Barus: Kronik Hulu II

Dirangkai oleh Sinta Ridwan |

Kronik Hulu II (Asal Keturunan Raja Barus) 

- untuk ceritarempahbarus.org | Rilis 13 Maret 2021 |

Berikut ikhtisar dalam buku Jane Drakard, yang mengkaji lengkap mengenai manuskrip Kronik Hulu. Hasil kajiannya diterbitkan pada 1988 dengan judul Sejarah Raja-Raja Barus oleh Penerbit Angkasa bekerjasama dengan lembaga penelitian Prancis, EFEO.

[Hlm. 25. 1] Kisah dalam kronik ini dimulai dengan kata-kata, “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam Negeri Tobah sila-silahi lua’ Baligi, Kampung Parsoluhan, suku Pohan.” Raja yang dimaksud adalah Raja Kesaktian dan dalam kisah juga tercatat mengenai anaknya, Alang Pardoksi, meninggalkan jantung Tanah Tobah untuk merantau.

[2] Disebutkan Alang Pardoksi meninggalkan keluarga dan rumahnya sesudah bertikai dengan ayahnya. Ia pergi bersama istri dan pengikutnya dan berjalan ke arah barat. Dalam sepuluh halaman pertama diceritakan perbuatan-perbuatan Alang Pardoksi yang gagah berani. Kemudian tentang tanah yang dinyatakan menjadi haknya di rantau, dilanjutkan tentang pemukiman baru yang didirikannya, dan benturan dengan kelompok perantauan lain dari Tobah.

[3] Dikisahkan Alang Pardoksi menuntut hak atas sebidang tanah yang luas, yang merentang dari Kampung Tundang di Rambe, tempat ia menetap, ke arah barat sampai Singkel, ke arah timur sampai perbatasan Pasaribu, dan ke arah hilir sampai tepi laut. (Drakard menerangkan daerah ini yang kemudian dikenal sebagai Barus).

[4] Keluarga yang berselisih dengan Alang Pardoksi ialah keluarga Si Namora. Si Namora pun telah meninggalkan rumahnya di Negeri Dolo’ Sanggul sebagai akibat percekcokan dalam keluarga. Bersama istrinya ia telah menetap di Rambai. Sementara itu Alang Pardoksi, Sang Raja, menyadari kehadirannya ketika pada suatu hari dilihatnya tebangan batang kayu yang mengapung di sungai.

Raja Alang Pardoksi memungut upeti dari Si Namora sesuai dengan adat berupa kepala ikan atau binatang apa pun yang dapat dibunuh Si Namora. Si Namora ini berputra tiga orang dan beristrikan ketiga putri Alang Pardoksi. Akhirnya yang sulung dari ketiga putra Si Namora, yaitu Si Purbah, mengambil keputusan untuk mempermasalahkan hubungan antara kedua keluarga sebagai pemberi dan penerima upeti. Maksudnya hal itu dilaksanakannya [hlm. 26] untuk mengakali Alang Pardoksi.

Untuk itulah ia harus kembali ke kampung ayahnya di Tobah: ia harus mengumpulkan kekayaan keluarganya berupa kain dan pusaka. Lalu dari kain-kain itu Si Purbah membuat seekor rusa yang rupanya bukan main hebatnya, dan kepalanya dipersembahkan kepada Alang Pardoksi sebagai upeti. Alang Pardoksi begitu takut melihat binatang itu sampai-sampai tidak mau menerima persembahan itu dan membebaskan keluarga Si Purbah dari ikatan memberi upeti.

Setelah Alang Pardoksi diperdayakan dengan cara itu, tercium olehnya adanya gugatan mengenai kedudukannya sebagai raja. Perang meletus dan Si Purbah memakai cara pengkhianatan untuk mengusir Alang Pardoksi dan mengambil alih pemukimannya, yaitu di Si Pigembar. Namun ada pembalasan, di bawah kepemimpinan Si Purbah pemukiman dirundung kelaparan.

