Oleh Sinta Ridwan & Kimu666 |
Tulisan ini kolaborasi dengan Om Kimung untuk booklet pertunjukan musik grup Trah, personilnya adalah Gigi Priadji, Iman Jimbot, dan Indra Jenggot di CCF, 12 Februari 2011. Saat itu aku dikasih kepercayaan jadi MC, duh, kenangan banget.
Trah Konser Sarupaning Beja
Salama leuwih alah manusa mah,
sawanari alah tata maning beja.
Euleuh, euleuh tata maning bismillah mah,
sasalawa sarupaning beja.
Sarupaning Beja adalah salah satu jampi-jampi yang ada di Indramayu. Tak sembarang jampi, Sarupaning Beja adalah jampi yang khusus dipersembahkan untuk para karuhun gagah di Indramayu, yang pada kelanjutannya menjadi pangeling, papagah, pamageuh; nasihat bagi rakyat Indramayu secara umum. Sarupaning Beja dimainkan dalam ritual-ritual ruwat bumi, putra nunggal, suroan, bumi enggal, ruwat imah, ruwat taneuh, ruwat lembur, dan ritual-ritual lain yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat Indramayu. Dalam ritual-ritual ini Sarupaning Beja dimainkan dalam kesenian gembyung. Sebagai jampi gagah, Sarupaning Beja tidak boleh sembarangan dimainkan. Ini adalah kawih pamali. Trah sendiri mendapatkan Sarupaning Beja dari Abah Maman, juru kunci Mbang Pangamukan, Indramayu.
Sarupaning Beja mengisyaratkan manusia tidak ada yang berbeda. Semua sama, tidak berlebih, pun tidak berkurang. Hakikatnya manusia memang sama. Namun, kenyataannya kondisi saat ini sudah keluar dari hakikat manusia itu sendiri. Manusia saling lomba untuk menyombongkan dirinya, keadaannya. Merasa paling hebat dari yang lain. Sarupaning Beja merupakan sebuah doa. Doa kepada yang terlebih dahulu hidup, yang lebih tahu. Sarupaning Beja berasal dari Indramayu. Sebuah doa kepada karuhun untuk mengingatkan kembali akan hakikatnya seorang manusia.
Sawanari, alaah tatamaning beja merupakan salah satu mantra Sarupaning Beja yang mengingatkan kita bahwa tingkah laku manusia bisa ditata kembali. Artinya, manusia pada hakikatnya tidaklah sempurna dan tidak pernah tidak berdosa. Setiap manusia pasti melakukan kesalahan, namun yang lebih indah adalah ketika manusia itu mengingat kesalahannya lalu mencoba menata kembali jalur hidupnya. Ibaratnya manusia itu melakukan sesuatu harus sesuai jalur, apabila jalurnya salah akan menjadi bencana, kalau berada di jalur yang benar akan selamat.
Mantra selanjutnya adalah alaah bismilahmah, sebagai manusia untuk mengawali kehidupannya seharusnya diawali oleh niat yang suci, diawali dengan mengucap nama Sang Penguasa Alam. Sehingga segala sesuatu yang kita perbuat, pun jalur yang kita tempuh akan direstui oleh Sang Pencipta segala isi semesta. Perjalanan manusia pun tidak ada yang sia-sia, bila selalu ingat kepada Yang Maha itu.
Seperti pada mantra selanjutnya, sasawala sarupaning beja, yaitu dengan bekal keyakinan, sebuah kepercayaan, niat, apa yang diharapkan dan yang telah diberitakan oleh Hyang Maha Tahu itu pasti akan terjadi. Sekali lagi, tidak akan sia-sia. Segala sesuatu yang manusia yakini, alam pun turut meyakini, dan tentunya direstui oleh Sang Maha Cipta itu.
Mantra-mantra untuk karuhun akan dikolaborasikan oleh musik masa kini dan tentunya dengan alat musik modern plus tradisional oleh sekelompok pemerhati budaya dan pecinta musik, yang mereka namai Trah. Khusus pada bagian Sarupaning Beja, Trah akan mengangkat sebuah wacana yang terjadi saat ini. Ketika manusia mengambil jalan yang salah, maka akan terjadi bencana. Kemudian manusia akan mengakui dan menyadari kesalahannya, setelah mengalami runtutan bencana itu. Maka sebagai seorang manusia yang benar dan ia menyadari kesalahannya pun berusaha menata kesalahannya menjadi pelajaran dalam hidupnya maka manusia akan kembali kepada jalurnya sebagai manusia yang sama. Sebagai salah satu dari pengisi semesta yang disebut makhluk hidup. Makhluk hidup yang tidak sempurna, selalu berbuat salah.
