Dirangkai oleh Sinta Ridwan |
Legenda Putri Runduk III: Kedudukan Tokoh Perempuan
- untuk ceritarempahbarus.org | Rilis 27 Mei 2021 |
Dalam Legenda Putri Runduk yang dilihat sebagai kisah asal usul beberapa pulau ini memperlihatkan beberapa hal mengenai kedudukan perempuan dalam cerita rakyat yang dipercaya masyarakat. Pertama, mengenai kehadiran anak lelaki di tengah keluarga. Menurut penelitian Husna dan Nurelide (2018), anak lelaki adalah kontruksi sosial yang membentuk opini masyarakat bahwa anak laki-laki lebih bernilai dibandingkan anak perempuan.
Anak laki-laki dianggap lebih mampu menjaga dan mengawal muruah keluarga. Demikian pula di daerah Tapanuli, jika anak pertama, kedua dan ketiga berjenis kelamin perempuan maka akan terus dilakukan upaya agar memperoleh keturunan laki-laki. Anak laki-laki dianggap sebagai pewaris keturunan (suku/marga).
Dalam kisahnya, Putri Raja Linggom mampu meluluhkan hati Sang Raja, kehadiran dan tabiatnya dipuji banyak orang bahkan oleh para tamu dari belahan negeri. Tidak sekadar cantik, ia juga bercahaya. Menariknya dalam kisah yang dirangkai Putra (2017), Sang Putri dibandingkan kecantikannya dengan Ratu Cleopatra. Sang Putri digambarkan berambut hitam dan terurai panjang dan lembut. Pada saat di arena laga, ia mengenakan topeng berkumis dan saat terlepas memancarkan rambutnya dan wajahnya itu membuat terpana yang melihatnya.
Dalam penelitian Husna dan Nurelide (2018) menyebutkan hampir 50% seluruh etnis yang ada di Indonesia dan pendatang yang bermukim lama di Tapanuli Tengah dari luar negeri bercampur dari masa ke masa, meski mayoritas penduduknya beretnis Batak atau Toba dan Mandailing, namun terdapat multi-etnis di Tapanuli Tengah yang berasal dari Batak, Minang, Jawa-Madura, Bugis, Aceh, Melayu, Sunda, dan lainnya.
Membaca perilaku tokoh perempuan dalam kisah legenda ini dipengaruhi lingkungan tempat tinggal atau masyarakat pembentuknya. Pada dasarnya, melihat masyarakat Batak memiliki prinsip hidup yang kuat dan kokoh. Putri Runduk selaku tokoh perempuan dalam cerita ini memiliki beberapa sifat dan karakter salah satunya adalah sikap patuh dan tumbuh menjadi putri yang cantik, anggun dalam tata krama dan pergaulan serta gesit dalam laga. Putri Runduk mampu mengalahkan sepuluh prajurit yang menyerang dalam latihan. Meskipun begitu, kegagahannya dalam latihan laga, tidak mengurangi kegemulaiannya dalam tarian.
Husna dan Nurelide (2018) mengatakan Putri Runduk dinilai memiliki sifat rendah hati. Ia tidak ingin dipanggil “Tuan” oleh Sikambang. Ia ingin dipanggil nama saja, yaitu Runduk. Kata-kata Putri Runduk ini mencerminkan tidak adanya perbedaan kasta sosial di antara mereka, “Sudah berapa kali kukatakan padamu, panggil saja aku Runduk,” sela Putri Runduk. Baginya Sikambang tidak hanya sebagai dayang, tetapi lebih dari itu. Ia sudah menganggap Sikambang sebagai sahabat, bahkan sudah seperti kakaknya sendiri” (Putra, 2017).
Putri Runduk pun digambarkan pantang menyerah. Di kala Sang Raja dan Sang Permaisuri tidak memberi izin kepada Putri Runduk untuk melihat Pekan Raya di Sorkam. Rasa penasaran yang tinggi membuat Putri Runduk memiliki semangat pantang menyerah untuk mewujudkan impiannya, “Sekali melangkah maju, pantang bagiku mundur,” (Putra, 2017). Putri Runduk tetap pergi dengan menggunakan teknik penyamaran dan mengendalikan perahunya sendiri. Ia juga gagah dan gesit, namun mampu menjadi sosok yang lemah gemulai dalam kondisi tertentu.
Putri Runduk yang melakukan penyamaran seorang lelaki merupakan bentuk kreativitasnya dan ia menyukai tantangan. Putri Runduk tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Ketika sampai di Sorkam ada laga sesama lelaki, ia pun ingin ikut naik ke arena laga karena posisinya saat itu adalah seorang lelaki meski dalam penyamaran.
