Oleh Sinta Ridwan
Ini adalah salam penutup dalam buku Berteman dengan Kematian pada cetakan ke-II hingga ke-IV.
***
Seperti malam yang selalu menutup hari. Salam penutup ini pun akan mengakhiri hidangan kisah yang tersaji. Semoga bukan akhir dari segalanya, kisah-kisah yang lain pun diharapkan dapat kembali menjadi pagi, siang, dan senja, seumur dengan usia alam raya.
Awalnya, aku menulis Berteman Dengan Kematian (selanjutnya disingkat BDK) sekitar April 2008 dalam bentuk catatan harian pada blog, semacam curhat. Lama kelamaan curhat itu terus bersambung dan semakin panjang sampai satu setengah tahun lamanya. Kemudian aku menulis serius naskah BDK pada akhir 2009, satu tahun lebih waktu yang dibutuhkan untuk merombak dan menghabiskan empat bulan untuk memolesnya. Dipoles dengan sangat gembira karena ada penerbit yang mau mencetaknya, ya, Penerbit Ombak.
Sebelumnya naskah ini berjudul Hidup Harus Hidup, judul ini digubah menjadi BDK atas saran Mas Salahuddien GZ dan salah satu editor buku ini, Khrisna Pabichara. Didukung beberapa teman, salah satunya adalah Kang Acep Zam-zam Noor dan akhirnya disetujui oleh Direktur Ombak, Bang Nursam. Akhirnya naskah ini dicetak pada Mei, 2010 dan sempat launching di Bandung menjelang Hari Lupus se-Dunia di Bandung.
Hampir satu tahun buku BDK bertengger ria di toko-toko buku, dan kini—awal 2011—buku ini akan dicetak ulang oleh Ombak. Senang sekali rasanya mendengar niat Ombak untuk menerbitkan kembali buku ini. Aku masih tidak dapat mempercayainya bahwa buku yang kutulis dengan air mata ini dibaca banyak orang.
Jadi teringat, dulu, kekasihku selalu memuji Ombak, katanya koleksi bukunya bagus-bagus, lalu dengan diam-diam aku mengirimkan naskah BDK kepada Ombak. Dan, wow, aku tidak menyangka kalau Ombak memberiku kesempatan untuk terbitkan naskah ini. Aku gembira. Hidupku langsung berwarnakan aura penuh semangat. Lalu banyak ide sana-sini yang ingin aku usulkan pada Ombak, tapi direktur Ombak yang galak itu menegaskanku untuk tidak melakukan hal yang melebihi porsinya, penulis, ya, menulis saja, jangan ikut-ikutan mengurus tataletak dan sampul. Hahaha. Itulah aku, selalu mau ikut campur dalam mengurusi kelahiran anakku yang kedua ini. Maklum, penerbitan buku puisiku benar-benar lahir dari tanganku sendiri, mulai dari tataletak, desain sampul, menggambar sampulnya langsung, sampai menjahit jilidnya. Jadi, masih terbawa suasana “kerja sendirinya” itu.
Kenapa aku ingin sekali menerbitkan naskah ini? Ada yang bilang, naskah ini mengumbar aib dan mengumbar penderitaan. Bukan itu maksudnya. Aku sungguh menginginkan buku ini berada di tangan yang benar-benar mau membacanya. Naskah BDK, mungkin, tidak hanya memberi semangat para odapus, tetapi juga ingin memberitahu bahwa ada kisah seorang gadis yang selalu membangkang dan tidak nurut pada aturan. Ketika obat dijadikan jepitan untuk menggantungkan tubuh pada jemuran kehidupan, gadis itu malah menantang pasukan obat, mana yang lebih hebat; obat atau rokok? Kesalahan yang dianut sebagai jalan yang benar pada masa lalu memberi banyak pelajaran di masa sekarang. Kalau saja gadis itu tidak merasakan fase kisah “yang suram itu” dia tidak akan pernah merasakan kesempurnaan arti hidupnya kini. Lampu semangat yang cahayanya kadang redup dan kadang terang. Aura itulah yang ingin dibagi, juga semangat tentunya.
Naskah BDK ini juga sempat terancam dibatalkan penerbitannya karena aku terlalu lama memoles-moles si naskah, sedangkan waktunya sudah sangat mepet. Malah editan paling baru naskah ini hampir hilang gara-gara keteledoranku, satu tas ransel yang berisi laptop sempat tertinggal di Bandara Sukarno-Hatta sepulang dari Singapura awal April, 2010. Saat aku menyadari laptop hilang, aku langsung lemas, yang terpikirkan adalah naskah BDK dan data tesisku. Ternyata alam raya mendukungku, aku dipertemukan kembali dengan laptop dan seluruh isi tas ransel tanpa kurang satu apapun. Terima kasih kepada orang-orang yang telah menemukan dan menjaga tasku juga kepada Fuad,yang menemani di masa pencarian yang mendebarkan itu.
