Mimpi Putri

Oleh Sinta Ridwan |

Entah apa yang merasukiku, sambil nyanyi ngomongnya, hehehe. Tidak tahu mengapa bisa menulis cerita pendek sedemikian rupa, hingga pas dibaca lagi kok jadi geuleuh. Tapi mau dibuang sayang, ya sudah, selamat membaca dan jangan mikir macam-macam ya, ini cuma cerita khayalan enggak jelas yang pada saat itu mungkin sambungan dari mimpi? Eh, entahlah.

Mimpi Miss World

Mentari terik suatu siang terhalang rimbun dedaunan pohon tua. Di bawahnya tampak dua manusia berusia dewasa tengah bercengkrama. Di sebelahnya barisan pohon tua berjejer dari barat ke timur, di ujung ada bendungan yang dibuat dengan proyek asal jadi. Dua manusia itu tengah melarikan diri dari rutinitas kerja dan keramaian kota. Seharusnya salah satu dari mereka kuliah dan satunya lagi ngantor. Rupanya, keduanya berniat sama, tanggalkan rutinitas, setelah bertemu di Kedai Afriani.

“Ke hutan, yuk? Bosan begini.” Gayung bersambut, “Hayuk.”

Alunan musik berputar dari laptop yang sengaja dinyalakan. Mereka berdua memiliki hobi yang sama, suka menulis dan mendengar suara alam. Hutan kota memang tempat yang tepat untuk kabur menghindari keramaian kota. Hanya lima belas menit dari simpang. Kita bisa menemukan hutan pinus yang masih hijau dan suara-suara alam yang menggetarkan kesadaran. Bunyi tongeret dan burung saling beradu suara, entah mereka sedang bernyanyi, mengobrol atau hanya teriak tak karuan.

“Tadi pagi saya melihat dirinya cantik sekali.” Seorang pria berbadan tegap, mengeluarkan suara setelah selesai melahap makanan ringan yang sempat dibeli sebelumnya. “Cantik bagaimana maksudnya?” Tanggap satunya.

“Ya, cantik. Tadi pagi dirinya sedang menyiram tanaman di depan halaman rumahnya dihiasi bias mentari pagi yang menyapu kulitnya. Rona mukanya tanpa sapuan bedak yang menghalau mimpi indahnya semalam.” Kata-katanya terhenti karena harus menghisap rokok, lalu dilanjutkan.

“Beberapa detik saya kehilangan kata-kata, entah apa yang harus diucapkan. Bahkan ejaan selamat pagi mendadak berubah jadi rangkaian rumus kimia yang teramat sulit diurai. Saat itu dirinya tersenyum legit walau matanya tampak masih lengket dan hanya meninggalkan dua buah garis di bawah lengkung alisnya yang hitam. Duh, saya benar-benar mati gaya di hadapannya.”

Sebelahnya hanya tersenyum. Menanti lanjutan. Seolah kata-kata tidak bisa ia tahan dari tubuhnya, entah saking ingin bercerita atau memang sakit perut, tampak sedang senyam-senyum. Ingin mendengar cerita teman sekaligus sahabat sejak kecil.

“Tapi tadi siang sebelum makan, saya ketemu dirinya lagi di kampus. Saya menemaninya makan. Dirinya mengeluh sakit akibat masalah gusi. Tapi selera makannya tidak pernah berubah. Dirinya berubah, tidak secantik tadi pagi.” Lanjutnya. Ujung rokok masih dihisapnya. Tanpa sempat bertanya mengapa.

“Mungkin karena otaknya mulai dipenuhi hal-hal yang dianggap jemu. Ada banyak keluhan meluncur dari mulutnya. Ada bermacam serapah tugas-tugasnya. Ah, tapi dirinya tetap cantik. Walau tidak secantik pagi tadi saat saya menjemputnya. Haruskah mencintainya di kala pagi saja?” Tanyanya penuh keraguan mendalam.

“Kenapa harus begitu?” Tanya yang sedari tadi asyik mengetik sesuatu di laptopnya. Ia mulai memberi ruang untuk mendengar. Tiap sepuluh detik ia menahan matanya untuk tidak melirik sosok di depannya. Walau membelakanginya, sesekali ia tergoda juga melirik punggung itu.

“Ya, mungkin dirinya tidak bersemangat seperti semangat kita menyongsong siang ini, yang tak ada kejelasan dirinya untuk melakoni kenikmatan. Tapi saya tidak peduli, semangat atau tidak semangat dirinya tetap cantik!”

Setelah puas menatap riak air yang tertahan di bendungan. Punggungnya membalik menghadapnya, yang asyik dengan laptopnya. Sejenak hentikan ketiknya.

