Catatan Sinta Ridwan | Mengulas Secangkir Bintang |
Sejak lahir di Agustus 2017 hingga sekarang Februari 2020, baru ada dua ulasan yang sengaja banget ditulis mengenai buku Secangkir Bintang versi 1.7. Satu yang akan dipajang di bawah ini, ulasan dari Muhammad Fasha Rouf (dari buruan.co) dan satu lagi ulasan dari ayahnya Berto Tukan (nanti ya dipostingnya). Tapi, kalau yang mengulas puisi-puisinya secara langsung ada juga beberapa catatannya, mungkin nanti dikumpulin dan disimpan di ruang ini. Sekarang, sila disimak ulasan di bawah ini, siapa tahu jadi tertarik untuk membeli, buku Secangkir Bintang V1.7 bisa dibeli di Kiosque Godong Semanggen ya, hehehe, harganya Rp. 55.000, sekalian promosi.
Puisi dan Histori bagi Sinta Ridwan
Oleh Muhammad Fasha Rouf
Kisah pun ditulis–ulang sang filolog
bisa jadi ia penyaksi sejarah
turunnya Taurat di ujung bukit batu
“Kisah Filolog”
Larik puisi di atas penting untuk mengantarkan pembaca pada puisi-puisi Sinta Ridwan. Seorang penyair perempuan dengan semangat mencatat yang kuat. Kerja utama seorang filolog—pekerjaan lain Sinta—salah satunya adalah mencatat, terutama peristiwa atau artefak masa lalu. Ia menyadari pentingnya catatan sebagai peninggalan sejarah manusia. Ia gigih dan konsisten merenungkan berbagai hal untuk digubahnya menjadi larik-larik puisi.
Kegigihan dan konsistensi Sinta dapat ditunjukkan dari jumlah puisi dalam antologinya berjudul Secangkir Bintang V1.7 terbitan Gambang Buku Budaya. Antologi ini mendokumentasikan puisi-puisi Sinta yang ditulis pada rentang 2006-2009. Selama empat tahun itu, sebanyak 203 puisi ia hasilkan. Satu puisi dari tahun 2006, delapan puisi tahun 2007, 79 puisi tahun 2008, dan 115 puisi yang ditulis tahun 2009.
Membaca antologi ini, kita akan menziarahi berbagai peristiwa: perjalanan, kepergian, sejarah, jatuh cinta, religiusitas, fantasi, patah hati, dan hal-hal lain. Puisi-puisi Sinta lahir dari rahim kegelisahan perempuan dengan “bapak” peristiwa berbeda-beda. Proses mengasyikkan. Puisi-puisi yang tak menjemukan. Apalagi, buku puisi ini pun banyak diselipi ilustrasi-ilustrasi pensil karya Arut Syaiful Batan.
Ratusan puisi Sinta ditulis dalam bahasa berbeda. Terdapat juga puisi berbahasa Inggris. Puisi-puisi tersebut berjudul “Black Rose”, “Sad Love”, “Dreaming Blue”, “Brush Girl”, “Our Heart”, “Kite Shadow”, “Madame Castle”, “Answer Rock”, “Say Clouds”, “Will Illuminate”, “Free Bird”, “Come Here”, “Pretty Eyes”, “Through Sky”, “Sleeping Mac-Aplè”, dan “Super Girl”.
Banyaknya kuantitas puisi Sinta berakibat pada perbedaan gaya bertutur. Hal ini berisiko, sebab perbedaan gaya tutur dari puisi-puisi Sinta akan mengakibatkan bias identitas penyair dalam puisinya. Sehingga, jika nama Sinta Ridwan dihapus dari puisi-puisinya, tampaknya pembaca akan sulit menyebut langsung bahwa itu puisi karangannya.
Selain itu, beragamnya gaya ungkap dan ucap tak selamanya mulus. Saya temukan beberapa gaya tutur yang kurang pas dan terasa aus.
tak mungkin hanya ada satu/karena yang satu, hanya kamu “Terlalu Dominan”
saat nafsu mengalir/kebencian menggolar./Otakku tak berpikir jernih “Ingin Membunuhnya”
Aku mau terbang,/benci dia, yang tak berasa,/tak suka dia, yang munafik,/sama sekali tak suka kebohongan,. Sungguh muak, bermuka dua lapis,/ “Cara Melupakan”
*
Puisi: Tafsir Masa Lalu
Terlepas dari perbedaan gaya tutur, puisi-puisi Sinta memiliki daya tawar lain. Terdapat potensi besar saat ia menuturkan wacana-wacana sejarah, lokalitas, dan mitologi yang penting bagi nilai kebudayaan Nusantara, khususnya Cirebon.
