Oleh Soni Farid Maulana | Kesederhanaan Sinta Ridwan
Gaya pengucapan puisi Indonesia yang ditulis oleh para penyairnya dewasa ini cukup beragam. Masing-masing penyair, mulai dari generasi Amir Hamzah hingga generasi Sinta Ridwan memperlihatkan keanekaragaman itu. Ini artinya, bahwa gaya pengucapan dalam penulisan puisi Indonesia modern tidak berhenti di tempat.
Memang benar, tidak setiap penyair di negeri berhasil menemukan pengucapan baru. Namun demikian, bila ada penyair yang bersandar pada gaya pengucapan yang telah ditemukan oleh generasi sebelumnya, maka yang dilakukan oleh penyair yang datang kemudian adalah memperdalam atau membuat kelokan baru, semacam tikungan di sebuah jalan.
Untuk itu, tak aneh bila keaneragaman gaya pengucapan dalam perkembangan dan pertumbuhan puisi Indonesia kini: — bisa kita temukan tidak hanya di media massa cetak baik berupa koran maupun majalah, tetapi juga bisa kita temukan di berbagai situs pribadi maupun blog.
Penyair Sinta Ridwan dalam kaitan itu, termasuk salah seorang penyair Bandung saat ini, yang berupaya hadir dengan segala kemampuannya. Pilihan kata yang ditulis dalam sejumlah puisinya amat sederhana, dan kadang tidak ditulis dalam sebuah rangkaian kalimat yang lengkap objek dan subjeknya. Meski pun demikian, ini tidak berarti bahwa puisi Sinta Ridwan tidak mengandung makna yang mendalam.
Apa sebab? Karena dunia makna toh pada akhirnya hanya ada dalam dunia tafsir yang tumbuh dan berkembang di benak si penafsir. Tugas penyair hanya membuat sejumlah tanda, atau mengomunikasikan simbol, metafor, majas, apapun namanya ke ruang hati dan pikiran para apresiatornya.
Puisi sebagaimana dikatakan Goenawan Mohamad dalam sebuah esainya, bukan hanya berurusan dengan kata-kata, tetapi juga dengan ruang di antara tanda baca. Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Goenawan Mohamad. Malah dalam percakapan dengan almarhum Wing Kardjo, dengan tegas ia mengatakan, bahwa puisi bukan semata-mata urusan mengelola simbol, majas, atau metafor dalam sebuah larik yang ditulis oleh penyairnya, tetapi juga berurusan dengan logika dan hati.
Ini artinya otak (pikiran) dan hati (perasaan) harus berjalan seimbang. Pada sisi-sisi tertentu dengan kaca matanya yang khas dan personal, penyair Sinta Ridwan berupaya menulis puisi dengan pola pengucapan semacam itu. Seperti sebuah puisinya di bawah ini: yang diberi judul:
Berkaca Di Atas Laut. Isi dari puisi tersebut berbunyi: Buih lautan/ debur ombak membentur karang/ muncrat ke peraduan/ sang mahakawi// Matahari yang manis/ pagi ini/ baik padaku/ laut yang ganas jadi nyaman/ suaranya/ bergemuruh aman// Saat menghikmati laut/ camar-camar/ berkaca/ di paras ombak/ di bawah kilau matahari/ yang membakar rambutku// Batu Karas, 17 Agusutus 2008
Puisi ini cukup sederhana dalam mengungkap hubungan aku lirik dengan laut, dalam hal ini dengan alam sekitar. Kemampuan Sinta Ridwan menggunakan kata-kata yang sederhana dalam sejumlah puisi yang ditulisnya adalah sebuah kekuatan tersendiri, Penyair Rendra pernah berkata, bahwa kekuatan puisi bukan pada kerumitannya, akan tapi pada kesederhanaan dan kemampuan sang penyair dalam mengungkap sebuah pengalaman puitik yang hendak dikomunikasikannya kepada publik. Puisi yang lain yang ditulis Sinta Ridwan bisa kita baca di bawah ini:
Asa Manglayang yang berbunyi: Di tengah hamparan pucuk pinus/ di Gunung Manglayang/ lensa kamera melukis bulan/ api unggun kalah sinarnya/ cahaya bintang-bintang rebah/ di reranting pinus/ tak sanggup/ tandingi/ asa rinduku/ kepada-Mu// Manglayang, 19 Juli 2008
Puisi ini cukup pendek dan sederhana. Seperti puisi di atas, puisi yang kedua, yang ditulis pada bulan Juli 2008 ini, mengungkap perasaan religius yang aku lirik ketika bersentuhan dengan alam, yang memberikan kesadaran akan Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai pusat dari segala rindu.
Dipercaya atau tidak, membuat puisi dengan kalimat yang sederhana itu pada kenyataan sulit, Apa sebab? Karena selalu ada godaan di dalam diri kita untuk senantiasa berumit-rumit. Sungguh beruntung Sinta Ridwan terbebas dengan hal yang demikian. Kepekaannya terhadap sejumlah kosa kata yang dikuasainya, telah membuktikan apa yang diyakininya selama ini: bahwa puisi bisa ditulis dari serakan kata-kata, yang oleh orang lain mungkin tidak dilirik karena kurang keren.
