Oleh Sinta Ridwan |
Sampai sekarang, jujur, aku masih enggak paham, aku nulis cerita pendek ini latar belakangnya apa. Apakah karena kekecewaan atau karena putus asa. Jadi aku pernah hampir dikeluarkan dari kampus karena dianggap para guru besar tidak bisa mengikuti kuliah, padahal aku enggak pakai beasiswa, untuk bayar kuliah aku jual ini itu karena tidak bekerja. Tetapi aman, aku diselamatkan beberapa orang dan dikasih tantangan untuk bisa mengejar yang lain (karena ilmu dasar aku bukan filologi jadi dianggap jauh tertinggal).
Ujung Kutub Aurora
Sungguh kuat keputusasaan melekat di jiwa ini. Padahal aku sudah rancang serinci mungkin pola-pola dalam proposal yang akan kuajukan itu. Sesempurna mungkin, demi semuanya, termasuk hidupku sendiri. Demi semua hal yang ada di luar kepentinganku juga. Demi kebudayaan di negeri ini.
Namun ternyata perjuanganku hanya dibalas satu kata, aku ditolak. Keberadaanku ditolak oleh penolakan mereka. Aku membuat semuanya semakin tidak peduli. Akan keberadaanku di rumah Ibu Bumi Pertiwi ini. Mereka anggap aku tidak pantas berada di dunia pernaskahan kuna itu. Dunia yang baru akan kugenggam dengan tanganku sendiri.
Dunia itu yang kuinginkan, kujalani. Dunia di bawah kepakan malaikat yang selalu siap membawa busur panah. Aku ditolak di rumah akademik terhebat di barat pulau. Aku juga ditolak oleh kota yang punya empat bahkan lima keraton. Kota kelahiranku sendiri pun menolak untuk kuinjak. Padahal sudah memberi banyak pelajaran tentang hidup.
Dan kini, aku harus keluar secepat mungkin dari kediaman mereka, aku tak boleh ada di sana, menyentuh, mempelajari dan turun memperjuangkan. Semua-muanya menganggapku tidak pantas berada di dunia ini.
Keputusasaanku memuncak di malam yang penuh nyanyian burung hantu di atas lubang tempat aku terjebak yang telah kehilangan kuncinya. Jiwaku memanggil-manggil pangeran sang penyelamat. Tolong aku, adakah di antara kalian yang dapat mengeluarkan aku dari lubang sempit yang gelap ini.
Aku sudah tak sanggup melompat. Tak sanggup mengangkat tubuh lagi. Aku sudah tidak kuat untuk bertahan. Padahal dinding lubang ini semakin menyempit saja. Detik demi detik kian menyempit. Aku takut terjepit dan terhimpit. Tolong, tolong aku. Aku jatuh di kegelapan.
Situasi di dalam lubang ini sudah tak dapat dikendalikan lagi, aku makin terjebak. Sebentar lagi aku akan menghilang di tengah kegelapan. Mati dalam kebencian. Tiada kemudi kegelapan yang aku temui. Di antara perasaan-jiwa-otak-aurora-dan akal sehat. Semuanya hilang. Hilang dibawa dingin es ke ujung kutub. Di ujung sana.
Satu-satunya jalan untuk keluar dari situasi ini adalah dengan cara masuk ke dalam pusat lubang. Di sana ada tiga lorong. Lorong itu adalah jalan menuju kutub. Salah satu di antara lorong-lorong tersebut merupakan jalan untuk mencari kunci lubang yang hilang, hingga aku dapat menghentikan pergerakan dinding tanah yang kian menyempit. Kunci yang dapat mengeluarkan aku dari kegelapan.
Tapi, lorong itu kan ada tiga. Masalahnya sekarang adalah bagaimana aku dapat memilih salah satu lorong di antara tiga lorong menuju kunci yang hilang untuk ditemukan dalam waktu yang serba mendesak ini? Dari mana aku dapat keyakinan yang tepat dan cepat untuk memilih lorong yang benar? Bagaimana kalau aku masuk pada lorong yang salah? Ah, aku pasti akan tertimbun tanah dan mati. Sesak oleh udara kegelapan. Pencipta, aku takut dengan keadaan yang aku hadapi saat ini.
Apapun yang terjadi, aku harus mencobanya, memilih salah satu lorong. Bagiku lebih terhormat mati di tengah perjuangan dari pada diam di sini tanpa keputusan apa pun. Menunggu tubuh ditelan kegelapan memang sia-sia. Dan kini aku tak mau sia-sia. Sekarang juga aku ambil keputusan, aku turun ke dasar lubang, untuk mengambil kunci itu di ujung kutub sana.
Keputusasaanku kali ini menuntun aku melawan kegelapan. Melawan ketakutan. Aku harus menemukan kunci itu secepat mungkin. Kalau tidak, pintu satu-satunya untuk keluar dari dunia kegelapan ini akan tertutup oleh tekanan batin angkara murka. Aku memutuskan untuk turun secara perlahan hingga tiba di pusar kegelapan. Di tengah kehampaan.