Raja yang sah, Alang Pardoksi, diminta kembali untuk mengobati keadaan. Namun ia menolak dan minta supaya Si Purbah membuatkannya rumah di Guting, di atas jalan sehingga semua orang yang ingin melalui jalan itu harus lewat di bawah rumahnya. Kedudukan posisi di persimpangan jalan-jalan penting tersebut memberi kekuasaan besar kepada Alang Pardoksi yang kemudian menjadi sosok yang paling berkuasa dari raja-raja “Negeri Batak”.

[5] Tersebutlah dalam kronik, Raja Alang Pardoksi dengan demikian ditentukan sebagai pendiri garis keturunan baru. Proses ini terus berlangsung sesudah ia wafat. Kedua anaknya, Pucara Duaan dan Guru Marsakot berpisah dan pindah ke arah yang berlainan “supaya tidak bertikai”.

[6] Pucara Duan pindah ke arah pantai dan menetap di Tukah yang pada abad ke-19 M merupakan pusat besar untuk menghimpun persediaan kapur barus dan menyan yang dari sana dibawa ke Barus. Sementara Guru Marsakot pindah lebih dekat lagi ke tepi laut, ke suatu tempat yang bernama Lobo Tua (atau Lobu Tua).

Di sana ia berjumpa dengan orang Tamil dan Hindu yang kapalnya terdampar. Guru Marsakit dijadikan raja mereka berdasarkan tuntutannya bahwa keluarganya memiliki tanah itu. Maka pemukiman itu berkembang menjadi negeri yang makmur dengan nama Panchur (atau Pangsur sebagaimana ejaan lainnya di dalam manuskrip), yang didatangi orang India, Arab dan Aceh untuk berdagang.

[7] Kedua cabang keluarga itu tetap berhubungan sampai dalam generasi berikutnya. Maka ketika Pucaro Duan, Raja Tutung, terlibat dalam perselisihan dengan anak dan pengganti Si Purbah, cabang keluarga dari Lobo Tua (atau Lobu Tua) datang membantunya. Ketika Guru Marsakot wafat, ia diganti oleh anaknya, Tuan Namura Raja, dan kemudian oleh cucunya, Raja Kadir, raja pertama yang menjadi orang Muslim. Akhirnya Panchur diserang oleh “orang Gergasi” dan penduduk lari menyeberangi sungai untuk mendirikan dua pemukiman baru, Kuala Barus dan Kota Beriang.

[8] Kisah pada titik ini mengembangkan tema baru dengan pengangkatan raja kedua di Barus. Seorang Melayu, Sutan Ibrahim, yang datang dari Tarusan bersama pengikutnya dan mendirikan kampung di daerah yang lebih ke hilir sungai. Hubungan terjadi [hlm. 27] antara kedua pemukiman ketika Sutan Ibrahim melihat potongan kulit buah dihanyutkan oleh sungai dan menyadari bahwa pasti ada kampung lain yang mengarah ke hulu.

[9] Anak dan pengganti Raja Kadir, Sutan Marah Pangsu, menggugat hak si Melayu untuk menetap di negerinya, namun Sutan Ibrahim mengangkat sumpah untuk membuktikan bahwa ialah yang menjadi pemiliknya. Sambil memegang segelas air, Sutan Ibrahim bersumpah bahwa tanah yang didudukinya dan air yang diminumnya kedua-duanya adalah miliknya. Sutan Marah Pangsu menerima sumpahnya. Maka didirikan dua pemukiman di Barus, yang satu di hulu yang lain di hilir, yang akhirnya dikenal sebagai kawasan Hulu dan Hilir.

[10] Kemudian Sutan Ibrahim kawin dengan putri Sutan Marah Pangsu. Dan setelah wafatnya raja di Hulu, Sutan Ibrahim membunuh semua anak Sutan Marah Pangsu yang laki-laki supaya ia menjadi raja satu-satunya di pemukiman. Di Hulu, yang menjadi raja ialah saudara Sutan Marah Pangsu, Sutan Marah Sifat. Ia mengimbau Aceh (atau Raja Aceh) lantaran permusuhan Sutan Ibrahim terhadapnya; maka Raja Aceh menyatakan perang kepada Barus dan dalam perang itu Sutan Ibrahim dipenggal kepalanya.