“Mungkin dirinya sedang bermasalah. Setahuku dirinya perfectionist, setiap menghadapi masalah dirinya pasti menyelesaikannya sesempurna, sebersih dan seindah mungkin. Saya pernah mengobrol dengannya tentang kesempurnaan.”

Kata-kata yang keluar seolah menghakimi sasaran panah cinta si punggung yang kini berdiri. “Eh, tapi aku boleh komentar tentang dirinya, ya? Menurutku dirinya tidak pernah mengeluh kecuali sakit. Dan satu lagi dirinya itu tidak cantik tapi manis, setidaknya menurut aku, lho.” Penuh ragu berkata, takut membuat tersinggung.

“Ya, tapi dia itu yuli,” ia menimpali. “Apa itu yuli?”

Kadang ayu kadang bli,” dipamernya gingsul depan giginya. “Maksudnya?”

“Kadang cantik, kadang tidak, hahaha.” Mereka tertawa bersama.

Mentari makin terik panasnya. Keduanya sama sekali tidak tersentuh ruam sinar. Lagi-lagi rapatnya dedaunan melindungi hawa keakraban. Mereka tampak asyik merokok, mengetik, bercerita dan mengomentari yang ada di hadapan.

“Semalam kami sempat bercumbu. Bercinta penuh gelora di atas sofa merah di samping perapian rumahnya,” matanya menerawang penuh binar.

“Wow, romantis, bagaimana rasanya bercinta dengan perempuan perfectionist?” Tanyanya sambil melempar lirikan mata penuh keingintahuan. Sorot matanya semakin tajam seakan ingin menembus sanubari tubuh berpunggung itu. Dalam batinnya, ia berharap jawaban, “Biasa saja.”

“Kami menikmati karunia cinta yang tiada tara indahnya. Cahaya bintang kejora seakan-akan kami gapai. Alunan desah napasnya terdengar merdu menggetarkan kalbu. Goyangan tubuhnya menyaingi gelora ombak samudera. Membuat kesadaranku terombang-ambing dan hanyut terlepas. Menghapus gelisah dan resah. Jilatannya sebasah embun pagi, bagai senikmat belaian sayap malaikat,” ungkapnya bernada tertahan. Ekspresinya menerawang ke dalam ingatan semalam.

“Oh, aku merinding dengarnya.” Sontak tangannya memegang tengkuknya yang berdesir hawa hangat. Lalu dengan sengaja, ia mengalihkan pembicaraan. Ia membelokkan topik, karena yang tadi rasanya tidak nyaman untuk dibahas. Akhirnya ia memilih membahas tokoh ‘dirinya’ saja.

“Aku lupa, aku belum cerita obrolanku tentang kesempurnaan dengan dirinya. Dulu aku sempat mewawancarainya, saat aku mencoba mempraktekkan teori sejarah lisan.” Ia mengalihkan pembicaraan romantis ke hal-hal yang manusiawi.

“O, ya? Apa katanya? Apa arti sempurna bagi dirinya?”

“Saat itu aku minta pendapat tentang kesempurnaan. Aku melontarkan topik pembukaan berharap kesempurnaan adalah bentuk ketidakmampuan mengalahkan tantangan. Mengharap kenyamanan adalah upaya merasionalisasikan pemikiran utopis tentang bagaimana cara menciptakan dunia lebih baik. Mirip jawaban para finalis Putri Dunia yang berintelejensi tinggi. Dunia tanpa perang dan kelaparan. Pasti itu jawaban pertanyaan apa harapan mereka dari tahun ke tahun. Tidak kreatif.”

“Terus dirinya bilang apa?” Penasaran ia menyela.

“Dirinya malah balik bertanya, bukankah kita sudah merasa sempurna jika berhasil memecahkan persoalan? Aku jawab, betul. Kesempurnaan adalah muara dari ketidakmampuan cari solusi. Ketidaksempurnaan memaksa kita menjadi bijak dan dituntut mampu mengurai setiap persoalan dengan nalar yang lebih beradab,” jelasnya sambil ikutan menyalakan rokok. Langsung lanjut ucapannya, terkesan takut disela.

“Lalu dirinya menjawab, bukankah manusia tercipta dari kondisi ketidaksempurnaan? Adam tanpa Hawa adalah bentuk dari ketidaksempurnaan. Mereka terusir dari surga dan terdampar di dunia sebagai bentuk lain dari ketidaksempurnaan. Lalu sampai kapan kita mau berkutat dengan pencarian pada kesempurnaan? Kita sama sekali tak berhak dengan kata itu,” paparnya. Kali ini kata terakhir yang keluar dari mulutnya diucapkan berbarengan asap rokok yang dihembus cepat. Asap rokok melebur alunan angin sejuk menerpa wajahnya sendiri.

