Barus: Berita Tionghoa

Dirangkai oleh Sinta Ridwan |

Berita Tionghoa tentang Barus Abad ke-17/18 M 

- untuk ceritarempahbarus.org | Rilis 11 Februari 2021 |

Pada masanya Barus adalah nama kawasan yang terkenal akan hasil kampernya dan berperan penting dalam perdagangan mancanegara. Tidak sedikit nama Barus dicatat dalam sumber-sumber Tionghoa. Para pejalan Tionghoa dengan berbagai latar profesinya menyebut Barus sebagai kawasan yang menjadi salah satu tempat singgah, tempat tujuan dan tentu saja sebagai penghasil kamper yang bermutu tinggi. Pertanyaan pun muncul setelahnya, apakah para pejalan Tionghoa termasuk para pedagang Tionghoa sendiri yang mengunjungi Barus hanya singgah atau berkunjung semata dan atau hanya berhubungan sebagai mitra dagang saja? Melihat beberapa peninggalan Tionghoa di sekitar Barus ditemukan seperti keramik, uang, makam dan lain sebagainya memberi ruang kajian tersendiri untuk ditelusuri lebih dalam lagi.

Hubungan Tionghoa dengan Barus yang dikaji oleh Muchsin (2017) dalam artikelnya “Barus dalam Sejarah: Kawasan Percaturan Politik, Agama dan Ekonomi Dunia” ini berangkat dari bukti arkeologis yang ditemukan di Lobu Tua. Di Lobu Tua ditemukan keramik dari Tionghoa yang usianya mencapai 2,5 abad. Dikatakan pula di Barus ditemukan sekelompok orang Tionghoa pada masa Lobu Tua yang dianggap sebagai pedagang keramik. Sementara itu istilah Lobu Tua sendiri merupakan satu pelabuhan yang berada di Barus, menurut Guilliot et al. (2002), pelabuhan tersebut didirikan oleh orang Chettiar yang terdampar secara kebetulan di sana. Pelabuhan tersebut banyak didatangi bangsa-bangsa lain sehingga terkenal dan menyimpan banyak khazanah, terutama keramik dari Tionghoa.

Keberadaan kamper barus sebagai upeti kepada Tionghoa disebut-sebut dalam sebuah tulisan karya Sui Shu. Kamper dengan istilah long-nao xiang diberikan oleh Chitu kepada Tionghoa sebagai upeti (Wolters, 1967 dalam Ptak, 2002: 123). Kamper barus digunakan dalam pengobatan tradisional Tionghoa semasa Dinasti Tang dan sesudahnya, keterangan lebih lengkap tercatat sumber tertulis karya Li Shizhen yang berjudul Bencao gangmu, memberikan gambaran terperinci tentang cara long-nao xiang yang digunakan sebagai obat sakit gigi, sakit kepala dan sakit lainnya. Sementara bagian lainnya, yaitu kayu dari pohon barus digunakan sebagai bahan ukiran (Ptak, 2002: 124).

De Buy dalam laporannya berjudul Twee Jaren op Sumatra’s Westkust memberikan catatan sendiri mengenai kunjungannya ke Barus pada pertengahan ke-19 M. Ia mencatat penjualan salah seorang saudagar Tionghoa di Barus bisa mencapai ratusan peti kapur barus dan kemenyan, yang penjualannya sampai ke Singapura atau ke Pulau Penang (dalam Azhari, 2017: 18). Melihat laporan ini dapat diasumsikan bahwa para pedagang Tionghoa ada yang melanjutkan hidupnya dan tinggal di Barus.

Selain keramik, indikasi orang Tionghoa yang menetap di Barus dan sekitarnya dibuktikan dengan peninggalan makam-makam kuna. Lima kompleks makam di sekitar Barus telah diidentifikasi. Kelima kompleks tersebut merupakan bagian dari Makam Aulia 44, yaitu: (1) Makam Ibrahin (Simpang Tiga Bukik); (2). Makam Papan Tenggi (Desa Tompat, Pananggahan); (3) Makam Ambar (Desa Pananggahan); (4) Makam Maqdum (Lembah Patupangan); dan (5) Makam Mahligai (Desa Aek Dakka). Menariknya, menurut Guilliot et al. (2002:298), di Kompleks Makam Ibrahim terdapat batu nisan yang tertua bertarikh 772 H/1370 M ini merupakan nisan berangka paling tua di seluruh makam yang ada di Barus dan yang dikubur di dalamnya adalah perempuan Tionghoa. Bentuk nisannya pun ada yang bergaya Tionghoa.