Dalam kesempatan kali ini, aku ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada orang-orang yang berarti dalam hidupku. Kepada almarhum Papah Djaja dan Mamah Dheny yang cantik, yang telah menciptakan aku sehingga menjadi seperti saat ini. Adikku satu-satunya yang paling aku sayangi, Iyang dan seluruh keluarga besarku di Cirebon, Mandirancan, dan Purwakarta. Kepada Fuad, si embun, dan keluarganya, terima kasih telah menemaniku. Untuk Mbak Ayu Arman dan Mas Salahuddien GZ untuk sharing tentang hidup dan segalanya. Kepada ketiga editor hebatku yang semuanya berasal dari Sulawesi Selatan, Bang Nursam untuk kritikan awal, yang telah memberi bara-bara semangat selama penulisan dan yang berkali-kali mengultimatum “sabar juga ada batasnya!” hehehe; Daeng Khrisna Pabichara untuk polesan-polesan indahnya di bagian 1 sampai 12—beribu maaf, ya, Daeng aku sering meneror, yang telah meluangkan sedikit waktumu yang amat berharga itu pada naskah BDK ini; dan Fuad Abdulgani, atas polesan kilatnya yang membuatku merasa mantap. Khusus terima kasihku untuk Bang Nursam dan Mbak Dewi, juga Penerbit Ombak dan seluruh penghuninya yang telah mewujudkan salah satu mimpiku; lahirnya BDK ke dunia.
Selanjutnya setangkai mawar cinta dan sekeranjang terima kasih kuberikan kepada Kang Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Ahda Imran, Iman Soleh, Mukti-Mukti, Saut Situmorang, Matdon, Kang Bode Riswandi, Kang Kimung, almarhum Kang Norvan Pecandupagi, Kang Wisnu, Mahwari Sadewa Jalutama (Arthemiz: nuhun untuk foto dan kameranya). Untuk band Cherry Bombshell yang mau tampil gratis saat launching BDK, terima kasih band impian.
Terima kasihku juga untuk geng Cerbon: Ang Arut, Ang Dodie, Pak Aman, Pak Opan, Elang Panji, dan Ang Ikhwan. Juga terima kasih sekali kepada Kang Gigi dan modem im2 serta kebaikan-kebaikan lainnya juga untuk Screamous Clothing-nya, kawanku Icak, teman-teman di Manado (Endha dan Ontet, Teri, Tole, Dea), sangat tidak lupa terima kasih banyak kepada Ibu Meidi dan teman-teman di Raja Ampat (Kak Selly, Lewis, Bestina, Yustinus, dkk), Fara Umainah, Gustar dan semua murid (kelas 1, 2, 3 dan banyak lagi) di Kelas Aksara Kuna, Mbak Rere, Mbak Tinta dan C2O, Yoga Agni (Ga, fotonya dipake buat kover belakang loh), Teh Rieke Dyah Pitaloka dan Bu Megawati-nya, juga kepada ex-IM Books: Ockky, Mar, Wiyan dan Bebe, juga geng pemburu batu di Yogyakarta: Bol Brutu dan Si Apel Putih (sekarang kamu ada temannya, hehehe). Hormat dan terima kasihku kepada dosen tercinta di filologi Unpad: Bu Prof. Partini, Bu Kalsum, dan Bu Titin atas kasih sayang dan bimbingannya sehingga aku bergelar M.Hum.
Bingkisan-bingkisan semangat juga kuberikan kepada para odapus yang telah menjadi manusia sempurna dalam hidupnya dan menghidupi orang-orang di sekelilingnya. Dan terakhir, kepada alam semesta beserta seluruh isi dan penghuninya yang memberikan energi kepadaku setiap hari, energi kehidupan untuk tetap terus hidup. Salam senyum.
Hill Top View, 19 Januari 2011: revisi cetakan ke-II
Di revisi lagi di La Rochelle, 15 November 2013
***
Salam Senyum
Untuk cetakan ke-V dan seterusnya (Amin, hehehe)
Tidak menyangka sama sekali, buku yang kawan-kawan pegang adalah cetakan kelima! Aku masih tidak percaya. Dalam kesempatan ini—sengaja membuat salam tambahan, karna secara pribadi aku ingin berterima kasih sedalam-dalamnya kepada para pembeli buku BDK di seluruh Indonesia dan khususnya para pembaca yang budiman, tanpa kalian buku ini hanya akan bertengger di toko buku selama satu atau dua minggu saja, tidak akan lebih dari empat tahun.
