Kunjungan Museum

Oleh Sinta Ridwan |

Jadi ceritanya ini adalah catatan perjalanan. Sepertinya buat tugas, tetapi mengapa tidak ada yang selesai ya, haha. Versi awal itu catatan pejalan, nah yang versi kedua itu versi agak formalnya yang tidak selesai ditulis juga. Nanti kalau aku ketemu yang versi lengkap akan ditambahkan di sini.

Kunjungan Tiga Museum
Tur Museum Bandung, Sumedang dan Garut

Museum Sri Baduga Bandung

  • Keadaan naskah-naskah di ruang penyimpanan sementara.
  • Banyaknya koleksi naskah dari Cirebon.

Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang

  • Keterbatasan koleksi naskah.
  • Penyimpanan naskah menggunakan etalase.
  • Pengetahuan pegawai museum terhadap koleksi naskah.

Situs Purbakala Ciburuy Garut

  • Keadaan naskah.
  • Sikap kearifan lokal dalam menjaga dan melestarikan warisan sejarah.
  • Perbedaan persepsi terhadap warisan sejarah (religi versus tradisi).

Keprihatinan dalam:

  • Pemeliharaan dan perlakuan terhadap naskah.
  • Perlunya workshop preservasi naskah.
  • Pelatihan terhadap pegawai museum.
  • Perlunya informasi lengkap tentang koleksi museum terutama isi kajian naskah.
  • Peranan pemerintah dalam melestarikan koleksi naskah.

Perjalanan ini sudah direncanakan oleh kami, mahasiswa semester satu Jurusan Filologi program S2 Universitas Padjadjaran jauh hari, tujuan perjalanan kali ini adalah untuk melihat kondisi di luar teori alias lapangan. Targetnya adalah tempat-tempat bernaungnya naskah-naskah di Jawa Barat.

Dimulai dari yang terdekat yaitu kunjungan ke Museum Sri Baduga di Bandung, lalu ke Sumedang tujuan selanjutnya adalah Museum Prabu Geusan Ulun, dan berakhir di Situs Purbakala Ciburuy Garut. Perjalanan ini memakan waktu satu hari, yaitu tanggal 19 November 2008. Padahal dari dalam lubuk hati diyakini kalau perjalanan ini hanya memakan waktu satu hari berasa sangat kurang, tapi sebagai permulaan setidaknya ini sangat cukup sebagai pembuka, kesadaran dan upaya perbandingan teori dan lapangan.

Pagi itu cukup cerah untuk melakukan perjalanan, berkumpul di Kampus Dipati Ukur. Tujuan pertama adalah Museum Sri Baduga. Gedung tempat penyimpanan naskah kuna berada di lantai 2 yang saat itu sedang direnovasi. Alhasil naskah-naskah disimpan di gedung paling belakang dekat dengan perkantorannya, aku sangat terkejut melihat perlakuan terhadap naskah-naskah itu, disimpan di dalam kardus masing-masing naskahnya dan di simpan berjejer di dalam lemari, jauh dari segi penyimpanan naskah yang benar.

Langkah pertama melihat katalog yang beberapa lembar ditempel depan lemari. Aku sengaja mengecek keberadaan naskah dengan data di katalog apakah sesuai atau tidak, ternyata hasilnya sama. Yang sangat disayangkan adalah cara menyimpannya, jikalau memang hanya sementara untuk kurang lebih 3 atau 4 bulan setidaknya penyimpanan harusnya lebih ideal dari sekedar disimpan dalam lemari.

Koleksi naskah di museum ini kebanyakan berasal dari Cirebon, yang paling lengkap adalah seri naskah Wangsakerta yang sempat jadi polemik itu. Salah satu naskah yang aku kagumi dan penasaran untuk mencari tahu lebih (keadaan ini akan aku bahas lain tulisan saja).

Sangat disayangkan pemeliharaannya, saranku untuk di gedung baru khusus naskah, manajemen penyimpanannya harus secara khusus, melalui preservasi yang sesuai manajemennya. Demi pemeliharaan kondisi naskah agar tidak cepat rusak dan hancur, yang kita harus selamatkan yaitu isi pesan yang leluhur tuliskan, intinya, kita harus selamatkan kandungan naskah-naskah tersebut terlebih dahulu.

