Sinta Obong

Oleh Sinta Ridwan |

Jadi ini ceritanya aku salin ulang dari cerita Ramayana versi Walmiki, sebagiannya lagi adalah imajinasi aku sendiri, aku mencoba mengkombainnya. Begitu saja pengantarnya, ya, hehehe.

Fragmen Carita Sinta Obong

Kuasa matahari sore membentang kesunyian kala Sinta membela harga dirinya yang begitu tinggi. Sinta sangat tersinggung saat suaminya, Rama, menuduh sudah tidak suci lagi paska-penculikan yang dilakukan oleh Rawana. Rama mengucapkan kata-kata keji pada Sinta disaksikan banyak orang, hanya demi menguji kesetiaan dan kehormatannya. Begitu mengerikan, kata-kata Rama bagaikan anak panah yang merobek dadanya, dengan banjir air mata Sinta menjawab dengan terbata-bata,

“Aku bersumpah suamiku, o, Rama. Aku tidak melakukan hal nista seperti yang kau tuduhkan kepadaku. Sebegitu sangsinya kah kau padaku, jelas-jelas aku begitu tulus mencintai Kakanda. Baiklah aku akan buktikan kepadamu dan rakyatmu kalau aku tidak pernah disentuh Rawana sama sekali. Laksmana, tolong siapkan pembakaran untukku, jika aku melebur bersama api berarti aku adalah hamba yang nista, berarti perpisahan sudah di depan mata, tetapi sebaliknya, jika aku tidak termakan oleh api, aku ingin Kakanda meminta maaf padaku di depan rakyatmu yang sangat kau cintai itu.”

Laksmana terkaget mendengar permintaan kakak iparnya itu, lalu ia melirik Rama, namun Rama membisu, kaku. Laksmana mengerti akan sikap Rama, lalu ia siapkan kayu-kayu dibantu oleh pasukannya untuk pembakaran yang diminta oleh Sinta. Wanita yang ia cintai itu. Di saat Laksmana menyiapkan api pembakaran untuknya, Sinta berbisik lirih sekali, seperti nyanyian Maharesi di Sungai Tamasa.

Dari darma datang sukses,
dari darma datang bahagia,
darma memberi segalanya,
darma adalah intisari dunia.

Sinta ingat betul pesan dari ayahandanya itu, darma adalah semangatnya untuk hidup, darma baginya adalah Rama, tapi kini tak ada artinya lagi, darma yang ia anggap kebahagiaannya itu tidak mau bersamanya lagi. Tiada percaya untuknya, lalu buat apa ia hidup, toh darma pun tidak ingin mendampinginya. Hatinya hancur, luluh ditelan bumi.

Sinta terus menyanyi lirih, entah suatu doa atau semacam syair, namun terdengar seperti kekesalan yang terpendam, namun Sinta memiliki batin yang suci, jiwa yang putih. Sinta pasrah, Sinta ingin cintanya tidak diragukan oleh Rama, Sinta sangat mencintai Rama sepenuh hatinya, setia seperti bintang pada malam, seperti awan gelap pada hujan dan matahari pada bumi. Kesetiaannya tak layak diukur. Sinta terus melirih, hembusan kata-katanya hilang terbawa angin yang ditaburi Dewa Angin.

Adilkah jika kau mengukur kesetiaan semua wanita dengan bandingan kebiasaan hanya beberapa wanita? Bagaimana bisa kau meragukan aku? Apakah kau tak kenal aku? Rawana yang menyentuh aku, bukan aku yang menyentuh Rawana.

Aku tahanan, Kakanda, takdirkulah yang harus disalahkan. Apa yang bisa kulakukan? Aku tak berdaya. Rawana jelas lebih perkasa, menguasai jasmaniku.

Tapi yang bisa kukuasai–hatiku–meski tetap setia dan selalu setia padamu. Jika, setelah begitu lama kita hidup bersama saling mencinta dan kau masih belum mengenal aku. Maka habislah sudah. Tamatlah riwayatku.

Ketika kau menyuruh Hanuman untuk mencari aku, katakan, Raja, apa yang menghalangimu untuk tidak membuang saja aku?

Kalau saja Hanuman berkata kepadaku bahwa kau tidak menghendaki aku lagi. Dengan rela hati aku akan bunuh diri. Waktu itu juga, Kakanda.

