Sepucuk Maut

Oleh Sinta Ridwan |

Cerita ini seperti membayangkan detik-detik kematian. Apakah masih sempat mengetik setiap menit yang berlalu? Entah, siapa yang bisa meramal waktu kematian datang? Agak aneh sih kalau menyebut ini cerpen, bukan kan ya? Malah kayak puisi panjang, hehehe.

Patuk Sepucuk Maut

Aku baru saja meminum pil penahan rasa sakit ini, Kang. Dua butir langsung ditambah seteguk air es dingin. Kang, jika saja, andai waktu menghentikan aku untuk bernapas malam ini, jangan tangisi aku. Aku tidak ingin melihat wajah lebammu, jelek itu. Mukamu berubah sehabis menangis. Apalagi menangis sehari semalam, atau butuh berapa hari untuk menangisiku? Aku terlalu menaruh hati padamu, sayang. [Send to 628111666999]

Tiga puluh jam yang lalu.

Di rumahmu. Kamu tahu kenapa aku memanggilmu Akang? Meski kamu bukan keturunan Sunda, malah Londo campur Jowo. Tapi aku tetap memanggilmu Akang. Karena kita bertemu di Parisj van Java. Kotanya para kembang. Dan kenapa aku masih saja panggil kamu Akang? Karena kamu bisa berdiksi Sunda, berdialek Sunda, berucap Sunda. Nada bicaramu seperti berlagu. Aku ini sedang merantau, jadi bertemu denganmu seperti di kampung halaman Ibu. Di mana-mana terdengar suara itu, kata-kata daerah yang hampir tak pernah aku pakai.

Pagi itu aku terbangun. Sampai hitungan menit aku memandangi wajahmu yang masih terlelap. Wajahmu seperti bayi. Semalam kamu begadang, menemani aku melihat langit. Lagi banyak bintangnya. Kamu tertawa melihatku menghitung bintang pakai kalkulator. Kenapa pakai kalkulator segala, tanyamu. Karena aku sudah tak mampu lagi berhitung pakai jari. Jariku sendiri. Jari-jariku lumpuh, Kang. Jari tanganku yang selama ini kupunya sepuluh, hanya tinggal jari tengah yang masih mau menemaniku. Yang lain? Kaku seperti batu.

Mengapa aku harus repot menghitung bintang malam itu segala, tanyamu lagi. Karena aku ingin sekali tahu. Seberapa banyak bintang yang masih mau menemani aku. Bintang yang mana sajakah yang ingin menjadi temanku di kehidupan nanti. Lalu aku bertanya padanya. Kenapa kamu masih mau menemaniku malam ini, Kang? Katamu, karena hanya ingin memelukku dan melihatku tersenyum saat tidur. Ah, itu sajakah? Tiada alasan yang lain agar aku bisa lebih lama hidup?

Kang, aku tahu kamu begitu sayang padaku. Tapi aku masih saja bertanya-tanya dalam diri, kenapa kamu begitu mencintai aku, Kang? Masih banyak perempuan lain.

Tiga puluh enam jam yang lalu.

Di pemakaman sahabatmu. Aku ikut sedih, Kang. Aku melihatmu jelek sekali. Aku baru tahu kalau mukamu berwarna seperti tomat sehabis menangis. Aku tak suka melihatmu memiliki wajah tomat seperti itu. Aku tahu kamu begitu kehilangan teman terbaikmu, sudah seperti kakak perempuan, dewi penolong juga, dan paling utama, sosok seorang Ibu. Bagimu ia sangat penting dalam hidupmu.

Kamu pasti sangat kehilangan. Aku pun. Tadi aku sempat melihat senyum terakhirnya saat kau bilang thank you dari jauh. Tepat di belakang punggungku, suaramu itu. Setelah masuk ke dalam perut bumi. Kamu mendekatinya, di atas tanah air matamu berjatuhan. Tapi aku tak bisa menangis, Kang. Aku hanya mampu meratapimu. Aku tidak bisa menyentuhmu. Meski kedua tanganku ini ingin sekali memelukmu.

Aku hanya bisa menatap wajah jelekmu yang seperti tomat itu. Dan lucunya, itu adalah buah yang paling kau benci, meski kau seorang guru sekaligus koki. Seharusnya koki tak boleh membenci apa pun untuk diolahnya. Ah, kamu, Kang. Tanpa bisa memelukmu, tanganku seperti lunglai tidak mampu bergerak. Meski ingin membelai, mengusap air matamu sembari mengucap, sudah ikhlaskan saja. Manusia diciptakan memang untuk mati.

Tiga puluh empat jam yang lalu.

Di rumah duka. Akhirnya aku menyingkir. Aku menyendiri merenung di pinggir kolam. Di rumah duka yang indah nan eksotis, rumah yang juga kau idamkan. Rumah ini salah satu kawanmu, teman dekat sahabatmu yang baru saja pergi itu. Aku merasa ditinggal olehmu. Karena kamu harus menemani semua teman-temanmu yang juga teman-temannya. Orang-orang yang merasa ditinggalkan. Aku paham. Itulah mengapa aku sendiri memandangi mata-mata para ikan-ikan koi yang meratapiku.

Tiga puluh jam yang lalu.

Di kantorku. Sebenarnya. Aku sedang kesal pada dunia. Aku benci pada peradaban ini. Aku muak dengan perbedaan. Aku jijik pada tolak ukur. Aku marah pada adat. Aku sedih pada bibit. Pada bebet. Pada bobot.