Buku ini aku revisi sedikit, hanya menghilangkan kata “aku” yang terlalu banyak, menyambungkan kalimat yang tidak relevan, dan mungkin setelah selesai juga masih belum bisa dianggap sempurna, banyak kekurangannya. Satu minggu aku edit naskah BDK ini, rasanya seperti kembali ke masa di mana aku menuliskannya, akhir 2009 lalu. Saat kembali membaca BDK, aku merasa dalam tulisan ini banyak sekali amarah, kebencian, dan kekecewaan. Aku sadari itu, selama menulis pun, dan sekali lagi, dalam kesempatan kali ini, aku meminta maaf sebesar-besarnya kepada orang-orang yang terlibat dalam hidupku, dan tertulis pada buku ini. Tidak ada satu pun niat jahat. Aku hanya ingin membagi pengalaman hidup. Bahwa begitulah hidupku sampai usia 25 tahun, fase-fase seorang gadis remaja yang labil.
Dulu, aku tidak bagus berkomunikasi dengan sesama, memiliki banyak sekali pendaman-pendaman masalah dan pikiran hingga tubuhku tidak dapat menampung lagi, satu-satunya cara adalah menuliskannya. Dan itu berhasil! Setelah buku BDK ini selesai, aku merasa lega, lapang, dan ringan. Menyadari bahwa hidup masih panjang, dan baru dimulai. Setelah BDK tertulis hingga 4 tahun sekarang ini, banyak pengalaman yang tidak terduga datang. Mulai dari perjalanan ke Manado hingga Raja Ampat (2010) bertemu teman-teman di sana, pada 2011 ada liputan khusus aktivitas yang kulakukan oleh Oasis, Metro TV dan Kick Andy Hope, beberapa koran lokal dan nasional juga majalah seperti Pikiran Rakyat, Kartini, Kompas dan Koran Tempo. Pada 2012, aku menerima penghargaan Young Heroes dari Kick Andy Award, untuk kelas Aksara Kuna dan tentu saja karna adanya buku BDK ini.
Pada pertengahan 2012, selain melakukan perjalanan 10 kota selama 10 hari seorang diri, mulai dari Mojokerto, Malang, Bali, Lombok, dan kota lainnya dimana aku bertemu banyak orang dan mendapatkan pengalaman seru, juga pada tahun ajaran baru aku mendapat beasiswa unggulan untuk calon dosen dari DIKTI dan melanjutkan studi filologi untuk program doktor di Unpad. Dan sekarang, tahun 2013, aku mendapat beasiswa dari Erasmus Mundus Mover untuk program join degree di Université de La Rochelle, Perancis. Ya, aku sedang ada di Perancis sekarang. Senang rasanya dapat menghirup udara di sini.
Lalu bagaimana kondisi tubuhku? Bila boleh diibaratkan, aku merasa seperti seekor burung camar yang terbang ringan dan mantap karena beban sudah terlepaskan. Saat ini yang kulakukan adalah menikmati setiap perjalanan waktu sambil menapaki satu persatu impian yang aku impikan. Seperti, dalam buku ini aku menulis cita-cita kuliah di Leiden. Namun, alam semesta menghendaki yang lain, aku malah kuliah di Perancis. Tapi jarak Belanda dan Perancis dekat sekali. Jadi, sudah aku sambangi Leiden tiga minggu lalu sewaktu kuliah libur. Dua minggu aku berada di sana, berada di perpustakaan KITLV dan perpustakaan kampus yang menyimpan banyak koleksi naskah kuno Nusantara dan dunia, serta sempat merasakan berada di kelas diskusi tentang Indonesia. Menakjubkan.
Sekali lagi, aku memohon maaf kepada orang-orang yang secara tidak langsung atau pun langsung merasa tersinggung akibat kata-kata kasar yang tertulis pada buku ini. Aku berusaha jujur pada saat itu, dan bagiku hal tersebut merupakan salah satu terapi untuk mengolah dan mengatasi hidupku. Aku merasa, saat ini, aku sudah tidak lagi merasakan hal yang sama dengan apa yang tertulis. Karna pengalaman yang tertulis dalam naskah BDK adalah bagian dari masa lalu hidupku, dan sekarang aku sedang sibuk membuat cerita untuk masa laluku lagi di masa yang akan datang, dan aku tidak ingin mengisinya dengan amarah, kekecewaan, dan kesedihan lagi. Tapi dengan senyum dan kebahagiaan. Khususnya kepada ibu, aku meminta maaf untuk semua sifat dan sikapku. Saat ini yang ada dalam pikiranku adalah ingin melakukan yang terbaik untuknya. Semoga beliau dan orang-orang yang aku sayang selalu dapat anugerah dari Sang Pencipta.
Terima kasih, kawan-kawan, semoga isi buku ini dapat memberi sebuah gambaran dari ratusan ribu cerita yang ada di bumi tentang kehidupan. Bahwa hidup harus hidup. Semua pengalaman baik atau buruk bagiku adalah bumbu-bumbu dalam kehidupanku sendiri. Dan ada dua kata kerja untuk mencapai kebahagaian itu, yaitu berbagi dan bersyukur.
Salam senyum,
Sinta Ridwan
*Foto diambil untuk web Indonesia Kreatif pada 2012 di Sumber Hidangan, Bandung.