[11] Kepalanya Sutan Ibrahim dibawa ke Aceh dan Raja Aceh menendangnya dan menghinanya. Sebagai akibat perlakuan kepala Sutan Ibrahim ini yang penuh amarah dan tidak mau menyesal, Raja Aceh jatuh sakit dan supaya dapat sembuh, ia memutuskan untuk membayar kerugian (akibat perlakuannya) kepada kepala itu. Maka kepala Sutan Ibrahim dikirim kembali ke Barus dengan penuh kekhidmatan dan upacara kerajaan, serta diiringi sepucuk surat yang membebaskan Barus dari keharusan membayar upeti kepada Aceh.

[12] Sesudah itu kedua keluarga Raja Barus hidup berdampingan selama beberapa generasi dalam hubungan yang kurang lancar. Raja Hulu itu Sutan Marah Sifat dan anaknya, Raja Bongsu. Di keluarga Hilir terdapat anak Sutan Ibrahim, Raja Usuf yang gugur di Aceh ketika membalas dendam atas ayahnya, anaknya Sutan Alam Syah dan anak-anak Sutan Alam Syah, Marah Sutan dan Sutan nan Bagonjong. Selama itu kedua keluarga tinggal di Kampung Hulu yang sebelumnya terletak di Simugari, kemudian di Lobo Dalam (atau Lobu Dalam).

[13] Pada kronik menyiratkan bahwa selama periode itu keluarga Hulu-lah yang memerintah di Barus, dan Sutan Bagonjong memang meninggalkan Barus menurut ceritanya karena tidak mempunyai wewenang di sana. Ia menjelajahi seluruh Sumatera (Pulau Perca) dan pergi ke Negeri Jawa mencari ilmu. Sekembalinya, Sutan Bagonjong menemukan Negeri Panchur Kampung Lobo Dalam (atau Lobu Dalam) sedang diserang sekelompok perantauan orang Aceh. Sutan Bagonjong ikut berperang dan memperoleh kemenangan di pihak Maharaja Bongsu.

[15] Lama kelamaan Maharaja Bongsu merasakan wewenangnya mendapat tantangan melihat martabat Sutan Bagonjong yang sedang memupuk wewenang seperti raja (sudah membuat bagaimana kuasa dalam negeri itu seperti ia sudah menjadi raja). Perang pun meletus dan rakyat ikut terbelah. Perselisihan terleraikan ketika seorang syekh dari Singkel menghadapkan Maharaja Bongsu dan Sutan Bagonjong [hlm. 28] dalam perang tanding, tidak ada yang menang, tidak ada yang kalah. Cerita di tempat ini mencatat kedatangan Kumpeni Belanda di Barus, dan juga kedatangan seorang raja dari Minangkabau yang bernama Daulat. Disebutkan angka tahunnya yaitu 1054 H (1644 M).

[14] Atas himbauan kedua raja dari Hilir, Belanda dan Daulat menanyakan pendapat Maharaja Bongsu mengenai reorganisasi kerajaan. Maharaja Bongsu dinyatakan menjadi raja, dan raja di Hilir yang sulung, Marsutan, dijadikan bendahara. Berikut ada enam halaman yang memuat daftar semua alat kerajaan dan upacara yang dipakai di kerajaan, terutama yang mengenai sang raja.

Ada pula satu daftar mengenai peraturan dalam hal organisasi dan pemerintahan kerajaan, pengangkatan menteri negara, kewajiban mereka dan lain sebagainya. Adat yang berlaku di kerajaan juga disebut dan dikatakan merupakan perpaduan “adat Batak”, “adat Melayu”, “adat Aceh”, “adat Hindu”, dan “adat orang Islam”.