“Kau tahu, aku tak puas apa yang dikatakan dirinya. Aku kembali bertanya. Jika memang kesempurnaan berbanding sejajar dengan kebahagiaan lalu apa parameternya? Mendengar pertanyaanku  semacam itu, dirinya dengan mata hampir lepas melontarkan kata-kata seperti ini: Setiap bulan, rembulan selalu mencapai titik sempurna bentuknya. Cahayanya, walau tak konsisten pada waktu-waktu tertentu, tapi sempurna itu selalu terwujud. Sebagai pengidola kesempurnaan, walau kecil harapannya, tapi raga ini menggali lubang guna mencapai titik terakhir dan berharap sempurna. Baginya, sempurna hukumnya wajib, tapi dalam prediksi otak pribadinya.”

Mendengar kata-katanya, dua mata di hadapannya menerawang menembus celah-celah dedaunan tanpa batas, membayangkan apa pikiran ‘dirinya’ saat berpikir tentang kesempurnaan. Lalu keduanya hening sejenak.

“Hei! Kenapa ikut bengong? Lanjutkan!” Ia mencairkan keheningan dengan ungkapan antusias.

“Eh, oke. Terus dirinya melanjutkan pertanyaan bodoh. Kenapa membahas kesempurnaan, ya? Yang pasti mah, intinya dirinya ingin segala sesuatu keluar keringat banyak untuk mengharapkan yang memuaskan keinginan menjadi sempurna atau tidak. Yang pasti selama proses, kesempurnaan selalu terngiang di telinga, hati dan pikirannya. Mendengar kata-kata dirinya, aku paham seperti apa otaknya, walau dirinya merasa tak sanggup lagi berkata-kata, tapi dirinya seperti berusaha menyempurnakan apa yang diangan. Walau harus mengorbankan otak dan materi. Kau tahu yang dirinya tuju? Ya, kesempurnaan itu hasilnya. Sayangnya, dirinya bukan penikmat proses. Itu yang aku tahu tentang pikiran dirinya, yang menurut aku rendah mutunya.” Penilaiannya ini berharap mendapat pembenaran dari lawan bicaranya.

Hmm, tapi walau begitu saya tetap sayang padanya, setidaknya dirinya sudah membuat saya berusaha mau menjadi sempurna di depan dirinya,” jawabnya sambil menyenderkan badannya ke pohon besar samping tempat duduk mereka, matanya tetap menerawang ke awang-awang.

Ia masih menghentikan jemarinya mengetik kata-kata dan melanjutkan pembicaraan dengan memberi pertanyaan pada yang menikmati senderannya.

“Kita bahas yang lain, apakah manusia yang punya cita-cita disebut orang sempurna? Hahaha, sempurna lagi, sempurna lagi. Mirip lagunya Andra and the Backbone. Kau bagitu sempurna…,” ia bernyanyi, walau suaranya fals. Tapi ia berhenti setelah tahu di hadapnya tidak tertarik dengar nyanyinya, ia melanjutkan.

“Maaf, kalau yang ini aku jawab sendiri saja. I think the answer is no. Aku mau bahas Miss World atau Putri Dunia-nya dulu. Mereka selalu berharap kalau dunia ini damai, tidak ada perang, tidak ada orang lapar, berarti mereka tidak ada job description yang berat, beban mental dan otak yang bakal banyak menguras otot, untuk pikirkan perut orang lain. Walau itu cuma formalitas perlombaan saja, setidaknya itu sesuatu yang diharapkan. Dunia ini damai. Kata aku sih begitu, benar enggak, sih?”

Ia jawab, “Oh, kalau hal ini, saya pernah menanyakan dirinya saat bercumbu habis-habisan tadi malam. Dirinya bilang, di cerita Ramayana, Dewi Sinta selalu memuja suaminya makhluk sempurna, wajah tampan, diimpikan banyak wanita, gagah dan seorang raja. Tapi bagi dirinya, jika jadi sang dewi, akan memilih Rahwana. Alasannya, raksasa itu setia cintanya, berkorban untuk wanita yang dikasihinya, bukan nafsu. Terbukti dengan tak menyentuh sama sekali, selama Dewi Sinta disekap, segala cara mau dilakukan, demi dekat dengan cinta sempurnanya.”

Hmm, boleh juga otak dirinya, tetapi kan sempurna tak bisa di deskripsikan dengan kata-kata, hanya bisa di mulut mentok di mata. Tapi walau aku bukan pengagum kesempurnaan sekali lagi, aku punya bahan dasar pembuat kue sempurna menjadi sempurna, dan dilihat sangat sempurna di mataku,” kata-katanya membuatnya memandang aneh padanya, lalu ia balas menatap dan berkata,

“Aku selalu memuja setiap puncak gunung. Karena untuk bisa mencapainya tidaklah mudah. Ada banyak ancaman di sepanjang perjalanan. Bahaya cuaca, disorientasi, dehidrasi, dan ancaman mental. Begitu semuanya bisa dilewati dan aku bisa berdiri di atasnya maka aku menilai inilah kesempurnaan. Walaupun aku tak mendapatkan apa-apa dari semua itu. Hanya menikmati lelah.” Jelasnya sambil mengisap dalam-dalam rokoknya, seraya melanjutkan omongan.

