungan dengan kearifan lokal dan kisah legenda sendiri sebagai tradisi lisan yang diwarisi secara turun temurun.

Langkanya keberadaan pohon kamper barus sendiri dan mahalnya harga penjualan minyak umbil di pasaran serta keberadaan kamper berkualitas dan bernilai tinggi ini harus diperhatikan oleh pihak-pihak yang saling terkait. Ketika pohon-pohon kamper barus ini mulai langka bahkan hilang tiada lagi jejaknya di masa kini, atau menjadi punah statusnya di masa depan kelak, menandakan adanya kearifan lokal yang turun menghilang. (SINRID)

Referensi:

Nurfaizal. (2018). “Barus dan Kamper dalam Sejarah Awal Islam Nusantara”. Jurnal NUSANTARA: Journal for Southeast Asian Islamis Studies Vol. 14, No. 2, Desember 2018, hlm. 76-92.

Liberti, Pasti. (2019). ‘Air Kebajikan’ dari Barus. Dalam news.detik.com atau detikX INTERMESO, liputan khusus. Diakses pada 28 April 2021, 21.38 WIB. https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20190521/Mendulang-Emas-Kapur-Barus/

Farsyah, Mudha. (2007). Kearifan Tradisional Masyarakat Desa Sibanggor Julu yang Berkaitan dengan Pemeliharaan Lingkungan Alam di Kabupaten Madina Provinsi Sumatera Utara. Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Dirangkai pada 2 Mei 2021 di Surya Mulia IV, Jakarta Barat (Sinta Ridwan)

Karena belum pernah mengunjungi Barus secara langsung, menggunakan foto yang diambil oleh Dr. Tompi featuring Indonesia Kaya pada 21 November 2019.

Kategori: Barus dan Tulisan.