Trah Project

Oleh Sinta Ridwan |

Berdasarkan wawancara dengan salah satu personil grup Trah sekaligus teman terdekat aku, Gigi Priadji.

Ngomongin Trah Project

Trah merupakan sebuah project adaptasi bentuk seni yang modern. Akan tetapi, tetap berpijak pada jati diri mereka sebagai orang Sunda, mereka ingin membuktikan bahwa orang Sunda yang masih berpegang pada adat dan istiadat pun dapat menggunakan teknologi dalam kesehariannya, tanpa harus menghapus jati diri dan budayanya.

Seperti melakukan bentuk perlawanan secara tidak sadar. Apa yang mereka lakukan adalah beradaptasi terhadap waktu, karena bagi mereka sesuatu yang abadi dalam hidup di dunia ini adalah “perubahan”, sehingga apa yang sedang mereka lakukan adalah sebuah bentuk pembuktian bahwa untuk menjadi sesuatu yang modern atau kekinian tidak harus menghapus jati diri. Karena jati diri akan dijadikan pijakan yang sangat kuat dalam menjalani dan beradaptasi dengan waktu. Dengan tidak perlu meruntuhkan bangunan tua bersejarah, tidak perlu membabat habis hutan, tidak perlu menebang pohon, dan tidak melupakan atau bahkan menghancurkan sejarah yang menjadi jati diri mereka sendiri. Akan tetapi juga tidak usah takut pula pada perubahan, tidak perlu. Sekali lagi karena yang abadi dalam hidup di dunia adalah “perubahan”.

Dari situlah mereka memulai menghargai alam sebagai bagian dari kearifan lokal, dimana dengan cara beradaptasi dengan waktu dan lainnya, mereka berusaha akan sangat menghargai alam sebagai tempat berpijak dan sebagai tempat terjadinya berbagai tindakan dan ritual yang kemudian akan menjadi sejarah mereka yang sangat luar biasa.

Rasa kehilangan, kerinduan, senang, cinta, sedih maupun kekhawatiran merupakan ekspresi yang tertulis dalam karya yang mereka bawakan dengan landasan alam sebagai tempat yang mewadahi sejarah yang telah dan terus berkembang. Rasa, perasaan batin adalah “roh” dari karya yang akan mereka tampilkan.

Dengan demikian mereka akan dapat mensyukuri hidup sekaligus mengenal diri, lingkungan, dan Tuhan dengan lebih baik. Apa, siapa, dan akan kemana kah nanti kita.

Trah.

Sebuah janji pada masa yang akan datang.

*

Trah project | Sarupaning Beja
An Audio Visual Collaboration Project
CCF Bandung – Jl. Purnawarman 32 Bandung
12 Februari 2011 – 18.00 WIB

Deskripsi Singkat

Sarupaning mengisyaratkan manusia tak ada yang berbeda. Semua sama, tak ada yang berlebih, pun tak berkurang. Hakikatnya manusia memang sama. Namun kenyataannya saat ini keluar dari hakikat itu sendiri. Manusia saling berlomba untuk menyombongkan dirinya, keadaannya. Merasa paling hebat dari yang lain. Sarupaning beja merupakan sebuah doa. Doa kepada yang terlebih dulu hidup dan sebagai pengingat kepada yang masih hidup. Sarupaning beja berasal dari Indramayu, sebuah doa kepada para karuhun, mengiringi kesenian gembyung, untuk mengingatkan kembali akan hakikatnya sebagai seorang manusia.

Sebuah presentase dari hasil pendokumentasian budaya khususnya seni musik pada kehidupan yang lampau yang akan dikolaborasikan dengan musik kontemporer dengan kemasan yang modern. Sehingga pertunjukan ini dapat memberikan pengalaman yang berbeda apabila kita melihat trahnya (garis keturunan) dari segi zaman maupun seniman-seniman yang terlibat dalam pertunjukan ini.