Apa gunanya perang yang sia-sia ini, begitu banyak korban, begitu banyak permintaan pada begitu banyak kawan? Semuanya sia-sia, semuanya tak ada artinya.

Dan tindakanmu, o, permata semua manusia, kemarahanmu mengusir kemurnian seorang wanita–mengapa kau jadi begitu kecil, begitu kerdil?

Aku dinamakan Janaki, putri Raja Janaka, tetapi aku dilahirkan dari bumi. Karenanya namaku Sinta, jalur bajakan. Pernahkah kaupikirkan tingginya kemuliaan kelahiranku?

Sebelum aku menjatuhkan keputusanku? Apakah kau tidak pernah menimbang-nimbang tentang mulianya keluargaku saat kau meremas tanganku di hari perkawinan?

Apakah semua baktiku, kesetiaanku, kini lenyap begitu saja?

Dengan napas sesak oleh kesedihan, Sinta berpaling kepada Laksmana dan berkata, “Adakah api itu sudah siap untukku? Aku sungguh kecewa terhadap kakandamu. Hanya itulah satu-satunya cara untuk melenyapkan kesedihanku. Aku telah dituduh dengan membabi buta. Aku tidak ingin hidup lagi. Aku akan memasuki api pengorbanan. Suamiku telah mengusirku di depan umum. Ia tidak lagi percaya akan kesucianku, akan cintaku.”

Laksmana tidak berani menjawab, ia tidak pantas menatap mata Sinta. Ia tidak mampu berbuat apa-apa demi wanita yang ia cintai itu. Saat Rama, kakaknya, telah merebut hati Sinta dahulu, ia biarkan hatinya terluka, cintanya terus ia pendam. Tidak berdaya, tidak ia umbar-umbarkan. Tidak ada yang tahu, kecuali Brahma. Hanya tatapan mata yang melindungi Sinta, yang mampu dilakukan demi Sinta. Kesedihan Sinta sungguh pilu, tanpa dikomando oleh siapa pun Sinta sudah tahu apa yang harus ia lakukan.

Dunia sungguh sunyi, senyap. Tidak ada yang berani berbicara mau pun memandang Rama. Rama sendiri bagaikan patung, tetap pada pendiriannya, tidak kenal ampun bagai Sang Kala di akhir dunia. Entah kenapa Rama begitu mempedulikan gunjingan rakyatnya. Kenapa ia tidak percaya pada wanitanya sendiri. Rama adalah pemimpin, penguasa bumi ini. Kesatria hebat yang mengalahkan Rawana, musuh bebuyutan, musuh yang membuat Wisnu harus lahir menjadi manusia, menjadi Rama. Namun kali ini kesatria itu sungguh rapuh, rapuh pada cintanya, tuli pada sayangnya, buta oleh amarah.

Sinta sangat tahu, semua menantikan tindakannya. Dengan langkah jalan yang tidak kenal takut. Sinta mendekati Rama, kepalanya tidak mau ia tundukkan sebagaimana biasanya, tapi ia sadar diri, ia masih istri Rama. Dengan penuh hormat Sinta mengangkat tangannya dan menyembah Rama. Sinta melanjutkan langkahnya, mengelilingi Rama hingga setengah lingkaran. Kemudian dengan kepala tanpa tunduk ia melangkah menuju api yang telah berkorbar besar. Ia ingin menunjukkan pada semua orang, ia tidak takut, karena memang ia tidak bersalah.

Sambil melangkahkan kakinya mendekati kobaran api, Sinta menyeret baju sarinya yang menyentuh tanah, seolah menyapu dosa-dosa orang yang tengah menyakitinya, hati Sinta tidak ingin mendendam, srrkkk srrkkk, bunyinya seolah doa banyak dewa, yang siap melindunginya. Bunyi gelang di kakinya, seakan-akan semua pura di seluruh dunia tengah membunyikan lonceng untuk mendoakannya.

Dalam langkahnya, Sinta berdoa pada para dewata dan Brahmana, kemudian dengan kedua tangan merapat dalam anjali ia berbisik di depan api.