Putri Runduk pun memiliki sifat berani. Terlihat ketika ia ingin ikut bertempur saat Kerajaan Mursala diserang oleh Kerajaan Abbessina, ia meminta izin terlebih dahulu kepada ayahnya. Putri Runduk juga memiliki sifat tegas, pada saat mengetahui adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh Adofo, dengan ketangkasannya Putri Runduk mengambil keputusan membunuh Adofo sekali tebas.
Tokoh yang berperan besar dalam kisah ini adalah Sang Raja yang tidak memandang Putri Runduk rendah. Tidak ada diskriminasi atau stereotip yang dilakukan kepada Putri Runduk. Stereotip perempuan selalu berperan dalam ruang domestik, namun Sang Raja ingin melibatkan putrinya dalam konteks publik. Ia berbeda pendapat dengan istrinya sebab Sang Permaisuri ingin Putri Runduk menerima pelajaran domestik seperti menjahit, menenun, memasak, bersolek, menari, dan hal umum yang dilakukan oleh perempuan (Putra, 2017).
Hingga pada akhirnya Putri Runduk memperoleh kedua pembelajaran itu dari ayah dan ibunya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa posisi Putri Runduk ditinggikan oleh Sang Raja yang menginginkan Putri Runduk menjadi putri yang tangguh dan menjadi penggantinya kelak menjadi Raja Mursala (Husna dan Nurelide, 2018). Terlihat dalam pernyataannya ini, “Sementara aku menginginkan Putri Runduk menjadi putri yang tangguh. Jika terjadi perang di daratan Suwarnadwipa dan Tanah Jawa, lalu merembet ke mana-mana, aku ingin putriku siap menghadapi serangan musuh” (Putra, 2017).
Melihat tokoh perempuan pada Putri Runduk yang memperoleh peran dalam ranah publik ada pada kutipan ini, “Aku tidak akan membiarkan ayah berjuang sendirian. Dan masalah ini bukan menjadi masalah ayah saja, tetapi sudah menjadi masalahku. Dikarenakan diriku mereka datang menyerang. Kata Putri Runduk. Raja tidak mengiyakan dan tidak pula menolak” (Putra, 2017). Dengan membiarkan Putri Runduk terlibat dalam pertempuran melawan Kerajaan Abbessina. Raja secara tidak langsung menyetujui permintaan putrinya itu. “Serang ia terus, Runduk” seru Raja Linggom mengabaikan ucapan Pangeran Demessie yang tidak dimengertinya (Putra, 2017).
Putri Runduk sebagai pewaris takhta kerajaan dibekali ilmu untuk bertempur mempertahankan kerajaan di samping tetap harus memperoleh pembelajaran yang bersifat domestik. Putri Runduk sebagai penguasa sendiri membawa Barus terkenal hingga ke penjuru dunia, bahkan sampai dari Sudan, Tiongkok dan Jawa ingin memperistrinya. Pertanyaannya adalah apakah kekaguman tersebut murni pada Sang Putri sendiri atau ada alasan di belakang itu semua, yaitu ingin menguasai Barus yang pada saat itu menjadi wilayah yang sedang berjaya, sebagai penghasil komoditas terkenalnya yaitu kapur Barus dan sebagainya. Ada motif lain di balik penyerangan kerajaan-kerajaan lain dan ingatan memori ini terdokumentasi dalam bentuk legenda yang kisahnya diceritakan serta dipercaya secara turun temurun. (SELESAI – SINRID)
Referensi:
Danandjaya, James. (2002). Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti.
Putra, Adi. (2017). Kerajaan Mursala: Legenda Putri Runduk. Medan: Dinas Perpustakaan dan Arsip Provinsi Sumatera Utara.
Husna, Tiflatul dan Nurelide. (2018). Citra Perempuan dalam Cerita Rakyat Kerajaan Mursala Legenda Putri Runduk. Dalam Jurnal Medan Makna Vol. XVI No. 2 Hlm. 106-115 Desember 2018. Medan: Balai Bahasa Sumatera Utara.
Syarfina, Tengku, dkk. (2016). Bunga Rampai Cerita Rakyat Tapanuli Tengah. Medan: Balai Bahasa Sumatera Utara. Diakses pada 29 April 2021 – 19.21 WIB. https://balaibahasasulsel.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2016/12/BUNGA-RAMPAI-CERITA-RAKYAT-TAPTENG-DALAM-TIGA-BAHASA.pdf
Dirangkai pada 11 Mei 2021 di Surya Mulia IV, Jakarta Barat (Sinta Ridwan)
Karena belum pernah mengunjungi Barus secara langsung, menggunakan foto yang diambil oleh Dr. Tompi featuring Indonesia Kaya pada 21 November 2019.