Dalam tematik ini, gaya tutur Sinta sangatlah berbeda dan segar. Ia seperti juru pantun modern, dalam bentuk puisi. Sama sekali tanpa melihatnya sebagai filolog, puisi-puisi dengan tema ini memang terasa lebih kuat dan nikmat..
Ada beberapa gaya tutur dalam puisi sejarah yang bisa kita temukan dalam antologi ini. Gaya pertama adalah puisi yang ditulis dalam bahasa Cirebon, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya, dalam larik puisi “Hidupi Nyai” berikut.
Aku tantang matahari./Aku serap amarahnya/yang membara. Menggila//Berharap matahari, jadi bulan. Bulan, jadi bintang./Kulit pun aman, karenanya./Saat siang menerikkan tenaga
Dalam puisi itu, gaya bertutur, tempo, metafora, dan imaji sangat khas. Puisi itu pada awalnya ditulis dalam bahasa Cirebon dengan judul “Amemayu Nyai”. Ada beberapa puisi lain dengan teknik penulisan serupa. Puisi lainnya dapat ditemukan dengan judul: “Babad Ulung”, “Pinus Merdèka”, “Nagari Cirebon”, “Kala Wangsakerta”.
Kedua, Sinta langsung menuturkan sejarah atau mitologi dalam bahasa Indonesia. Hasilnya, ia terasa lebih bebas dalam memaknai peristiwa sejarah berdasarkan perspektifnya sendiri. Ia menulis dalam “Karma Rama” sebagai berikut.
Helaan napas sang dewi, mengekalkan/kabut hitam kehidupan, di lajur cahaya/yang susut perlahan. Di selangkangan//.
Cara ketiga ialah merekonstruksi peristiwa masa lalu dengan sudut pandang masa kini atau menulis peristiwa masa kini yang masih berkaitan dengan masa lalu.
Dewi Sri masih sebagai simbol./Tapi untuk mengusir roh halus./Bukan sebagai dewi kesuburan./ “Dewi Sri”.
Semakin dalam menghening, semakin pelan bergerak./Duduk sila sambil memejamkan pikiran dari dunia./ “Undangan Karuhun”
Tafsir Sinta terhadap sejarah kebudayaan manusia di masa lalu memiliki energi dan daya tarik tersendiri. Puisi-puisinya dapat lebih teridentifikasi. Di masa mendatang, saya kira Sinta akan menjadi penyair andal dengan tafsiran-tafsiran nakal dan mendalam terhadap peristiwa-peristiwa histori itu.
Akhirulkalam, bagi saya, Sinta seperti tengah membuat riwayat. Ia tengah melakukan kerja kebudayaan penting. Saya teringat gagasan Umberto Eco1, “Daftar tidak menghancurkan kebudayaan; ia menciptakannya. Kapanpun Anda melihat sejarah budaya, Anda akan menemukan daftar-daftar.” Wajar bagi Sinta untuk memasukkan banyak daftar puisinya. Ia menjadikan buku ini sebagai artefak kebudayaan yang penting, setidaknya untuk dirinya.
Judul Buku : Secangkir Bintang V1.7
Penulis : Sinta Ridwan
Tahun Terbit : Juli, 2017
Tebal : 220 halaman + xxx
Penerbit : Gambang Buku Budaya
ISBN : 978-602-6776-446-4
1. Baca terjemahan wawancara Umberto Eco di sini: http://kunci.or.id/articles/umberto-eco-kita-menyukai-daftar-karena-kita-tidak-mau-mati/
Bandung, 6 Maret 2018
*PS: Ulasan ini diambil dari website buruan.co berikut link lengkapnya: http://www.buruan.co/puisi-dan-histori-bagi-sinta-ridwan/ dan untuk foto diambil oleh Deni di warung kopinya Jungle Preanger, GCM, Cirebon pada saat buku Secangkir Bintang V1.7 dilahirkan dan dikirim oleh Penerbit Gambang dari Yogyakarta ke Cirebon.