“Aku begitu mengagumi sungai. Karena banyak jeram dan batu-batu tajam. Aku penasaran dengan sensasi rasa ketika aku bercumbu dengan sungai. Dihantam arus terhempas batu dan hanyut tergulung derasnya air. Begitu semuanya selesai aku merasa sempurna. Karena semua tidaklah berlandaskan pada keajaiban. Semuanya melalui berbagai macam proses pemahaman dan antitesis pada resiko.”

Satu yang bersender pada pohon itu semakin menatap tajam, seolah sangat mengerti kata-katanya karena ia suka olahraga arum jeram dan hiking. Ia juga berpikiran sama, persis seperti ungkapannya tadi. Ia berharap lanjutan kalimatnya semoga sama persis dengan yang ia bayangkan.

Lalu ia mendekatinya, dengan buncah perasaannya bak semburan amunisi dari pesawat tempur milik AS itu, menampakkan gelora. Tanpa ada sisi kelembutan sama sekali. Lalu berkata pelan,

“Sempurna adalah definisi yang sangat personal. Sebuah nilai yang dihasilkan dari penyikapan terhadap setiap persoalan. Aku begitu menikmati lelah dan selalu berusaha meraba arti dari setiap tetes keringat yang kukeluarkan. Aku merasa hidup jika selalu berhadapan dengan rasa tidak aman. Karena hal tersebut selalu memaksa aku untuk selalu berpikir dan berdialektika dengan keadaan. Aku ada karena aku berpikir. Lewat berpikirlah maka segala sesuatunya menjadi sangat sempurna.”

Tangannya memegang kepala yang bersender pada pohon, sambil mengelus-elus lembut mirip anak kucing. Ia melanjutkan pembicaraannya,

“Tapi, aku sayang kamu karena kamu begitu banyak kekurangan. Karena kamu tidak sempurna. Tapi bukankah semuanya bisa terpenuhi dengan cara berbagi. Kita bisa saling memberi arti pada hidup kita masing-masing dengan cara berbagi. Berbagi beban dan tragedi. Tentang banyak hal yang sudah pernah kita rasakan atau mungkin juga yang akan kita rasakan. Bukankah kehilangan adalah sebuah makna serupa dengan keberadaan? Merasakan ada setelah tidak ada. Bersama kita belajar untuk menertawakan tragedi seperti iring-iringan badut sirkus. Aku akan berdiri angkuh dengan segala apa yang sudah aku miliki dari kamu hari ini. Tanpa menuntut lebih. Semua perasaan ini untukmu sepenuh hati.  Aku tidak suka dengan kata semoga. Aku akan jalani ketidaksempurnaan kita, semampu dan sepenuh hatiku. Akhirnya seperti apa aku tak peduli. Apakah kita akan menuju muara yang sama?”

Ia terkejut sekali mendengar kata-kata yang terlontar darinya. Ia sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ia mulai semakin mendekati tubuhnya, merangkul, mencoba menciuminya sambil terus berkata dengan desah penuh harap.

“Sudahlah, lupakan seorang dirinya. Dirinya hanya pemburu kesempurnaan dan kamu sangat jauh dari kriteria itu. Kamu hanya pantas denganku. Aku mau dan akan menerimamu apa adanya,” ujarnya yang napasnya makin membadai setelah semua pakaiannya tanggal berserak. Tangannya berusaha melucuti celananya. Api yang masih terdiam kaku walau sesekali mendesah berusaha menikmati permainan yang ditawarkan ia yang diam-diam sudah lama mengaguminya. Mencintainya. Teman satu-satunya dari kecil.

Kali ini siang makin angkuh. Teriknya membakar dan menyoroti gelora tubuh telanjang keduanya yang sedang rapat bersentuhan. Menembus paksa rimbunnya dedaunan. Keringat keduanya berlelehan menjadi satu lalu menguap secara bersamaan. Masih bergema suara-suara alam yang menemani mereka sedari tadi. Lengkingan tongeret dan burung yang berteriak-teriak dalam balutan nada yang berbeda. Penanda kekecewaan yang mendalam. Melihat semuanya.

Dago Pakar dan Ujungberung V, 20-24 Agustus 2008

Foto diambil di Museum Geusan Ulun, Sumedang pada 21 November 2011.

Kategori: Cerpen dan Tulisan.