Selain lima makam yang telah disebutkan terdapat TPU Tionghoa Santeong di Kelurahan Pancuran Gerobak. Tersebutkan pula dalam Perda Kota Sibolga Tahun 2011, Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Sibolga Tahun 2011-2031. Pemakaman Tionghoa ini luasnya sekitar dua hektar. Terdapat informasi bahwa sebagian besar makam ini sudah tertutup, hanya terlihat gundukan tanah yang tertutup rumput. Sayangnya, tidak banyak informasi yang dapat diberikan mengenai keberadaan TPU Tionghoa Santeong tersebut. Apakah di sekitarnya pernah ada dan bahkan masih ada pemukiman orang-orang Tionghoa dan bagaimanakah sejarahnya? Hal ini perlu ditelusuri lebih dalam lagi.

Ada pula laporan singkat yang hampir terlupakan. Catatan ini didapatkan dari website interaktif yang dibuat ANRI bekerjasama dengan The Corts Foundation, dengan judul utama Sejarah Nusantara. Sang pelapor adalah seorang pedagang Tionghoa ‘t Singko yang bermukim di Tanah Batak selama sepuluh tahun sebelum akhirnya pulang ke Batavia pada 1701 M. Harus ditelusuri lebih dalam lagi di manakah letak persisnya orang Tionghoa ini tinggal, namun beberapa indikasi ia tinggal di sekitar Barus perlu mendapat perhatian. Orang Tionghoa ini hanya menyebutkan tinggal di pedalaman dan menyaksikan peristiwa dan memperhatikan tingkah laku orang-orang lokal. Pedalaman Barus disebut dalam laporan salah seorang pedagang asal Belanda bernama Radermacher. Tersebutlah bahwa pada akhir abad ke-18 M pedagang dan orang-orang kaya di pedalaman Barus meletakkan kamper di dalam keranda pembesar dan orang kaya (Perret, 2015: 603).

Informasi mengenai orang Tionghoa yang berkunjung lalu tinggal di Barus terdapat pada satu arsip yang disimpan ANRI. Berikut terjemahan salah satu arsip di khazanah arsip VOC abad ke-17 M dan ke-18 M koleksi ANRI yang berjudul “Catatan Harian Kastil Batavia, 1 Maret 1701” [Mulai Fol. 113] mengenai “Pemeriksaan atas seorang pedagang Tionghoa mengenai orang Batak yang berada di Sumatera Utara, 1 Maret 1701”. Dari catatan ini terdapat keterangan dari orang Tionghoa yang baru tiba dari Pantai Barat Sumatera dan sudah tinggal untuk beberapa waktu lamanya di Pegunungan Angkola. Tuturan orang Tionghoa tersebut dicatat di Sekretariat Jenderal. Tertuliskan hasil pemeriksaan orang Tionghoa ‘t Singko, yang baru tiba dari Baros (Barus) lewat Padang dengan kapal jenis “chialoup” milik seorang Tionghoa Thieko.

Orang Tionghoa tersebut mengatakan perjalanannya bermula dari sepuluh tahun lalu, ia menumpang kapal yang dinakhkodai seorang Tionghoa bernama Khintsijko, dan berlayar dari tempat ini (maksudnya mungkin di Batavia, karena penulisan dilakukan di di Sekretariat Jenderal VOC di Kastel Batavia) ke Malaka dan dari sana ke Pande yang terletak di sekitar Dilly (Deli); di tempat tersebut, nakhkoda kapal menjual barang-barang dagangannya kepada penduduk Melayu, dan sesudah itu berlayar pergi tanpa membawa serta orang Tionghoa yang sedang ditanyai itu, yang bermaksud tetap tinggal di Pande dan mencari nafkah di suatu dusun kecil.