Selamat menikmati kolaborasi yang indah ini dan tentu saja setelah menyantap semua sajian, akhir kesimpulan akan menjadi sebuah refleksi kehidupan pada masing-masing penikmat, merasa me-refresh jalur yang telah ditempuh, pun menyadari akan hakikatnya sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Suguhan yang akan membuat kita eling. Ya, eling kana jatina, kana dirina, kana hirupna. Eling-eling mangka eling.

*

Mistisisme: Kepercayaan dan Kesenian

Seringkali bila kita menikmati bentuk-bentuk kesenian tradisional tertentu—khususnya kesenian asli daerah—baik yang masih dapat dilestarikan ataupun yang hampir terlupakan, kita akan merasakan ada sesuatu atau nuansa lain yang tercipta selama pertunjukan kesenian itu dimainkan. Selain merasakan aura yang berbeda, akan tercium juga wewangian yang sangat khas, seperti wangi kemenyan yang dibakar, melihat adanya sesajen yang disajikan, dan juga terdengar doa-doa dengan tata cara yang sangat khas ikut menghiasi pertunjukan kesenian tersebut.

Unsur-unsur yang terdapat pada kesenian tradisional tersebut sangat sulit dipisahkan, karena pada zaman dahulu kesenian tradisional adalah salah satu proses kreatif yang dianggap sebagai ekspresi dalam berbagai ritus. Baik yang murni sifatnya seperti acara keagamaan maupun kejadian-kejadian yang dianggap penting untuk masing-masing kebutuhan pribadi maupun kebutuhan bersama. Contohnya di lingkungan kampung adat, seperti kelahiran, perkawinan, kematian, proses penanaman bibit padi, panen, juga memperingati hari-hari tertentu seperti tahun baru (dalam hitungan kalender lokal), dan sebagainya.

Hampir semua kesenian tradisional tersebut pada dasarnya adalah bentuk dari doa syukur kepada Yang Maha Kuasa, sebagai ucapan terima kasih atas apa yang telah diberikan. Dan dengan melakukan kegiatan syukuran itu, dipercaya bahwa Yang Maha Kuasa pun pasti akan melimpahkan yang lebih baik lagi di kemudian hari.

Ekspresi keikhlasan juga terlihat dari masyarakat tradisional yang masih melakukan ritual-ritual seperti itu. Ikhlas atas apa yang telah didapat. Mereka bergotong royong demi terlaksananya upacara ritual tersebut, selain itu juga mereka dapat bersilahturahmi. Silahturahmi dengan diri sendiri, kepada sesama, sesepuh, dan alam.

Silaturahmi sendiri memiliki arti yang sangat penting dalam kepercayaan lokal. Dengan bersilaturahmi kepada diri sendiri, kita akan dapat mengendalikan ego yang ada dalam diri, sehingga kita akan mengenal diri kita lebih baik lagi dan diharapkan kita bisa jadi mahluk yang lebih baik pula.

Kemudian bersilaturahmi dengan sesama yang artinya kita dapat saling mendukung, bekerja sama, bersikap toleran agar dapat menjaga kebersamaan. Misalnya dengan orang tua, baik yang masih ada maupun yang telah tiada, karena adanya kita sekarang ini berkat orang tua hingga kita bersilaturahmi kepada nenek moyang kita juga.

Selanjutnya, arti dari bersilaturahmi dengan alam adalah menjalin hubungan dengan apa yang kita pijak, yang menaungi kita, dan juga dengan unsur-unsur kehidupan baik yang terlihat maupun tidak terlihat, terasa maupun tak terasa, dan juga yang merupakan elemen alam murni maupun elemen dari dimensi lain. Dahulu nenek moyang pun mengerti bahwa kita hidup tidaklah sendiri, ada mikro-kosmos dan makro-kosmos yang berjalan bersamaan, sehingga hingga saat ini bagian-bagian tersebut tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Tata cara bersilaturahmi seperti itulah yang akan menjadi kunci bentuk syukur kepada Yang Maha Kuasa sehingga membentuk kita sebagai manusia yang seutuhnya, dan tahapan kehidupan selanjutnya dapat dilaksanakan, yaitu berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Itulah sebabnya pada upacara-upacara adat terdapat unsur-unsur yang khas, seperti sesajen yang terdiri dari hasil bumi, yang dimaksudkan menjadi suguhan untuk para ruh nenek-moyang dan ruh lainnya yang hadir sesuai dengan pengaturan yang telah ditentukan. Pun melalui media wangi kemenyan yang dibakar (bukan asapnya) dipadukan dengan doa-doa yang khas.

