Naga Blasteran

Oleh Sinta Ridwan |

Naga Blasteran

Pangeran Kutai Kartanagara menuntut ilmu ke Majapahit
di abad ke-14. Para seniman belajar tari topeng ke Cirebon.
Pimpinan adat berguru ilmu pada para maha merah Pajajaran.

Hasilnya, Hindu kalahkan Animisme, berjaya dari abad ke-5.
Tertulis di prasasti yang paling terkenal, aksara dipola penguasa.

Keyakinan baru menjadikannya berbeda. Segala naga masa lalu
menjadi korban. Disulap, menjelma binatang campur aduk. Absurd.

Ia bermahkota, bukannya raja. Berbelalai dan bergading, laiknya gajah.
Bersayap, bukannya burung. Bersisik, laiknya ikan. Bertaji, bukannya ayam.
Berkepala naga. Berbadan lembu. Tubuhnya berkilau emas. Seluruhnya.

Ah, naga paksi. Muncul sebagai blasteran. Mirip es teller tujuh-tujuh.
Campur aduk, namun enak. Rindu, bermain sekali lagi denganmu Naga Indo.

Kutai Kartanagara, 7 Maret 2009

*Puisi ini dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Minggu, 3 Mei 2009 di Rubrik Khazanah, Kolom Pertemuan Kecil halaman 33. Puisi ini ada dalam buku Secangkir Bintang handmade dan Secangkir Bintang V1.7. Puisi ini juga masuk dalam buku “Di Kamar Mandi” (Antologi Puisi 62 Penyair Jawa Barat Terkini, Mei 2012 halaman 183-185).

Foto diambil pada 7 Maret 2009 di Kutai Kartanagara.

Kategori: Mengolah dan Puisi.