Setelah meneliti dan melihat-lihat naskah koleksi Museum Sri Baduga, perjalanan dilanjutkan menuju Sumedang. Kali ini data yang kami punya, keberadaan naskah di Kota Tahu ini berada di Museum Prabu Geusan Ulun dekat dengan kantor bupati. Ada enam gedung, salah satunya gedung yang menyimpan koleksi sejarah Sumedang, seperti alat-alat perang, keris, koleksi wayang, dan naskah.

Aku langsung menuju ruangan penyimpanan naskah, dan kembali mengernyitkan dahi, melihat naskah disimpan dalam etalase, berdebu, dan sedikit akan keterangan. Walaupun dapat dilihat dalam katalog manual, tapi begitu menyedihkan. Tulisan-tulisan bupati pertama sekitar awal 1900-an tercecer dan berdebu. Demikian pula dengan koleksi yang lain, hampir semuanya tidak terurus.

Aku menanyakan pada petugas apa maksud dari judul-judul naskah yang ada, dan petugas tidak tahu banyak, begitu pula dengan susunan trah atau silsilah (family tree) asal-usul Sumedang sendiri, yang kebetulan data itu juga aku perlu untuk tugas mata kuliah Sastra Nusantara. Dengan mengecewakan, di sana tidak ada salinannya, aku langsung menduga, pasti belum ada yang menyalin isi naskah-naskah di sini, apalagi menterjemahkannya.

Kusarankan pada teman sekelasku asal Sumedang agar dia bisa ikut andil memelihara harta daerahnya, pasti agak mudah, karena koleksinya sedikit, di bawah 40 buah, tapi aku yakin, masyarakat di Sumedang, pasti ada yang memegang naskah peninggalan leluhurnya sendiri.

Perjalanan selanjutnya ke Garut. Di bawah hujan, aku membayangkan keadaan naskah yang disimpan satu tempat dengan situs purbakala, dari Sumedang jam satu siang, sampai Garut jam setengah 4 sore, dipotong makan di Cadas Pangeran. Aku sangat terkejut sekali melihat tempat itu, sangat berbeda dengan situasi di dua museum sebelumnya.

Aku datang disambut dengan tiga bangunan tradisional Sunda, paling depan ada lumbung padi, tengah ada semacam gudang, dan rumah, tidak ada kursi, ruang tamu langsung dihadapkan dengan hawu (kompor dari tanah dan pembakaran dengan kayu), kami langsung menghangatkan badan dari dinginnya suhu kaki gunung.

Ditemani perapian ala Sunda, ibu dosen pun bercerita banyak, kami mendengarkan, sambil menunggu pengurus melakukan ritual meminta ijin kepada leluhur. Sungguh mempesona, ternyata masih ada yang menghargai keberadaan warisan leluhur dengan perlakuan yang khusus juga. Menunggu sekitar 20 menit, sang empunya keluar dan mengijinkan kami masuk ke dalam situs.

Untuk mencapai rumah utama harus melewati tiga pintu dan dapat melihat pohon-pohon besar yang menambah kesan magis, sesampainya di ruang naskah, harus menunggu lagi pengurus melakukan ritual lagi, di tambah bau kemenyan dan dupa, membuat bulu kudukku semakin merinding dan masih terpana akan perlakuan ini.

Kulihat ada tiga kotak, ukurannya dari kecil, sedang sampai besar. Satu per satu dari kotak kecil benda-benda peninggalan yang diperkirakan sekitar dari abad 13/14 M dikeluarkan. Ada tombak, keris, lonceng, sampai kacamata bahkan gunting. Kami perkirakan gunting itu untuk memotong daun lontar.

Naskah-naskah yang beralaskan lontar diperlihatkan satu persatu, aku tertegun. Daerah sini begitu tua umurnya berarti. Karena masih memakai lontar disertai aksara yang kuna juga, aksara Sunda kuna. Semuanya masih dalam kondisi yang dibilang masih bagus. Tapi setelah terbongkar semua, ah sayang sekali, cara penyimpanannya kemungkinan besar tidak hati-hati, dan tali untuk menyambungkan susunan halamannya pun tidak ada. Alhasil lontar-lontar itu bercampur antara cerita satu dengan yang lain, ini pasti membutuhkan waktu yang sangat lama.

