Barus: Kearifan Lokal I

Dirangkai oleh Sinta Ridwan |

Kearifan Lokal I: Para Pencari Barus (Perbandingan Waktu 2019) 

- untuk ceritarempahbarus.org | Rilis 10 Juni 2021 |

Pada kearifan lokal terdapat suatu bentuk proses tindakan yang berhubungan dengan hal-ikhwal yang dihadapi manusia. Dikaitkan antara pengetahuan budaya yang dimiliki kelompok sosial tertentu atau suatu etnis dengan lingkungan hidupnya. Salah satu upaya untuk mengetahui kearifan lokal tidak akan terlepas dari usaha untuk menginventarisasi kebudayaan suatu masyarakat.

Berkaitan dengan istilah kebudayaan yang dinyatakan sebagai perangkat norma, pengetahuan, nilai, dan aturan yang digunakan manusia sebagai anggota masyarakat untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungannya. Hasil dari pemahaman dan penginterpretasian terhadap lingkungan tersebut kemudian dipakai untuk mendorong terwujudnya (pola) tingkah laku. Sehingga tindakan manusia yang muncul tersebut merupakan suatu bentuk kearifan lokal dan tentunya yang berkaitan dengan konservasi dan eksploitasi terhadap lingkungan alamnya yang terjadi kesinambungan dan inilah yang disebut sebagai suatu kearifan jika merujuk pada Bambang Rudito (dalam Mudha Farsyah, 2007 “Kearifan Tradisional Masyarakat Desa Sibanggor Julu yang Berkaitan dengan Pemeliharaan Lingkungan Alam di Kabupaten Madina Provinsi Sumatera Utara”).

Pembahasan kali ini mengenai bentuk kearifan lokal yang pernah ada dan masih ada(?) di Barus yang berhubungan dengan sumber daya alam terkhusus hasil olahan berupa kamper, kapur, minyak, dan atau sejatinya perlakuan masyarakat terhadap pohon kapur barus sendiri.

Pada 21 Mei 2019, ada satu laporan menarik mengenai perilaku dan kepercayaan terhadap pohon kapur barus yang dimuat di media daring news.detik.com dengan judul tulisan yang membuat pembacanya terenyuh sekaligus merenung (mungkin ada yang seperti itu). Di sini akan mengutip laporan tersebut sebagai perwakilan peninggalan kearifan lokal yang masih exist, ditambah untuk perbandingan dengan masa lalu yang jaraknya tidak terlalu jauh yaitu awal 1900-an yang dicatat oleh orang Belanda. Keduanya adalah gambaran bagaimana perilaku manusia terhadap lingkungan dalam hal ini khususnya berhubungan dengan pohon Barus.

***

Redaktur atau penulisnya adalah Pasti Liberti yang menceritakan seorang petani bernama Sauli Simatupang. Dikisahkan Sauli Simatupang mengambil parang pendeknya ketika diminta tolong untuk menunjukkan pohon kapur barus. Dari jalan raya yang menghubungkan Barus, Tapanuli Tengah, dengan Pakkat, Humbang Hasundutan, Sauli menuntun turun penulis ke lembah dan didapatkan satu pondok kecil sekitar 100 meter dari jalan raya. Sauli, pria berusia sekitar 40 tahun itu meminta semua alas kaki dilepas, katanya setelah ini adalah hendak naik ke atas.

Perjalanan penulis pun dilanjutkan, setelah menyeberangi kali kecil berair jernih yang disebut Sungai Simarapak, kemudian jalan setapak kecil yang becek dan licin pun ditemui. Sauli menerangkan hujan kerap kali turun setiap sore di kawasan hutan milik negara yang terletak di Bukit Simarak. Hutan yang dimasuki ini berada di Desa Bonandolo, Kecamatan Andam Dewi sekitar 20 kilometer perjalanan dari Kota Barus. Menurut laporan letak hutan ini tidak begitu jauh dari gerbang yang membatasi Kabupaten Tapanuli Tengah dengan Humbang Hasundutan.

Dikisahkan, sesampainya di ujung jalan yang masih rata, Sauli berhenti sejenak. Ia memotong batang pohon kecil yang kuat yang diberikan kepada penulis agar dijadikan tongkat sepanjang perjalanan. Ternyata jalan ‘naik ke atas’ begitu menantang, kemiringannya mencapai 60 derajat dan menyulitkan. Tongkat kayu tersebut cukup membantu dan sesekali akar pohon yang menjuntai menjadi penolong saat kaki terpeleset karena menginjak tanah yang licin.

Penulis, Pasti Liberti, bercerita pengalamanannya bahwa baru saja menghabiskan 10 menit, suara napasnya berat dan beradu kuat dengan suara siamang dari kejauhan. Batinnya bersuara jika menuruni kaki Bukit Simarapak ini pasti membutuhkan perjuangan lebih berat dan dibutuhkan 30 menit dari bawah untuk sampai ke pohon kapur barus yang dituju. Diameter pohon kira-kira hampir 30 sentimeter, melihat sekelilingnya tumbuh menjulang pohon-pohon karet hutan yang hampir sama besarnya.