Di dasar kegelapan aku berhadapan dengan tiga lorong. Kini saatnya tiba bagiku untuk menggunakan mata hatiku untuk menyinari jalan yang aku tempuh. Walau remang cahayanya dengan sedikit tenaga yang tersisa. Namun, ia mampu menyingkap setirai demi setirai kegelapan di hadapanku, di antara ketiga lorong itu. Lorong mana yang akan tembus sampai ke ujung kutub? Lorong kanan kah? Yang kiri kah? Atau yang tengah? Ayo, cepat putuskan, aku sudah tidak punya waktu lagi. Pilih detik ini juga!
Aku masih dipenuhi keraguan. Ah, pasti yang kanan. Ya, pasti yang kanan. Semuanya sungguh terlihat berharga bila diletakkan di sebelah kanan. Menjadi begitu terpuji bila diberikan dari pihak kanan. Ya kanan, aku akan melangkah ke lorong sebelah kanan. Tiba-tiba, jangan! Otak aku berteriak, diikuti sel-sel darah aku.
Jangan ke kanan, ke kiri saja. Kami yakin itu yang tepat. Bagaimana bisa suara-suara di tubuhku itu tahu, sebelah kiri yang tepat. Aku kosong. Tak dapat menentukan pilihan yang tepat juga cepat. Hingga kakiku saat aku pinta melangkah ke lorong yang tengah saja, tak mampu. Tanganku juga seakan bersuara ikut meraung-raung. Meminta lorong yang tengah.
Peperangan dalam tubuhku semakin menjadi, selain mereka saling berteriak-teriak meminta aku melangkah sesuai dengan keinginan mereka masing-masing. Mereka juga saling membunuh di dalam tubuhku. Saling menyakiti. Demi keinginan mereka, bukan demi seorang aku. Aku semakin kosong.
Tiba-tiba, mata hatiku yang sedari tadi diam saja karena ia terlalu sibuk bertugas menerangi langkahku. Secara terus-menerus mengeluarkan buliran cahayanya ke arah dinding di antara kedua lorong. Tengah dan kiri. Mau ke mana mata hati ini mengarah? Batinku berbisik. Apakah ia menginginkan aku ke tengah? Atau ke kanan? Keraguanku memuncak. Sementara perkelahian dalam tubuhku semakin mendarah daging. Saling membunuh dan saling memakan.
Detik demi detik terus melangkah. Batinku berteriak kencang. Otakku meraung-raung tawaran sarannya agar secepatnya diambil olehku. Oh, otakku semakin melengking, meninggi suaranya, seakan ingin meledak. Sakit sekali rasanya. Aku pegang kepala, aku terjongkok, terkulai lemas tak berdaya. Mata hatiku terus menyorot ke dinding.
Aku paksa mataku terpejam. Aku tarik napasku dalam-dalam. Aku buka mataku. Lihat satu-persatu lorong, dari kiri, tengah, hingga kanan. Kakiku mulai melangkah ke depan pintu lorong sebelah kanan. Satu langkah. Dua langkah. Namun, aku malah berlari masuk ke dalam lorong kiri.
Aku terus berlari. Aku rasakan organ tubuhku ada yang melompat girang. Dan ada yang jatuh dalam tangisan. Karena saran mereka tidak aku pilih. Aku terus berlari dan berlari. Mata hatiku agak redup dan semakin redup menerangi dinding-dinding lorong. Aku terus berlari dan tak peduli siapa yang kalah.
Namun, mata hatiku tiba-tiba terbang menjauhi ragaku. Entahlah. Apakah mungkin ia merasa sungguh kecewa juga pada pilihanku? Tapi aku tidak peduli ditinggal mata hatiku, biarlah ia pergi. Toh masih bisa aku raba kegelapan ini pakai mata kaki aku. Tugasnya menerangi langkahku juga sudah cukup, cukup selesai. Dan aku terus berlari. Otakku lalu bekerja menjadi begitu bersemangat karena memang inilah pilihannya juga. Sel-sel darah terus bersorak senang. Aku terus berlari. Menelusuri lorong kegelapan.
Samar-samar aku melihat ada setitik cahaya di ujung sana. Masih jauh memang. Sangat jauh. Tetapi kakiku tak akan menyerah karenanya. Kakiku terus berlari. Tanganku ikut bersorak-sorak. Namun demikian, di dalam tubuhku satu persatu ada yang tengah membusuk. Saling membunuh. Tapi aku tak peduli dengan yang terjadi di dalam tubuhku. Aku kian yakin karenanya. Inilah lorong yang benar. Kakiku terus berlari. Jangan sampai aku mati sebelum mencapai tujuan.