Malah di satu kropaknya (tempat menyimpan naskah) ada tanda tangannya, plus penanggalan 1 April 1970. Ironisnya, sang pengurus yang notabenenya turun temurun, saat aku tanya apakah dia bisa membaca isinya, bapak itu menjawab tidak. Lalu aku bertanya lagi, bagaimana bisa tahu isinya. Bapak bercerita, setiap akhir Muharram, si bapak dimasuki roh leluhur dan secara gamblang membaca isi semua naskah. Kemudian ada yang menyalin omongannya. Biasanya tentang ramalan tahun yang akan datang akan kejadian apa. Saat kutanya, bapak selalu ingat tidak apa yang sudah diomongkan, jawabnya tidak.

Seandainya, naskah itu dapat disalin ulang dan dikaji secara filologi, aku yakin leluhur Desa Ciburuy yang berada di lingkungan Kerajaan Galuh Kuna ini, pasti menyimpan suatu cerita yang menggambarkan situasi zamannya, sangat menarik. Aku harus belajar banyak, tentang aksara Sunda Kuna dan bahasanya juga.

Selain beraksara Sunda Kuna, ada beberapa naskah yang beraksara Buda atau aksara Gunung, aku sama sekali asing melihatnya. Tidak terasa setelah mendiskusikan kondisi dan isinya sudah mau malam, kami harus pulang lagi ke Bandung. Dengan segala pertanyaan  yang belum terjawab aku meninggalkan tempat itu.

Selama perjalanan pulang, aku memikirkan keadaan naskah di tiga daerah yag berbeda. Aku langsung teringat kotaku, Cirebon, yang katanya gudangnya naskah di Jawa Barat. Aku berjanji akan melakukan apapun untuk pelestariannya, minimal di kotaku sendiri. Aku langsung mencoret-coret hal-hal apa saja yang harus dilakukan, diantaranya: (Enggak ada sambungannya, hahaha.)

Ujungberung II, 22 November 2008

***

Laporan Versi II

Tulisan ini terinspirasi dari perjalanan pribadi dalam rangka kuliah lapangan Jurusan Filologi di Universitas Padjajaran. Filologi adalah kajian ilmu tentang teks dalam naskah kuna. Bentuk perjalanan ini mengunjungi tiga museum di wilayah Jawa Barat dalam rangka melihat secara langsung koleksi naskah kuna yang terdapat di museum dan melihat secara langsung kondisi naskah-naskah tersebut.

Dalam Ilmu Filologi selain fokus dalam kajian teks yang terdapat dalam naskah juga ada ilmu yang secara khusus mempelajari teknik preservasi atau perawatan naskah. Tujuannya selain masyarakat dapat memahami kandungan dalam naskah juga dapat melestarikan keberadaan naskah tersebut sebagai warisan kebudayaan.

Kunjungan pertama adalah Museum Sri Baduga di Bandung. Museum yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat ini memiliki kurang lebih 200 naskah. Koleksi naskah banyak didominasi naskah-naskah yang berasal dari Cirebon, yang menggunakan aksara Cacarakan dengan bahasa Jawa-Cirebon.

Koleksi naskah tersebut disimpan dalam ruangan khusus pernaskahan. Namun ketika saya berkunjung, ruangan tersebut sedang dalam proses renovasi. Untuk sementara semua koleksi naskah tersebut disimpan di sebuah ruangan yang digabung dengan koleksi museum lainnya. Ruangan tersebut lebih mirip dengan gudang penampungan sementara.

Koleksi naskah ditempatkan di tiga buah lemari kayu bertutup kaca. Setiap naskah dibungkus dalam satu kotak berbahan kardus dan diberi nomor identifikasi. Kondisi lemari sama sekali tidak dilengkapi oleh ventilasi yang memadai. Apabila mengingat pada umur naskah yang rata-rata di atas 100 tahun itu perlu  penanganan khusus. Baik dari segi sirkulasi udara maupun menjaga agar suhu udara tetap stabil dan paling utama tidak lembab.

Apabila dibiarkan seperti itu dapat membuat naskah menjadi cepat rusak. Menurut keterangan salah satu pegawai museum, proses penyimpanan seperti itu hanya bersifat sementara sambil menunggu hingga renovasi ruangan selesai. Sementara konon kondisi seperti itu telah berlangsung selama kurang lebih tiga bulan.

Kunjungan selanjutnya adalah Museum Prabu Geusan Ulun di Kota Sumedang. Museum ini juga menyimpan koleksi naskah kuna. Jumlahnya sekitar 30 naskah yang berasal dari masa pemerintahan Bupati Kedua di Sumedang. Rata-rata naskah tersebut menggunakan aksara Arab atau Pegon. Semua koleksi tersimpan dalam sebuah etalase kaca dengan kondisi yang memprihatinkan.