Sauli mengambil benda bening seperti kristal yang menempel pada kulit pohon, yang merupakan getah pohon kapur barus. Sauli memasukkan benda kenyal seukuran kacang tanah itu dalam mulut, sambil mengunyah Sauli bicara khasiat getah tersebut. Ia mengatakan itu adalah obat.

Bagi masyarakat di sekitar hutan, jika sakit perut dengan memakan getah tersebut, dipercaya membawa kesembuhan atau cara lainnya adalah mencampurkannya dengan air panas lalu diminum. Pohon kapur barus atau Dryobalanops aromatica yang ditunjukkan Sauli masih muda, sementara itu borneol atau yang disebut-sebut masyarakat lokal sebagai minyak umbil berada dalam rongga batangnya masih sedikit.

Sauli yang sudah berpengalaman mencari pohon kapur barus itu mengatakan bahwa pohon yang sudah tua dapat dikenali dengan kemunculan benjolan-benjolan pada batangnya. Tetapi untuk menemukan pohon tua yang tumbuh di hutan saat ini sangat sulit, tambah Sauli. Katanya untuk menemukan itu nasib-nasiban atau untung-untungan.

Jika menemukan pohon tua, untuk mengeluarkan minyaknya tidak akan sulit. Proses memanennya mirip dengan cara menyadap pohon karet. Sauli memberitahu bahwa batang ditembus pakai gergaji mesin, dalamnya mencapai 15 centimeter. Minyak umbil pun mengalir dari lubang irisan gergaji mesin yang ditampung dengan jerigen. Satu pohon, menurut Sauli, dapat menghasilkan minyak umbil sebanyak tiga jerigen berukuran 30 liter.

Dengan kondisi jarangnya keberadaan pohon kapur barus yang berusia tua membuat harga minyak umbil asli terbilang luar biasa. Sauli dapat menjual satu botol minyak umbil ukuran 600 mililiter sampai Rp 300 ribu harganya. Tidak sulit mencari pembelinya, tambahnya. Bahkan ada saudagar dari daerah Pakkat yang selalu siap menampung. Kalau dihitung-hitung sekali panen Sauli akan mendapatkan sekitar Rp 50 juta dan saudagar yang membelinya akan menjual lagi dengan harga dua kali lipat yang konon dikirim ke Arab.

Sayangnya, pohon kapur itu minyaknya tidak dapat dipanen berkali-kali dan panennya tidak dapat diprediksi kapan lagi. Sauli mengatakan jika pohon itu sudah terluka, harus sembuh dahulu. Sementara itu Sauli sendiri tidak dapat menggantungkan hidupnya dari pohon kapur barus. Sauli juga beraktivitas menyadap pohon karet. Sesekali Sauli juga mendapat pesanan mencari burung murai di dalam hutan atau menunggu musim durian hutan berbuah untuk dijual di kota.

Pasti Liberti juga menuliskan pernyataan peneliti dari Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli, yaitu Aswandi yang mengamini harga minyak umbil memang tinggi, sekaligus mengatakan di masa kini pohon kapur barus yang menghasilkan kamper sangat jarang ditemui dan tidak banyak orang yang tahu keberadaannya.

Pohon yang masih ada hanya sisa belaka karena banyak yang habis karena pembalakan dan alih fungsi hutan. Menurut Aswandi di Pantai Barat Sumatera, dari Barus sampai Singkil dan Sabulussalam di Aceh merupakan daerah vegetasi asli bagi pohon kapur barus. Dahulu kala daerah-daerah tersebut merupakan satu kesatuan hutan dan mungkin sejak awal terbentuknya hutan pohon kapur barus berada di situ. Ditambah pohon tersebut dapat tumbuh di daerah dataran rendah yang berbatu sampai ketinggian 600 meter namun pernah juga ditemukan dan tumbuh sampai ketinggian 900 meter. Sayangnya potensi borneol ini tidak digarap dengan baik, padahal bukan hanya pernah berjaya di masa lalu saja keberadaannya, di masa kini pun pasarnya sangat besar. (BERSAMBUNG – SINRID)

Referensi:

Nurfaizal. (2018). “Barus dan Kamper dalam Sejarah Awal Islam Nusantara”. Jurnal NUSANTARA: Journal for Southeast Asian Islamis Studies Vol. 14, No. 2, Desember 2018, hlm. 76-92.

Liberti, Pasti. (2019). ‘Air Kebajikan’ dari Barus. Dalam news.detik.com atau detikX INTERMESO, liputan khusus. Diakses pada 28 April 2021, 21.38 WIB. https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20190521/Mendulang-Emas-Kapur-Barus/

Farsyah, Mudha. (2007). Kearifan Tradisional Masyarakat Desa Sibanggor Julu yang Berkaitan dengan Pemeliharaan Lingkungan Alam di Kabupaten Madina Provinsi Sumatera Utara. Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Dirangkai pada 2 Mei 2021 di Surya Mulia IV, Jakarta Barat (Sinta Ridwan)

Karena belum pernah mengunjungi Barus secara langsung, menggunakan foto yang diambil oleh Dr. Tompi featuring Indonesia Kaya pada 21 November 2019.

Kategori: Barus dan Tulisan.