Sepeninggalnya mata hatiku. Semuanya menjadi gelap. Kakiku tersandung batu besar. Tidak kelihatan. Aku jatuh, berguling-guling. Kepalaku terbentur dinding lorong yang keras dan gelap. Tulang otakku berantakan. Isinya bermuncratan kemana-mana. Senang melihat dunia di luar tempurung. Keluar dari penjara yang selama ini membungkamnya hidup-hidup. Sayangnya, yang dilihat oleh ceceran otakku bukan dunia yang diimpikannya, melainkan dunia penuh kegelapan. Gelap.
Aku mengerang diserang rasa sakit yang teramat garang seperti sang ajal yang tengah mencabut nyawaku secara paksa. Tanganku meraba dinding ternyata sudah berlumur darah, yang memancar deras dari liang luka di tubuhku. Betapa darah itu tidak hanya keluar dari tubuhku, tapi juga mengalir dari setiap helai rambutku yang kusut.
Aku ambruk seperti setumpuk pakaian lusuh di kamar mandi. Kupaksa tanganku menyeret tubuhku dengan mencari pegangan ke dinding penuh darah. Betapa ingin dalam saat yang demikian, sinar itu mendekat ke arahku. Nyatanya kian menjauh. Kegelapan terdampar di hadapanku.
Ah, Kau. Kau benar-benar hebat! Aku kini semakin tidak berdaya di hadapan-Mu. Tanganku yang kian lemah tanpa sengaja menyentuh sisi kiri stalakmit. Tangan yang lainnya, ditancap runcing stalaktit yang jatuh tiba-tiba. Kini yang ngalir bukan lagi darah tapi isi tulang sum-sumku. Aku berhenti bergerak. Merasakan nyawaku meninggalkan ragaku.
Aku sandarkan tubuhku pada dinding yang lembab oleh darahku. Aku paksakan mataku melihat kenyataan hidup yang pahit. Tapi gelap. Semua gelap. Titik itu entah di mana. Titik cahaya itu semakin hilang dalam pandangku. Jangan, jangan tinggalkan aku.
Tuhan. Tuhan. Aku tidak berdaya Tuhan. Mulutku tidak bisa membuka. Lidahku tidak dapat berucap. Aku semakin kosong. Tiba-tiba tanganku yang kehabisan darah dan sum-sum menjelma abu. Ah. Aku sudah semakin tiada arti lagi. Angin kegelapan meraung-raung di dalam lorong, yang menyeruak dari arah lain, menyapu debu tanganku, menerbangkannya menuju cahaya. Tunggu!! Aku ikut. Pintaku.
Ternyata jalan menuju cahaya itu adalah menjadi debu. Berarti aku harus tancapkan tubuh aku yang lainnya ke stalakmit yang kokoh dan lancip itu. Kini sehabis tangan, lenganku yang berdarah, berangsur jadi debu disapu angin terbang ke arah yang sama. Aku tancapkan kedua kakiku. Lalu perutku. Dadaku hingga otakku. Semuanya mengucurkan darah dan sumsum. Lalu menjadi debu. Dan terbang disapu angin kegelapan. Pintaku dikabulkan. Permintaan terakhirku. Terbang menuju inti cahaya di ujung kutub utara.
Mata hatiku yang meninggalkan ragaku tadi, terus terbang keluar dari lorong kiri. Lalu masuk ke lorong sebelah kanan. Ia merasa sedih. Sebenarnya tadi mata hatiku saat menyinari lorong kiri dan tengah, bermaksud memberitahu, jangan memilih keduanya. Yang benar adalah yang kanan. Berhadapan dengan kenyataan yang direngkuh ragaku, mata hatiku menangis pilu.
Mata hatiku yang meninggalkan ragaku kembali terbang masuk ke dalam lorong sebelah kanan. Sampai akhirnya ia menemukan titik cahaya yang sesungguhnya hanya dengan sedikit waktu. Lalu ia masuk ke dalam titik cahaya itu dan dengan sangat terkejut. Ia melihat taburan aurora di atas langit.
Di atas titik cahaya itu, ia menemukan kunci yang selama ini aku cari. Di aurora yang gemerlapan, mata hati bersatu dengan perasaan-jiwa-otak-aurora-dan akal sehatku. Di ujung kutub tersebut, ia melebur. Penuh suka.
Sementara itu debu-debu ragaku yang berterbangan, ditemukan saling menumpuk di bawah titik cahaya yang lain. Bukan aurora di ujung kutub. Namun cahaya yang memilukan. Tumpukan itu kian menggunung. Dan membatu di tengah kegelapan dan kekosongan. Perjuangan yang sia-sia.
“Ta, bangun!” Seseorang telah membangunkanku. Aku membuka mata perlahan, aku berada di lorong kampus. Berkas-berkas pengeluaranku dari kampus berserakan.
Ujungberung II, 24 Januari 2009
Foto diambil di Gunung Manglayang, Bandung pada 2 Januari 2009.