Trah berusaha mengingatkan kita, sebagai manusia, bahwa manusia adalah ciptaan Sang Maha. Dia sendiri adalah Maha Pemurah. Kita diingatkan pula bahwa Sang Maha sendiri adalah Maha Pemurah, sebagai ciptaannya, haruslah kita menyadari untuk saling memaafkan antar sesama makhluk hidup. Karena sekali lagi, manusia itu tidak ada yang sempurna dan pasti berbuat salah. Saling memaafkan akan memberi kesempatan manusia untuk menjadi sempurna.
Namun Trah memiliki visi lain dalam penghormatan terhadap Sarupaning Beja. Tanpa bermaksud melangkahi pakem gembyungan dan terbangan Sarupaning Beja serta kegagahan jampi yang teruntukkan dalam Sarupaning Beja, Trah memaknai kembali Sarupaning Beja seni sebagai hasil kerja adab manusia, di mana pesannya yang universal dimaknai kembali melalui musik yang diaransemen dalam adegan-adegan dan berbagai simbolisasinya.
Penggunaan instrumen bedug, piriwit, goong kempul, dan kohkol yang dimainkan bersama suara guludug dan bisikan pun ampun amit sun dari peranti midi controller dan echo machine adalah simbol dari sawala, pengumuman mengenai berita-berita kepada umat manusia. Pun penggunaan instrumen kecrek, bonang, dan terbang yang dikawinkan dengan suara napas dan teriak dari peranti komputer yang merupakan simbol dari papas, atau nuansa atas berita-berita yang saling berhembus menerpa keseharian kita, memperkuat kegamangan kita dalam memahami kesadaran atas pilihan-pilihan yang sering kali salah, namun benar sudut pandang yang lain. Khusus instrumen terbang digunakan dalam musik ini sebagai instrumen asli dalam seni Gembyungan.
Tujuan itulah yang ingin diberitakan oleh Trah, melalui alunan ragam alat musik tradisional, mantra, jampe, dan harum menyan. Konser Trah mewujudkan sebuah proyek yang mendokumentasikan budaya yang mereka alami. Sebuah budaya yang dirasakan, diilhami, khususnya dalam budaya buhun. Namun Trah bukan berarti akan menyajikan alunan yang kolot dan patuh pada pakem (aturan). Trah mengkolaborasikan kepercayaannya yang berbau karuhun dengan kehidupan yang mereka alami saat ini, yang lebih kontemporer, sehingga pada akhirnya percampuran musik masa lalu dan masa kinilah yang akan dihidangkan oleh Trah.
Musik lalu tersebut dikawinkan dengan seni visual yang menggambarkan konflik manusia urban, lagi-lagi dalam permainan simbolisasi konflik manusia. Elemen urban dan konflik keseharian manusia di ranah grey area, bersandingan dengan elemen-elemen alam untuk membangun satu simbolisasi perjalanan pemahaman manusia akan hidup dan kehidupan, serta konflik-konflik yang semoga saja terus setia melahirkan kesetimbangan-kesetimbangan baru dalam hidup manusia. Lalu kita mahfum dengan lebih dalam akan kata-kata yang sudah sering kita dengar ini, “Katanya, kalau berbuat salah akan mendapat celaka, kalau berbuat benar akan mendapat selamat.” Dan tanpa sadar kita hanya berdiri menyisakan sesal sambil menggeleng-geleng kepala, “Pantas saja… pantas saja.”
Dengan kata lain, Trah akan mempresentasikan hasil pendokumentasian budaya dan musik pada kehidupan yang lampau, yang akan dikolaborasikan dengan musik kontemporer dalam bentuk kolaborasi beberapa musisi. Sehingga pertunjukkan ini akan semakin menarik sekali apabila kita memperhatikan sebuah budaya dengan melihat trahnya (garis keturunan) dari segi zaman maupun senimannya. Selamat menikmati kolaborasi yang indah ini dan tentu saja setelah menyantap semua sajian, akhir kesimpulan muncul pada masing-masing penikmat, yang akan menjadi sebuah refleksi kehidupan, karena merasa me-refresh jalur yang telah ditempuh, pun menyadari akan hakikatnya sebagai makhluk hidup. Suguhan yang membuat kita eling. Ya, eling-eling mangka eling kana jatina. Kana dirina. Kana trahna.
sin666 – Ujungberung, 1 Februari 2011