Itu semua merupakan hasil karya sastra dan wujud dari kesenian—baik yang berupa musik, tarian, juga  karya-karya lain yang bernilai tinggi—juga sebagai bentuk penghormatan tersendiri, dan bukan sebagai bentuk pemujaan. Karena pada dasarnya adalah dengan adanya kita sekarang ini berkat jasa orang tua dan nenek-moyang kita, sehingga sebenarnya dalam budaya asli kita itu sendiri tidak mengenal apa itu yang disebut animisme, dinamisme, ataupun pemujaan-pemujaan lain selain hanya memuja kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Hal-hal seperti itulah yang menyebabkan tradisi dan bentuk-bentuk kesenian tradisional begitu lekat dengan unsur-unsur mistis. Dalam hal ini, mistis yang dimaksud bukanlah istilah mistis yang kerap kali dikonotasikan negatif, seperti yang merujuk pada pandangan bahwa mistis itu memuja ruh leluhur, menuhankan benda keramat, sehingga bertentangan dengan agama. Padahal arti mistis yang sesungguhnya adalah bentuk dari penghormatan kita kepada unsur-unsur kehidupan yang sudah disebutkan sebelumnya.

Acapkali arti mistis di masa sekarang diindektikkan dengan sesuatu yang menakutkan. Sangat dimaklumi bila arti mistis menurut versi kekinian adalah sesuatu yang menakutkan, seperti berhubungan dengan arwah-arwah penasaran yang bergentayangan dan menghantui, ataupun sesuatu hal yang tak masuk diakal. Mungkin hal ini disebabkan oleh dunia modern yang kita hadapi saat ini, seperti membanjirnya film-film horor atau tayangan televisi yang memuat kisah-kisah misteri yang ingin menghasilkan ketegangan-ketegangan penonton, sehingga dijadikan hiburan di tengah penatnya kesibukan dunia modern.

Akan tetapi, akhir-akhir ini kesadaran arti mistis kembali kepada arti yang sesungguhnya sesuai budaya tradisi, mistis yang merupakan local wisdom. Ya, kearifan lokal yang pernah dianggap tidak masuk akal dan tidak logis itu sebenarnya memiliki arti yang tidak dapat dijangkau, yakni beyond logic (jauh di atas logika). Arti yang seharusnya dipahami dengan cara berpikir yang matang dan bijaksana.

Yang Tersurat dan Yang Tersirat

Salah satu kesulitan yang ditemui ketika mengangkat kesenian-kesenian buhun (nenek moyang) adalah di saat menggali usia dan unsur-unsur dari sejarah terbentuknya kesenian buhun tersebut. Padahal hampir semua kesenian tersebut memiliki maknanya masing-masing, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Tersurat melalui tulisan-tulisan di beberapa naskah kuno yang saat ini sulit didapatkan dan tersirat maknanya dari tulisan tersebut, karena memang pada dasarnya setiap kesenian memiliki tujuan dan arti masing-masing. Sebagian besar kesenian berhubungan dengan alam, tumbuh di daerah pertanian, karena Jawa Barat merupakan daerah agraris dan juga di beberapa daerah pesisir yang berhubungan dengan laut sebagai sumber mata pencahariannya. Akan tetapi dapat dipastikan hampir semua bentuk kesenian tersebut merupakan ekspresi dari bentuk syukur pada Yang Maha Kuasa atas hasil alam yang telah didapat dan diakhiri dengan doa untuk selalu diberi keberkahan kedepannya.

