Mentari Tertawa

Oleh Sinta Ridwan |

Ceritanya ini adalah cerita pendek. Aku lupa kenapa aku bisa menuliskan hal seperti ini, mungkin karena sedang lapar dan sendirian di kostan? Atau saat sedang mengambil uang di mesin ATM aku melihat seorang bapak-bapak dan, ah, aku benar-benar lupa.

Mentari Pun Ikut Tertawa

Hak asasi belum sepenuhnya didapat. Masih ada yang tergantung di langit, masih berupa impian, bahkan belum ada yang terealisasi. Mirip rombongan peracik nuklir yang menunggu waktu untuk diledakkan. Juga seperti bintang hitam yang mengapung-apung, tak bernyawa, meminta dijepit kuat angkasa. Perbedaan mempengaruhi jaminan. Membicarakan sosial? Lain lagi. Manusia memiliki banyak sifat dan sikap. Terkadang berselimut arogan semacam pakaian besi untuk melawan yang tak sekelas. Dikibas tuntas, karena dianggap mengganggu jalan kelancaran, bikin jelek pemandangan dan dianggap sampah.

Malam itu aku sedang memandang langit. Berdiri di puncak batu besar yang sudah lama tidur di bukit penuh bebatuan. Entah bebatuan dari mana asalnya. Aku tak memikirkannya, aku hanya mampu berteriak kesetanan. Meluapkan rasa yang sudah membatu di dalam diri. Layaknya kerang yang menjadi kapur di bebukitan. Aku sedang protes, entah pada siapa. Seperti sedang orasi, tapi tak paham betul dengan kata-kata yang keluar dari mulut ini. Hanya mengeluhkan soal pola pikir para penghuni bumi.

Ibarat lahar muncrat dari otak. Enyahkan peraturan kelokalan, ekonomi dan politik saling berkejaran, satu pihak menang dan menguasai. Otak di kepalaku penuh dengan tata cara, adat istiadat dan kearifan lokal. Meski sangat aku junjung, namun beberapa hal aku kurang suka. Pada akhirnya aku termakan pikiranku sendiri, sampai-sampai menerjang batu jurang yang tanpa kusadari membelah hati nurani. Aku terjebak di perbatasan sekat modern, tradisional dan feodal.

Aku masih berteriak pada langit, bintang yang tak bersalah pun aku maki. Menjerit penuh kalap pada awan-awan yang sekadar lewat. Tujuanku satu pada malam itu, aku ingin menyampaikan sesuatu pada Pencipta, yang entah ada di mana-mana. Napasku tersedak angin malam, saat menjerit ke sekian kali.

“Lakukan sesuka-Mu, aku akan angkat pedang, uhuk, uhuk.”

Batuk yang sangat kering. Kakiku mendadak lemas. Sudah satu jam aku berdiri di puncak batu ini. Lalu kuputuskan duduk di ujungnya. Dan terpaku. Diam seribu teriakan. Cling! Sebuah benda dari kantong celana terjatuh. Kurogoh dari sela sekat dan semak, yang kupegang ternyata asbak perak oleh-oleh dari Australia pemberian seniman senior yang tidak seharusnya kubalas cintanya. Dan sampai detik itu juga, aku tak pernah jatuh cinta padanya.

Asbak itu tak aku gunakan untuk buang abu rokok. Aku pijit tombolnya hingga terbuka kotak, terlihat kertas itu masih ada. Selembar kertas yang membuatku hampir buta, hampir haus pada makna keadilan. Keadilan yang ketika berada di posisi aku harus memilih melangkah ke mana dan kenapa aku harus memutuskan pergi ke sana. Di suatu waktu aku harus bercucuran air mata menangisi pengemis tua yang mati tanpa dililit baju, terkujur kaku di samping restoran mewah di Jalan Raya, sekitar kawasan wisata kota bunga.

***

Tujuh belas jam yang lalu.

Jalan Raya itu disesaki tubuh-tubuh angkot. Masing-masing sibuk memberangkatkan generasi anak zaman sekarang yang dianggap penerusnya bangsa ke penjara otak dan kreasi yang mengatasnamakan pendidikan formal. Sepanjang jalan meski berdiri namun rapuh, beberapa pohon besar yang masih sempat mencairkan embun dari ujung helai daunnya. Memberi sedikit harapan pada para pengendara motor, termasuk aku.

Motor kuparkir di depan warung bule, di jejeran kanan kirinya beragam factory outlet. Langkahku menuju ke dalam, hendak membeli sarapan dan sebungkus rokok. Kedua tangan terlihat sibuk, yang kanan membawa sarapan, punggung memanggul ransel, jari manis tergantung kunci motor, hendak membuka pintu juga sambil menyobek bungkus roti. Saking sibuknya, roti yang baru kusobek bajunya pun terjatuh. Argh. Mataku melotot melihat tubuh roti yang terhempas di tanah berlapis beton. Ia menggelinding.