[15] Sesudah daftar tersebut, cerita diteruskan dengan suatu masa yang berturut-turut mengenal beberapa raja di Hulu yang masih di bawah umur, sedangkan bendara-bendahara di Hilir bertindak sebagai wali mereka selama mereka belum akil baligh.

[16] Yang pertama dari bendahara itu ialah Marah Sutan (atau Sutan Marah), wali untuk anak Maharaja Bongsu, Raja Kecil kepada Daulat. Diceritakannya bahwa Raja Kecil tidak kenal agama dan tidak mau mengakui peraturan yang sudah ditetapkan terdahulu. Termakan oleh pemfitnahan yang jahat itu, Daulat membunuh Raja Kecil.

[17] Meskipun begitu Sutan Marah Sihat ternyata menjadi wali yang setia pada keluarga Hulu. Meskipun ia masih lama hidup dan kekuasaannya tidak kecil akibat hasil pungutan bea (ia pun dinamakan raja), ia berkata kepada Kumpeni Belanda sebelum meninggal bahwa Raja Muda di Hulu, Sutan Marah Pangkat, sebaiknya menjadi pengganti raja, bukan anaknya sendiri, Sutan Larangan. Sutan Marah Pangkat dikatakannya sebaiknya menjadi raja tunggal sebab ialah yang memegang pusaka-pusaka yang tepat (ia punya itu pusaka “makanya” menjadi raja).

[18] Maka Sutan Marah Pangkat menjadi raja dan menurut catatan kronik, ia pun mengadakan beberapa peraturan mengenai hak tanah, perbatasan kerajaan dan adat yang berlaku di Barus.

[19] Raja di Hilir, anak Sutan Marah Sihat, yaitu Sutan Larangan, marah dan kecewa karena ayahnya tidak menurunkan kedudukan sebagai raja kepadanya. Maka Barus ditinggalkannya. Ia pindah ke Sorkam dan menamakan diri Tuanku Bendahara meskipun ia tidak memegang pemerintahan.

[20] Kronik menyebutkan perkembangan kedua keluarga, di Barus dan di Sorkam, selama beberapa generasi. Di Barus, anak Sutan Marah Pangkat, Raja Adil, menggantikan ayahnya dan memperkukuh perjanjian-perjanjian yang ada antara Barus dan berbagai daerah Batak di pedalaman. Kronik mengemukakan angka tahun-angka tahun untuk [hlm. 29] perubahan-perubahan tersebut dan Raja Adil dikatakan menjadi raja pada 1213 H (1798 M). Kemudian pada 1241 H (1824 M) ia diganti oleh anaknya, Sutan Sailan, dan di bawah pemerintahannya keluarga Hilir kembali masuk cerita.

[21] Di Sorkam, sesudah Sutan Larangan wafat, saudaranya, Sutan Kesyari, mengadukan kepada orang Batak Pasaribu kedudukannya yang rendah, wewenangnya yang kurang besar dan alat kerajaan Sutan Kesyari sebagai Raja Bukit di Sorkam. Meskipun menurut catatan kronik gelar barunya tidak diindahkan di Barus. Sesudah Sutan Kesyari wafat, maka anaknya Sutan Main Alam, terlibat perselisihan dengan Sutan Sailan atau Tuanku Raja Barus, demikianlah sekarang panggilan untuk raja di Hulu dalam kronik.

[22] Oleh karena Tuanku Raja Barus, Sutan Sailan, tidak mau mengizinkan Sutan Main Alam memakai alat kerajaan pada pernikahannya, maka Main Alam minta pertolongan orang Melaboh (Meulaboh) yang tinggal di Kota Kuala Gadang (Hilir Barus). Mereka mengangkatnya sebagai raja mereka dan memberinya gelar Tuanku Bendahara. Karena hal ini menimbulkan amarah Raja Barus, perang meletus antara keluarga dari Hulu dan dari Hilir serta antara rakyat Hulu di satu pihak dan pedagang Aceh dan Meulaboh dari Kuala Gadang di pihak lain. Menurut kronik, orang Meulaboh menginginkan penguasaan sepenuhnya atas Negeri Barus.