Etalase tersebut tanpa dilengkapi ventilasi udara yang baik dan penerangan yang memadai, keduanya salah satu upaya memperpanjang umur naskah agar tidak semakin rusak. Naskah-naskah tersebut dalam kondisi tidak terawat. Padahal kondisi naskah masih dalam keadaan cukup baik. Teks yang terdapat dalam naskah tersebut masih terbaca dengan jelas hingga masih dimungkinkan untuk melakukan kajian makna dan isi naskah tersebut. Padahal umur naskah tersebut rata-rata di atas 80 tahun.

Di dalam etalase sama sekali tidak ada keterangan lengkap mengenai naskah yang terpajang. Hanya judul naskahnya saja yang dipajang, sementara keterangan lengkap tentang isi naskah tersebut terdapat di katalog yang tersimpan terpisah di rak petugas. Sehingga kadang menyulitkan pengunjung awam untuk dapat mengerti dan paham tentang isi naskah. Katalognya sendiri masih berupa salinan secara manual dalam lembaran kertas.

Kunjungan terakhir adalah Situs Ciburuy di Garut. Situs tersebut di bawah pengelolaan Balai Situs Kepurbakalaan Provinsi Jawa Barat dan ditetapkan sebagai cagar budaya. Sementara untuk pemeliharaan dan operasional masih mengandalkan swadaya masyarakat atau pengunjung. Tempat ini menyimpan koleksi naskah kuna yang tertulis dalam lembaran daun lontar. Koleksi tersebut tersimpan dalam sebuah rumah tradisional Sunda yang difungsikan sebagai museum.

Naskah yang benaran “kuna” ini disimpan dalam tiga kotak kayu (kropak) bermotifkan ukiran kembang. Hingga saat ini belum ada yang meneliti secara khusus kandungan isi naskah tersebut. Dugaan awal naskah tersebut peninggalan dari Kerajaan Galuh. Hal ini nampak pada bentuk tulisan yang menggunakan aksara Sunda Kuna. Kondisi naskah masih terhitung baik. Teks yang tertulis dalam lembaran lontar masih dapat terbaca dengan jelas.

Namun ada beberapa naskah yang tali pengikatnya sudah hilang. Hingga diduga susunan naskah menjadi tidak beraturan. Situs tersebut dijaga dan dikelola secara turun temurun oleh ahli waris. Karena dianggap sebagai sesuatu yang sakral maka hingga saat ini semua koleksi naskah tersebut mempunyai perlakuan secara khusus. Tidak sembarang orang bisa melihat koleksi naskah secara langsung kecuali atas ijin juru kunci dan melewati serangkaian ritual. Semua tata cara tersebut adalah salah satu bukti kearifan lokal yang bertujuan melestarikan warisan budaya. Walaupun dalam hal ini masih banyak perbedaan persepsi dengan sebagian golongan yang menganggap ritual tersebut sebagai bagian dari praktek “yang sesat”.

Dari hasil kunjungan lapangan dan melihat secara langsung ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Budaya dan Pariwisata.

Naskah kuna adalah salah satu warisan kebudayaan yang secara nyata memberikan kita bukti catatan tentang kebudayaan masa lalu. Menjadi semacam potret zaman yang menjelaskan berbagai hal yang mempunyai hubungan dengan peristiwa masa lampau. Karena nilainya yang sangat penting maka perlu ada langkah-langkah konkret dalam upaya penyelamatan dan pelestarian naskah tersebut.

Hal yang pertama kali perlu dilakukan adalah melakukan upaya pengkajian naskah-naskah yang masih ada. Dimulai dari pendataan naskah,  penyalinan dan penerjemahan isi teks naskah. Pembuatan katalog yang memuat data lengkap tentang koleksi naskah-naskah kuna adalah salah satu contoh konkret yang dapat membantu mempermudah melacak dan melakukan kajian-kajian akademik terhadap naskah.

Untuk pelestarian naskah yang tersimpan di museum atau perorangan…(Enggak selesai juga, haha, maafkan.)

Ujungberung II, 23 November 2008

Foto diambil pada 2 Maret 2009 di Museum Kalimantan Selatan, Banjarmasin.

Kategori: Tugas dan Tulisan.