Roti berhenti di samping sebuah kaki. Kuamati kaki itu, lalu ke arah paha, ke punggungnya, dan kepala paling akhir. Oh, tubuh itu. Kaku. Membiru tanpa baju. Kubiarkan roti yang mulai dikerubungi semut-semut lapar yang berpindah dari mulutnya tubuh kaku itu. Aku terkesiap, menutup mulut, lalu berlari ke dalam warung kembali. Kutemui dua penjaga warung, langsung berteriak-teriak kesetanan.

“Kalian, hei, Kang, Mas, tolong. Itu ada orang di depan, di sebelah pintu. Ayo, ke sana sekarang!”

Punten, Teh. Kami sedang sibuk. Banyak antrian. Teteh kan bisa lihat sendiri.”

“Sebentar saja, ada orang kaku di situ, mulutnya sudah penuh semut. Diam seperti waktu berhenti. Entah apakah masih hidup atau mati. Tadi saat buka pintu pas buka warung memangnya kalian tak melihatnya?”

“Beda, Teh. Bagian depan tugasnya Mamang bebersih. Biasanya sepuluh menit lagi baru lewat.”

“Maaf, Teh, jangan di sini, itu antrian makin mengular.”

Aku melotot pada dua penjaga warung, hendak mencari petugas pengamanan, tak kutemukan. Kulangkah keluar dan membanting pintu berbaju “open” dan “push”. Kuhampiri lagi tubuh kaku itu. Suasana parkir sebelah warung lebih sepi dibanding parkiran depan, bahkan Jalan Raya yang masih macet.

Apa yang harus kulakukan? Tubuh ini tak bisa kuangkat. Mungkin sudah mati berjam-jam yang lalu. Kuberanikan diri untuk menyentuh dadanya, tak ada yang berdetak. Mayat kah ini? Ah, aku menyesal kenapa aku tak kuliah di ilmu kesehatan dulu, kenapa sewaktu menjadi anggota PMR tidak belajar dengan benar soal penanganan pertama menghadapi musibah. Hei, bukan waktunya mengutuk diri. Aku kembali berlari sambil barang-barang di kedua tanganku dimasukkan ke dalam ransel.

“Pak, tolong. Ada orang kayaknya sudah mati di sana.” Tunjuk telunjukku ke bapak tua tukang ojeg yang sedang menunggu penumpang turun dari angkot.

“Ah, Neng. Mungkin lagi tidur.” Ia bersiap menyalakan motor, penumpangnya sudah naik di jok belakang.

Enggak, Pak. Ke sana dulu, yuk, makanya. Biar bisa dipastikan. Orang itu mati atau lagi tidur. Ayo, Pak.” Aku memohon. Mengiba.

“Aduh, Neng. Nanti saja, Mang nanti balik lagi. Ini lagi dikejar setoran. Kalau ngurusi yang kayak begitu, kapan cari uangnya. Engké setoranana kurang atuh. Mang jalan dulu.” Motornya tak bisa kutahan. Angkot-angkot yang melintas tak bergeming, seperti biasa berebut penumpang, saling kejar-kejaran. Mengejar setoran juga.

Sesaat aku terpaku. Bingung dan mencari orang. Tak juga ketemu, aku balik badan ke arah tubuh kaku yang kembali dikerubuti semut. Kian penuh, pun rotiku juga penuh semut. Apa yang harus aku lakukan? Tiba-tiba aku ingat rumah sakit. Aku telpon bagian informasi hendak meminta nomer rumah sakit.

Langsung saja kumatikan telpon setelah mendengar pihak rumah sakit. Ia bilang untuk urusan penemuan mayat, harus menghubungi polisi dulu. Nanti pihak polisi yang menghubungi rumah sakit. Tubuhnya sudah mati, jadi tak usah terlalu panik. Panik katanya? Jangan panik? Aku boleh omong kasar di sini? Setan! Mereka tahu dari mana tubuh kaku itu sudah mati atau belum?

Langit di balik pohon kian membiru. Sang mentari yang dari tadi memperhatikan seperti mentertawakan aku. Aku semakin bingung. Mentari tak mau bantu, pepohonan hanya diam membisu, angin-angin hanya lalu lalang saja.

Aku kembali berlari, ke kantor polisi kali ini. Jaraknya sekitar satu kilometer. Saking gugupnya aku lupa kalau aku ada motor. Mungkin bisa lebih cepat.