Prof. Dr. A. Teeuw dalam sebuah puisinya malah pernah berkata, di tangan seorang penyair yang piawai, sampah kata-kata bisa jadi kekuatan puisi yang dahsyat. Nah, penyair Sinta Ridwan dalam proses kreatifnya tengah menuju ke arah sana, yakni ingin mematangkan diri dan mencoba lain dengan gaya pengucapan yang selama ini ada, seperti apa yang dikembangkan oleh Acep Zamzam Noor, Sapardi Djoko Damono, atau Goenawan Mohamad untuk menyebut sejumlah nama. Dalam arti kata puisi yang ditulis Sinta Ridwan di luar jalur puisi lirik.
Dalam menulis sejumlah puisinya, Sinta Ridwan tidak hanya melukiskan hubungan aku lirik dengan alam dan Tuhan, tetapi juga menulis sejumlah pengalaman lainnya, yang mencoba dengan gaya ungkap yang lain, yang selama ini telah dikuasainya. Puisi di bawah ini setidaknya menggambarkan bagaimana keliaran imajinasi Sinta Ridwan berhadapan dengan koflik batinnya yang cukup berat, yakni dalam menimbang baik dan buruk dari sebuah pengalaman batin yang amat menekan hati dan pikirannya. Puisinya yang berjudul:
Bara Dosa berbunyi: Angin kelabu menerpa lembayung beringin/ buat bulu romaku bergidik/ laksana tombak yang siap menghunus gulungan ombak// Saat angin lalu/ terawangkan imajinasiku ke arah iblis/ yang terbang ke petala ke tujuh/ yang ingin memanggang daging sayap peri/ di atas tungku bara dosa/ seakan membuat steak dari tulang Rahwana/ dibumbui garam amis darah/ pakai penyedap rasa khas parutan usus Supranaka/ di tambah garnis nanas bernanah dan taring Anubis// Ledakan khayalan menyerang kesadaranku/ di tengah hutan samping rawa/ bara api menjalar membakar ragaku// Dipati Ukur, 19 Juni 2008
Paling tidak, demikianlah Sinta Ridwan telah hadir ke tangah-tengah kita dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kehadirannya patut kita sambut, mengingat dewasa ini dunia perpusian Indonesia kini lebih banyak ditulis oleh kaum laki-laki daripada kaum perempuan. Apa yang ditulis oleh Sinta Ridwan telah memberikan sebuah kekayaan bagi perkembangan dan pertumbuhan puisi Indonesia di Bandung khususnya, dan di Indonesia pada umumnya.
Tema yang ditulis dalam sejumlah puisinya tidak hanya membicarakan hubungan manusia dengan alam dan Tuhannya, ada juga yang digalinya dari dunia lampau. Ilmu filologi yang kini tengah didalaminya di bangku S2 Unpad, rupanya telah pula memberikan pengalaman yang lain dalam menulis sejumlah puisinya, seperti yang terungkap dalam puisi di bawah ini:
Katakanlah Awan yang berbunyi: Katakanlah/ pada langit dan bumi/ pada mentari yang malu-malu di belakang pohon pakis/ pada kemilau danau bak lautan surgawi/ pada ranting-ranting tua yang bertunas/ katakanlah wahai awan yang menggulung/ pada mereka semua tentang pengabdian// Jika tidak/ kembalikan saja parwa sarga Wangsakerta itu/ serat semangat pengkisah negeri/ serat penabur bibit sari kehidupan pribumi/ pada awal mula sejarah akal budi / tinggal pilih/ katakan atau kembalikan/ pilihanmu hanya menafsir atau menerka/ serat parwa sarga sebagai energi baru/ layak cahaya yang berpancaran dari kahyangan/ katakanlah/ kata-kata yang penuh misteri/ apa makna alam dan langit/ juga senja yang dihirup akar-akar kehidupan/ ayo cepat, katakanlah awan// Situ Lembang, 30 Desember 2008
Atau dalam puisi yang lain ketika mencoba memberi tafsir baru tentang kesepian Rahwana dalam sebuah puisinya yang diberi judul: Kesepian Rahwana yang berbunyi: Alun kesunyian/ menyergap kalbuku/ jiwaku galau/ merangkak ke kaki gunung/ merekah kembang amarah// Meraung khayalan Rahwana/ menepis hawa guruh kelam hujan/ dibakar napsu birahi/ di tinggal Sinta/ dewi impian/ Dipati Ukur, 19 Juni 2008
Selamat berkarya, Sinta. Semoga di tahun mendatang bisa melahirkan puisi yang lebih bagus lagi dari apa yang sudah dicapai selama ini. Saya sangat bahagia membacanya, apa pun yang ingin diekspresikan Sinta masih ada yang bisa saya petik.
Bandung, 5 Mei 2009
*Tulisan ini merupakan Kata Pengantar di buku kecil handmade Secangkir Bintang awal-awal tahun 2009-2010. Buku handmade tersebut diproduksi ulang pada 2017 dan tulisan ini masih diikutsertakan sebagai bentuk dokumentasi. Foto waktu menandatangani buku handmade pada launching Berteman dengan Kematian, 9 Mei 2010. Foto Soni Farid Maulana milik pribadinya.