Kemudian orang Tionghoa ini pergi ke Pande, di tempat itu ia membeli sedikit garam untuk menambah beberapa mangkuk tembaga dan kain biru yang dibawa, dan dari sana bersama beberapa kuli angkut ia pergi melalui jalan darat ke satu daerah Bata (Batak) yang letaknya sekitar 10 hingga 11 hari perjalanan dari Barus. Di sana ia menukarkan atau memperdagangkan barang-barangnya dan mendapatkan kemenyan [benzoin] dan bahan lilin. Kemudian ia kembali ke Pande dan di sana menjual barang-barang tersebut demi mendapatkan garam.

Orang Tionghoa itu juga bercerita, bagaimana selama kurun waktu 10 tahun ia berdagang dan mencari nafkah dengan mondar-mandir dari dan ke dua tempat tersebut. Sementara itu di antara penduduk setempat ia menjadi semakin dikenal, dan sesudah lima tahun di sana ia menikah sesuai adat kebiasaan setempat dengan seorang perempuan Bata (Batak) yang telah diberikan oleh orang tua wanita itu kepadanya dengan imbalan 50 ringgit, dan memiliki seorang anak perempuan yang kini berusia empat tahun.

Menurut orang Tionghoa itu kendati penduduk Pande dan Batak sudah mendapatkan banyak pengalaman dan manfaat dari dirinya, mereka nampak seperti orang-orang liar yang hidup di pegunungan dan hutan, tetapi sejauh menyangkut kegiatan bercocok tanam mereka melakukannya secara teratur dan lazimnya dilakukan orang. Mereka juga hormat dan ramah terhadap orang asing yang jarang dijumpai di daerah mereka, khususnya orang Eropa yang sudah beberapa tahun tidak mereka temui; mereka juga tidak bermasyarakat dengan orang-orang Melayu yang tinggal di dataran rendah karena mereka tidak beragama Islam.

Dalam laporan ini tergambarkan bagaimana mereka suka makan daging babi yang bagi mereka merupakan makanan enak dan mereka juga mempunyai cukup banyak beras. Untuk padi mereka tanam setiap tahun pada musim yang tepat dan hasilnya dapat memenuhi kebutuhan penduduk di kawasan tersebut yang jumlahnya cukup banyak, dan mereka memiliki lahan beberapa are (area?) yang luas. Termasuk bertanam sayur mayur yang juga merupakan bahan makanan mereka.

Ada berita yang sangat menarik ketika dikatakan bahwa mereka juga makan daging manusia, tetapi yang dimakan hanyalah orang yang berperangai buruk dan para penjahat. Orang yang dimakan itu diikat tangan dan kakinya. Kemudian oleh dua hingga tiga ratus orang di hutan, korban dipotong-potong dengan pisau menjadi potongan-potongan kecil, dan dengan masih berdarah daging itu disantap mentah dengan cabe hijau panjang atau [?] dan sedikit garam. Bagian yang tersisa adalah tangan dan lengan, juga jantung, dan otak yang merupakan santapan lezat diperuntukkan bagi para raja, sementara kepala beserta telinga, hidung, lidah, dan bagian tubuh di sekitar kepala diperuntukkan bagi para pembesar yang juga menyantapnya mentah-mentah dengan dibumbui garam dan [?].***

Orang Tionghoa ini juga menyebutkan jika pakaian penduduk tersebut sama seperti yang dikenakan orang Melayu. Lelaki serta perempuannya mengenakan sarung dengan baju panjang, tetapi dengan pengecualian bahwa para perempuan yang masih gadis atau belum menikah, mereka mengenakan semacam jas tetapi perempuan yang sudah menikah harus menanggalkan bajunya dan membiarkan seluruh dada mereka telanjang.

Selain melaporkan produksi bahan makanan, kawasan ini juga menghasilkan bahan lilin dan kemenyan [bezoin] yang mereka tukarkan dengan garam kepada tetangganya, karena garam tidak ada di kawasan Bata (Batak), dan garam dipergunakan juga sebagai mata uang dan orang Bata (Batak) menggunakannya sebagai uang untuk berbelanja.