[22] Sesudah lama bermusuhan, orang Meulaboh minta pertolongan Tok Ku Raja Uda, seorang Aceh dari Tapus, untuk meleraikan kedua belah pihak. Dalam perundingan ini ditegaskan bahwa Sutan Sailan adalah Tuanku Raja Barus, dan disetujui kedudukan wakil Hilir, yaitu Sutan Main Alam, sebagai bendahara.

Sesudah pulihnya perdamaian, tak ada benturan lagi antara kedua keluarga dan mereka bergabung untuk mendesak mundur pedagang Aceh yang tinggal di Barus Hilir dan makin lama makin menyusahkan. Keadaan meruncing sedemikian parahnya dan menimbulkan huru-hara sedemikian besar hingga Tuanku Raja Barus mengambil putusan untuk minta bantuan Kumpeni Belanda.

[23] Kumpeni Belanda pun tiba, orang Aceh terhalau sampai Tapus dan Singkel. Urusan kerajaan diatur oleh Kumpeni Belanda yang memberi gaji kepada pemimpin-pemimpin Barus.

[24] Di sini padamlah alur kronik, dan sesudah Sutan Limba’ Tua, anak Sutan Sailan wafat, teks dalam manuskrip hanya mendaftarkan nama ketiga raja berikutnya dari keluarga Hulu. Sebagai penghabisan ialah Sutan Marah Tulang yang menjadi raja pada 1270 H (1856 M).

[25] Berikut adalah ikhtisar (kata Drakard), yang artinya daftar semua Raja Barus dari Keluarga Hulu yang pernah memegang pemerintahan, mulai dari zaman Raja Kadir dan masuknya agama Islam. Dalam kronik tersebut ditekankan bahwa kecuali beberapa kali perwakilannya pendek, Raja Barus semuanya berasal dari satu keluarga dan pewarisan takhta dipegang oleh satu suku, suku Raja Barus, yaitu suku Tukah.

Berdasarkan buku Drakard, kronik ini masih mengandung 15 halaman, dan delapan dari halaman itu memuat sub kisah yang menggugah rasa ingin tahu. Kronik menjelaskan secara pendek sejarah dan silsilah keluarga bendahara, artinya kisah tentang raja-raja di Hilir.

Awal mulanya keberadaan laporan tentang perjalanan Sutan Ibrahim dari Tarusan, tetapi bedanya dengan versi-versi lain dari cerita ini pada saat yang dinamakan kronik-kronik “Hilir”, yang sebenarnya adalah bahwa fakta-fakta yang dilaporkan banyak yang cocok dengan sejarah Hulu seperti yang dikisahkan sebelumnya dan tidak sesuai dengan laporan-laporan “Hilir” lainnya.

Pada intinya perbedaan-perbedaan itu menurut Drakard berhubungan dengan kedudukan di antara kedua keluarga, yang berkaitan dengan wewenang politik di Barus. Selanjutnya terdapat daftar peraturan tentang hubungan antara Raja Barus dan bendahara, serta perincian mengenai denda yang harus dibayar untuk berbagai kejahatan. Kronik ini pun berakhir dengan daftar nama semua tempat yang pernah menjadi bagian dari Barus, yang dianggap suatu perumusan kerajaan secara geografis (1988: 30). (SELESAI – SINRID)

Referensi:

Drakard, Jane. (1988). Sejarah Raja-Raja Barus. Bandung: Angkasa & EFEO.

Dirangkai pada 6 Maret 2021 di Surya Mulia IV, Jakarta Barat (Sinta Ridwan)

Karena belum pernah mengunjungi Barus secara langsung, menggunakan foto yang diambil oleh Dr. Tompi featuring Indonesia Kaya pada 21 November 2019.

Kategori: Barus dan Tulisan.