Untuk dapat menjabarkan makna yang tersirat ini dibutuhkan pemahaman yang lebih dan pandangan yang terbuka, karena di antara bentuk kesenian-kesenian tersebut banyak mengadopsi tata cara upacara dari zaman pra- Islam, seperti Hindu atau zaman Sunda buhun (Sunda Kuna).

Tata cara upacara yang banyak ditemui sekarang merupakan penggabungan beberapa zaman, dilihat dari perjalanan sejarah Jawa Barat dan daerah lain di sekitarnya seperti Jawa tengah, terlihat dari segi bahasa yang dipakai dalam doa, rajah, susunan suguhan atau sesajen, dan lainnya.

Hampir semua bentuk kesenian tersebut diajarkan turun-temurun dari orang tua ke anak, atau dari guru ke murid. Dipelajari baik dari keahliannya maupun secara kebatinannya, karena hampir semua bentuk kesenian buhun memiliki nilai mistik yang cukup kental yang tujuannya adalah untuk mengiringi acara-acara ritual.

Pada umumnya dari segi kebatinan bila seseorang akan mempelajari seni buhun pasti ada hal-hal yang harus dilakukan terlebih dahulu, yang biasa disebut dengan pameuli (dibeli). Pameuli biasanya berbentuk puasa. Puasa dengan berbagai macam bentuknya, seperti jumlah hari dan konten dari puasanya (seperti puasa tidak makan daging, tidak makan nasi, dan sebagainya tergantung tujuan puasa itu sendiri). Hal ini dilakukan untuk membersihkan diri, adalah salah satu syarat ketika akan mempelajari kesenian buhun karena dibutuhkan hati yang bersih sebelum mempelajari kesenian-kesenian yang bernilai tinggi tersebut.

Kesulitan akan dialami ketika menjabarkan sejarah dan tujuan khusus dari kesenian buhun tersebut, karena biasanya narasumber yang sebagian besar adalah pelaku kesenian tersebut (yang lebih mengenal tentang sejarah seni dan kebatinan dari setiap kesenian) akan menutup mulutnya. Bukan karena pelit atau tidak mau berbagi cerita, tetapi karena mereka sangat menjaga toleransi yang merupakan bagian dari kehidupan yang harmonis dengan masyarakat lainnya, seperti pepatah ilmu padi “semakin berisi semakin merunduk”. Sebenarnya hal itu adalah nilai yang positif yang sangat dijaga oleh para leluhur kita dari zaman dahulu kala. Akan tetapi, seperti hal lainnya yang saling berpasangan, hal positif ini pun memiliki hal yang berlawanan yaitu negatif, hal negatif tersebut adalah kesulitan dalam mengungkapkan hal-hal yang tersirat tersebut sebagai bahan penelitian sejarah dan penelitian lainnya yang bersifat ilmiah. Bahkan para pelaku kesenian buhun sekarang pun banyak yang (sebenarnya) kurang mengerti akan apa sejarah yang bersembunyi di balik kesenian yang sering mereka lakukan atau mainkan.

Terdapat kemungkinan bahwa para pelaku kesenian zaman dahulu sangat menjaga keluhuran dari kesenian yang dibuatnya dan hanya akan membeberkan tentang arti, makna, dan tujuan sebenarnya dari seni buhun itu pada penerusnya yang benar-benar ingin mempelajari. Mereka akan membuka rahasia-rahasianya hanya kepada orang-orang yang memiliki hati yang bersih, rela berkorban, dan benar-benar ingin menjaga dan melestarikan tatari karuhun (nilai-nilai luhur yang terdapat dalam budaya buhun) dengan caranya yang unik.

Sangat diakui akan menyulitkan, penuh tantangan, dan juga membutuhkan keteguhan dalam mempelajarinya, akan tetapi tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, akan selalu ada cara dan jalan. Dan setiap langkah dalam mempelajari kesenian dan kebudayaan tersebut akan membuat kita semakin yakin dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Setidaknya seperti itulah yang kami rasakan dalam perjalanan yang masih sangat pendek dalam mempelajari kesenian dan kebudayaan buhun ini.

Ujungberung, 1 Februari 2011

Kategori: Tulisan dan Ulasan.