Karena hatiku tidak pernah berpaling pada Rama maka biarlah Dewa Api menjadi saksi seluruh duniauntuk melindungiku!
Karena Rama telah menuduhku walaupun aku tidak berdosa maka biarlah Dewa Api disaksikan oleh seluruh dunia, untuk melindungiku!
Karena aku tak pernah, dalam pikiran, kata dan tingkah tidak setia kepada Rama, maka biarlah Dewa Api, untuk melindungiku!
Karena Dewa Matahari dan Dewa Angin, karena Dewa Bulan dan para dewa dari semua penjuru, karena Dewa Pagi dan Dewa Senja dan Dewa Malam.
Dewa Bumi dan dewa lainnya lebih menghormati kepribadianku. Maka biarlah Dewa Api yang melindungiku!

Tepat doa selesai, Sinta tepat berada di depan api. Lalu Sinta mengelilingi api yang tengah berkobar besar itu setengah lingkaran lagi. Kemudian dengan berani ia berjalan memasuki kobarannya. Semua makhluk dunia menyaksikan Sinta yang bermata besar itu masuk api. Saat Sinta berjalan masuk kobaran api, jeritan yang melengking tajam mengerikan diteriakkan oleh raksasa dan wanara. Jeritan ketidaksetujuan, jeritan kepasrahan, jeritan yang dihasilkan oleh pelegitimasian seseorang, jeritan ketidakmampuan untuk melawan Wisnu.

Ribuan lengkingan terus meraung-raung. Rama mendengar suara-suara ribut itu dan bertanya dalam hati apa yang sedang terjadi dengan mata berlinang air mata. Ia tidak sanggup melihat wanita yang ia cintai itu tersakiti oleh api. Tiba-tiba, para dewa: Yama, Indra, Waruna, Siwa, dan Brahma melesat ke Alengka untuk menemui Rama yang tengah terpaku di depan api yang merah menyala.

Para dewa itu berkata kepada Rama, “Pencipta alam semesta, yang dipertuan segalanya, o, yang terlahirkan sendiri, bagaimana bisa kau tidak tahu tentang ke-Ilahi-anmu? Kau adalah pemimpin semua dewata!”

Lalu Rama menjawab sendu,

Aku Rama, aku manusia, putra Dasarata.
Katakan, o, Brahma–siapa sebenarnya aku?
Dari mana aku datang?

Brahma yang teragung di antara para brahma, menjawab,

Engkau adalah Narayana, bersenjatakan cakra,
engkau adalah kebenaran pada awalnya, kebenaran pada
perkembangannya, kebenaran pada akhirnya.
Engkau adalah darma, yang mengatur dunia,
engkau adalah Krisna, engkau adalah awal dan akhir.
Engkau adalah Wisnu, dewa dengan pusar teratai.

Aku adalah hatimu, Dewi Saraswati lidahmu,
alam semesta tubuhmu, bumi kedudukanmu,
Sinta adalah Dewi Laksmi, engkau Wisnu.
Engkau lahir sebagai manusia untuk menghancurkan Rawana.
Tujuanmu tercapai, darma terpenuhi!

Begitu Brahma selesai berucap, sang Dewa Api memadamkan api unggun pembakaran korban dan maju sambil mendukung Sinta. Brahma mendukung Sinta, karena memang Sinta tidak bersalah, Brahma membuktikan pada Rama.

Dari dalam api yang habis terkikis oleh Brahma, muncul sesosok Sinta berpakaian merah, secermelang matahari terbit, rambutnya hitam legam berombak, bunga indah yang hangus pun tidak oleh api. Tidak terluka sedikit pun, didampingi oleh Dewa Api, Sinta berjalan mengarah pada Rama dan Brahma juga para dewa yang lainnya, dan dewa api menyerahkan Sinta kepada Rama.

Dewa api, saksi dunia ini berkata:

Inilah istrimu, Sinta, sama sekali tanpa noda. Ia tidak pernah
tidak setia, dalam pikiran, kata-kata, pandangan.
Rawana menculiknya. Tetapi ia tetap murni,
Hanya memikirkan kamu. Setia kepadamu.
Ambillah ia sekarang untuk selalu lembut dengannya.

Hati Rama meledak oleh kebahagiaan. Rama yang penuh darma itu menangis, dan berkata kepada dewa api.