Tiga puluh jam yang lalu.

Di restoran. Aku merasa. Aku semakin kehilanganmu.

Dua puluh jam yang lalu.

Di kamarku. Dan aku semakin kehilanganmu. Kamu biarkan aku tidur sendirian tanpa usapan jemarimu di rambutku. Tanpa kecupan di keningku. Tanpa ada ciuman mesramu. Yang sungguh tulus itu.

Lima belas jam yang lalu.

Di ruang karyaku. Tapi aku masih bisa menghibur diri sendiri. Di rumah sendiri aku punya penghibur. Aku senang, aku masih bisa berkarya. Lewat tulisan. Menggambarkan suasana gembira. Menyenangkan orang-orang dengan kata-kata. Setidaknya, aku menyukai duniaku sendiri. Bila malam tiba dan aku sendirian, aku lukis serpihan hidupku dengan sisa jariku yang masih bisa bergerak. Walau hanya bisa memencet tombol per tombol. Tombol untuk merekam objek-objek yang semu.

Sepuluh jam yang lalu.

Di ruang TV. Aku mulai lelah, Kang.

Delapan jam yang lalu.

Di kamarku. Aku kehilangan keseimbanganku. Aku kehilangan separuh hidupku. Eh, bukan kehilangan. Tapi aku sengaja biarkan hidupku dibawa kakaktua putih yang banyak omong milik tetanggaku. Tapi bagaimana bisa burung itu melepas jerat besi di kakinya yang dipasang sebelah dinding tamanku.

O, aku baru ingat. Di tengah sisa kesadaranku. Rupanya aku diam-diam telah melepaskannya. Lewat jam malam, diam-diam kulepas rantai itu, walau tanganku dipatuk-patuknya. Oleh mulut berwarna orange itu hingga berdarah. Dalam sakit itu, aku masih sempat meliriknya sambil mengagumi jambul kerennya.

Enam jam yang lalu.

Masih di ruang TV. Aku masih sendiri. Orang-orang mulai meninggalkanku. Kurasa begitu.

Empat jam yang lalu.

Di sofa merahku. Kau tak kunjung datang juga. Masih bersama teman-temanmu. Atau dengan siapa?

Dua jam yang lalu.

Masih di sofa merahku. Aku terdiam. Akhirnya, lima menit lalu, baru kau balas kiriman pesan dari hatimu. Tapi sayang, aku tidak bisa membalas pesanmu langsung. Karena aku…*

Satu jam yang lalu.

Masih saja di sofa merahku. Kelelahan merenggut semangatku. Kecapaian menyampakkan senyumku. Kenyerian mencabut nadi bahagiaku. Aku menggigil. Aku telah disantet oleh penguasa demam.

Sepuluh menit yang lalu.

Di ruang makanku. Aku mengambil obat penahan rasa sakit. Sampai tiba waktunya kupandangi dua pil itu. Selama ini kuhindari sekali obat-obatan begini. Kecuali saat aku benar-benar membutuhkannya. Kuminum dua sekaligus. Sakit badanku tak dapat kurasa lagi. Aku sudah lelah dengan kesakitan-kesakitan dalam tubuh yang tak bisa dilihat dari jam pasir yang terus mengucur sisa butirannya. Yang hanya bisa dirasa oleh cokelat pahit yang selalu kau beri, Kang. Yang ada tulisan made in Holland itu.

Sekarang.

Di kamarku lagi. Waktunya. Aku mulai menahan mual dengan lambungku. Aku merasa darahku menetes ke bantal tempatku menyandar. Kuucapkan firman-Nya. Tubuhku merebah. Kuingat orang-orang yang kusayang, kukasihi. Aku catat orang-orang yang baik padaku, yang senyum padaku. Kumaafkan orang-orang yang telah menyakiti hatiku, ragaku dan yang meninggalkanku.

Mumpung masih ada waktu.

Kudoakan orang yang sudah melahirkanku. Kuucapkan terima kasih kepada kedua orangtuaku. Para leluhurku. Aku berdoa untuk imanku. Kuucap lafal milik-Nya. Aku meratap menatap gambarku sendiri di dinding. Kuucap sepatah dua patah kata, “Bila kita bertemu lagi esok. Jangan kamu buat mukamu jadi jelek ya, Kang. Aku benar-benar tidak mau melihatmu. Menangis di atas taburan bunga sedap malam. Bunga kesukaanku.”

Walau sesungguhnya aku tak ingin meninggalkanmu sendiri menghadapi dukamu. Walaupun hanya sesaat. Aku bersyukur dapat merasa kebaikanmu padaku. Selamat tinggal, Kang. Hati-hati dengan jalan hidupmu. Di dunia sana. [With love, Sita Rindunya, 10:35 pm]

*PS. Andai pesan ini sempat membalas pesan singkatmu itu yang seperti ini isinya. Terbitlah, Ta’ dari timur sana! Dan inilah balasanku yang belum sempat aku layangkan. Karena pulsa ponselku keburu habis. Kucoba balas. Semoga ya, Kang. Biar aku bisa menyinari dunia yang sudah kutinggalkan. [Unsend to 628111666999]

Maribaya, 1 Juni 2008

Foto diambil di Senayan, Jakarta pada 14 Juli 2008.

Kategori: Cerpen dan Tulisan.