Aksara Sunyi

Oleh Sinta Ridwan |

Aksara Sunyi di Sisi Kanan Prasasti Kawali I

Dedaunan seolah bergosip gemerisik
saat tapak kakiku tanpa alas beristilah modern
menyentuh tanah merah yang haus cahaya, tertutup
lumut waktu yang mengakar pada sisa-sisa tapak
di wilayah kekuasaan Raja Sunyi.

Kelelawar-kelelawar yang tergantung di ujung dahan
terganggu tidurnya saat aku mulai mengitari ruang
tempat Dyah Pitaloka nembang pupuh-pupuh kahuripan.
Tengadahku pada langit yang tertutup selendang Nyai Hening.

Tanda-tanda sengaja dimunculkan di atas batu.
Sebuah pesan dari masa lalu disampaikan untuk rindu.
Meski tak semua tanda dapat dibaca oleh mata jiwa,
kebisuan rahasia sejarah tak mampu bicara tanpa kunci aksara.

Kupandang prasasti di balik jeruji berkarat waktu.
Atap buatan yang menghalangi komunikasi dengan Kanda Srengenge itu,
semakin membuat lumut berwarna hijau kecokelatan beranak pinak
makin menguasai batu-batu yang sebenarnya
adalah pintu menuju rumah pemimpin Nagari Priyangan.

Di sisi kanan prasasti Kawali I ada aksara yang paling sunyi
di antara yang paling hening. Ia membisu, terpaku memandangku.
Aku ambil kunci di kantong jaket biru, kunci membuka pintu.
Berjingkatlah pinsil yang kubawa, siap dengan jongkok lalu menukik.
Posisi ajaran Mbah Raga Jati agar dapat menemukan lubang kunci.

Sayang, aksara di sisi kanan prasasti masih membisu.
Enggan berkata-kata, tak mau bergeser makna rasa.
Meski telah keluarkan jurus senyuman pada yang ada
pun ijin untuk angkat tubuhnya sesaat. Ia pilih mengelu.
Kulirik prasasti lain di Kawali, bisiki pupuh kesukaan Ambu
mereka masih membisu. Seolah ketakutan pada angkuhnya
jiwa rapuh seperti diancam pakai bedil kompeni. Dipaksa membisu.

Kurogoh kantong jaket lainnya, hingga yang menggantung di punggung.
Kucari kunci yang berbeda, siapa tahu Mbah Raga selipkan jawaban sunyi
di antara spasi aksara yang digoreskan pada prasasti di Kawali.
Tempat Dyah Pitaloka menyanyi dan bidadari-bidadari mandi.

Ujungberung Hill Top, 22 November 2011

*Dibuat sehari setelah mengunjungi Kawali bersama Kelas Aksakun dari Bandung. Puisi ini pernah dimuat di Seni Budaya, Harian Kabar Priangan pada Rabu, 27 Mei 2015 halaman 14 “Puisi-puisi Sinta Ridwan”.

Foto diambil oleh anak Aksakun di Kawali pada 20 November 2011.

Kategori: Mengolah dan Puisi.