Menurut orang Tionghoa tersebut, di kawasan itu tidak ada emas atau bahan galian lain, kendati pun memungkinkan ada emas dan lainnya itu, tetapi (tidak disadari) karena para penduduk tidak pandai sehingga mereka tidak mengetahui bahan-bahan itu.

Akhirnya orang Tionghoa yang ditanyai itu memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut dan kembali pulang. Ia memberitahukan niatnya kepada para raja di sana dan para raja memberinya banyak beras, sejumlah buah-buahan serta sayur mayur sebagai bekal dalam perjalanan ke Baros (Barus). Perjalanan yang ditempuhnya bersama istri dan anaknya dalam sepuluh hari, kemudian ada satu kapal milik orang Tionghoa bernama Thieko yang ada di Pelabuhan Baros (Barus), dan dari sana bersama istri dan anaknya pada tanggal 27 bulan yang lalu ia tiba di sini setelah melewati Padang, dan bergabung dengan orang-orang sebangsanya. Ia pun mulai bercocok tanam dan mengerjakan berbagai kegiatan lain.

Penelusuran keberadaan orang Tionghoa di kawasan Barus dan sekitarnya di masa lalu sepatutnya ditelisik lebih dalam lagi, demi mencari gambaran kehidupannya dan pengaruhnya terhadap keragaman budaya yang terjadi di kawasan Barus, khususnya di awal abad ke-18 M. Laporan orang Tionghoa mengenai kawasan Barus dan lainnya kepada pencatat VOC tersebut dianggap sebagai orang pertama yang melaporkan keadaan orang-orang pedalaman di wilayah “Sumatera Utara”. Termasuk keberadaan orang-orang Tionghoa di Barus dan sekitarnya tersebut perlu dipertanyakan apakah banyak yang menjadi orang-orang penting atau saudagar kaya yang menguasai perdagangan Barus sendiri. (SINRID)

Referensi:

Azhari, Ichwan. (2017). “Politik Historiografi” Sejarah Lokal: Kisah Kemenyan dan Kapur dari Barus, Sumatera Utara. Dalam Sejarah dan Budaya, Tahun Kesebelas, Nomor 1, Juni 2017.

Guillot, C. (ed). (2002). Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Muchsin, Misri A. (2017). Barus dalam Sejarah: Kawasan Percaturan Politik, Agama dan Ekonomi Dunia. Dalam Adabiya, Volume 19 No. 1 Februari 2017.

Perret, D., dkk. (2008). Barus Seribu Tahun Yang Lalu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Ptak, R. (2002). Kumpulan Rujukan Cina yang Mungkin Berkaitan Dengan Daerah Barus (dari Dinasti Tang Sampai Ming), dalam Guillot, C. (ed), Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Wanti, dkk, Irini Dewi. (2006). Barus: Sejarah Maritim dan Peninggalannya di Sumatera Utara. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Arsip Nasional Republik Indonesia https://sejarah-nusantara.anri.go.id/id/ diakses pada 10 Februari 2021.

Inquiry of a Chinese trader about the Batak People in North Sumatra, 1 March 1701 https://sejarah-nusantara.anri.go.id/hartakarun/item/09/translation_id diakses pada 10 Februari 2021.

Sejarah dan Kebudayaan Suku Batak  https://www.facebook.com/397810587443898/posts/santeong-di-barusselain-pemakaman-tua-islam-di-barus-juga-terdapat-sekitar-2-ha-/639601333264821/ diakses pada 10 Februari 2021.

Aneka Pesisir Tapteng Sibolga https://id-id.facebook.com/bulitinanekasorkam/posts/menguak-misteri-makam-makam-tua-barus-2tulisan-ini-saya-persingkat-agar-tidak-me/140757519467783/ diakses pada 10 Februari 2021.

***Paragraf tersebut dipotong oleh editor, namun dalam kesempatan ini tetap ditampilkan.

Dirangkai pada 10 Februari 2021 di Surya Mulia IV, Jakarta Barat (Sinta Ridwan)

Karena belum pernah mengunjungi Barus secara langsung, menggunakan foto yang diambil oleh Dr. Tompi featuring Indonesia Kaya pada 21 November 2019.

Kategori: Barus dan Tulisan.