Adalah sangat penting, bahwa Sinta kuuji lebih dahulu
dengan Ujian Api untuk meyakinkan rakyat.
Ia cantik sekali. Ia tinggal di istana Rawana lama sekali.
Kalau ia tidak diuji rakyat akan bergunjing,
‘Rama buta oleh birahi.’ Aku tentu tahu, Sinta setia padaku.
Rawana tidak akan pernah memperkosa Sinta
yang dilindungi oleh kesucian.
Seperti laut dikelilingi pantai.

Aku teguh pada kebenaran
maka aku pun menahan diri,
untuk tidak mencegahnya masuk ke dalam api.
Rawana tidak mungkin berani menyentuh Sinta
karena ia adalah lidah api.

Sinta bagiku adalah cahaya bagi matahari,
aku tak mungkin meninggalkannya.
Seperti nama baik tak mungkin meninggalkan manusia berkepribadian mulia.
Junjungan dunia penuh kasih, aku pasti mengikuti petunjukmu.

Begitulah kata-kata Rama, ia dipersatukan kembali dengan istrinya, Sinta, dalam kebahagiaan dan kegembiraan yang luar biasa. Semua pun bersorak senang dan bahagia, semua percaya pada Sinta, para wanita menangis bahagia, dewinya sungguh mulia. Rakyat Rama bersorai mendoakan keduanya. Saling menangis dan memeluk.

Para dewa pamit pada Rama, kembali bersatu dengan alam raya. Rama dan Sinta pun harus kembali ke Ayodya, kerajaan dan tanah lahir Rama. Ia ingin membawa Sinta. Kemudian kereta kuda puspaka disiapkan untuk membawa Rama dan Sinta ke Ayodya. Wibisana berdiri penuh hormat di sampingnya. Rama pun pamit pada rakyatnya. Rakyatnya mendoakan Rama dan Sinta tak akan terkikis cintanya.

Lalu kereta puspaka terbang meninggalkan rakyatnya yang masih bersorak sorai. Kereta dikendalikan oleh Rama, kereta yang ditarik oleh angsa itu terbang ke angkasa. Di dalamnya duduk Rama, Sinta, para pimpinan manusia pohon, penghuni gua dan para raksasa. Rama sungguh bahagia. Ia mendapatkan istrinya kembali. Tetap suci. Rama terus menatap wajah Sinta, yang masih berdiam diri. Sinta tak mampu berkata apa pun, jiwanya masih mengucap syukur pada para dewa. Tatapan Rama masih pada Sinta yang wajahnya lebih cemerlang daripada rembulan, Rama berkata,

“Di bawah sana itu adalah tempat kami membangun jembatan menyebrangi lautan. Di sana perkemahan kami sebelum menyerang Alengka. Dan itu Kiskenda dengan rimbanya yang begitu mempesona tempat aku membunuh Subali.” Dengan bangga Rama terus bercerita pada istrinya tentang tanah kelahiran yang sangat dicintainya itu.

“Lihat Sinta,” tambah Rama lagi, “Jauh di sana itu adalah Danau Pampa yang penuh dengan teratai biru. Di tepinya aku bertemu wanita mulia, Sabari. Dan itu adalah Godawari yang berair putih, tempat padepokan Sang Suci Agastya. Ini Sringawera–itu Sungai Sarayu–dan ah, akhirnya kita sampai. Itu Ayodya!”

Begitu puspaka mendarat lembut, Bharata bergegas menemui Rama. Menyambut pangeran kerajaan yang sudah ditunggu-tunggu. Rama menggandeng tangan Sinta. Sambil melangkah Sinta bernyanyi dalam hatinya,

Ini bukanlah akhir dari segalanya, aku tak akan pernah
melupakan perlakuanmu kepadaku, o, Kakandaku,
aku akan terus mengingatnya seumur hidupku,
dan bila waktunya telah tiba, akan aku balas perlakuanmu itu.

Demi Dewa Bumi, ayahku, Dewa Angin, sahabatku,
Dewa Api, pelindungku, Dewa Air, penghidupku,
Kalian adalah saksi, aku akan balas Rama. Kelak. 

Ujungberung II, 17 Desember 2008 & 24 Maret 2009

Foto diambil di jalan layang Bandung pada 28 Januari 2009.

Kategori: Cerpen dan Tulisan.