“Pak Polisi, tolong. Di sana ada yang tergeletak. Kelihatannya sudah mati.” Ujarku sesampainya di POS Polisi. Dengan nada santai polisi yang sedang baca koran menjawab,

“Kenapa, Neng téh. Sini minum-minum dulu. Bapak punya air gelas kemasan. Sok atuh cerita aya naon? Kejadiannya bagaimana? Apa penyebabnya? Bapak panggil yang lagi jaga di jalan juga biar jadi saksi.”

“Ayo, Pak. Tak usah minum-minum segala. Saya mohon segera ke sana. Siapa tahu masih hidup.” Polisi yang berdatangan malah senyam-senyum melihatku panik dan gemetar.

Kaleum atuh, Neng.” Aku pun menjerit. “Cepat ke sana!”

“Itu ada tubuh terbujur kaku seperti mayat. Atau malah sekarat. Malah bercanda begini. Ke rumah sakit ditelpon malah disuruh ke polisi, di sini malah santai saja. Ayo, Pak. Kalau pun disuruh bayar, nanti saya usahakan. Kalau ada arsip untuk dokumentasi, nanti saya tanda tangan. Sekarang ke sana, cepat!” Teriakku sambil menghela keringat yang bercucuran di dahi dan kedua pipi.

Hampir setengah jam tubuh itu baru di balik punggungnya, sudah tua. Kata polisi ia mati kelaparan. Ia mati kedinginan sudah berjam-jam lamanya. Belum ketahuan mati jam berapa. Tetiba setelah ada police line keramaian mendekat. Mengerubung.

Wuih, ada apa itu di sana. Ada polisi. Ayo ke sana. Kita lihat siapa yang mati? Koruptor? Politisi? Atau cuma gelandangan?”

Mereka yang penasaran langsung menghentikan kendaraan, tak peduli bebunyian klakson yang mengusir. Tubuh mati itu dikerumuni bukan hanya semut, tapi oleh orang-orang juga. Dikiranya hanya pengemis, tak penting. Lalu setelah melihat-lihat mereka pun melanjutkan aktivitasnya, rutinitasnya. Hatiku menangis, kakiku lemas.

Aku ikut berdesakan untuk melihat lagi tubuh kaku yang sudah dibungkus orange itu. Entah mau dibawa ke mana. Saat aku meminta untuk ikut mendampingi, aku disuruh pergi, tak boleh ikut campur.

Aku pun duduk lemas di tempat tubuh kaku berbaring. Baru sepuluh menit yang lalu, garis polisi juga sudah dicabut guna kenyamanan pelanggan warung. Suasana kembali seperti semula, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Kulihat roti yang tak habis digigit ratusan semut. Semut pun bahkan telah pergi. Aku ambil roti itu, lalu kumakan. Kenapa tadi roti ini harus jatuh. Andai tidak jatuh. Aku tidak akan duduk di sini. Apakah tubuh itu merasa lapar dan ingin roti ini? Bukankah di alam sana ada banyak makanan untuk orang-orang mati?

Kulihat ada secarik kertas putih. Seperti bekas digenggam erat tubuh kaku itu. Mungkinkah kertas itu dibuang polisi saat hendak mengangkut tubuhnya? Aku pungut lalu kubaca. Lho, ini struk ATM. Tanda bukti transaksi pengambilan uang di mesin ATM. Lecek dan kusut. Kenapa ia menggenggam kertas ini? Kenapa ia membaca kertas kecil ini? Punyanya kah? Atau ia pungut di tong sampah sebelah mesin? Kulihat memang ada mesin di sebelah warung.

Kertas struk bertuliskan nominal rupiah dua juta. Maksudnya apa? Apa ia menginginkan sejumlah uang itu? Apa ia berkhayal jika punya uang sebanyak itu lalu bisa memesan makanan yang ia mau? Atau jangan-jangan ia bukan gelandangan atau pengemis, tetapi orang yang memang sedang mengambil uang dari mesin ATM lalu terkena serangan jantung atau dirampok dan dibunuh?

Ah, otakku penuh tanda tanya. Kalaupun ia bukan pengemis atau orang yang tak hidup di jalanan, kenapa pakaiannya compang-camping? Siapakah ia? Kenapa matinya? Pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir deras tanpa kutahu jawabannya.

Hanya perlu lima menit aku habiskan roti yang terjatuh dan dirubung semut itu. Kertas yang membuatku berpikir rupa-rupa itu kumasukkan ke dalam asbak perak pemberian seniman yang tidak boleh dan tak akan aku cintai. Aku pun lanjut pergi menuju kampus. Awan-awan di atas sana masih lalu lalang di langit yang kian membiru. Dan sang mentari pun masih saja mentertawakan aku.

Ujungberung V, 15 Juli 2008

Foto diambil di Batu Karas pada 19 Agustus 2008.

Kategori: Cerpen dan Tulisan.