Barus: Kronik Hilir I

Dirangkai oleh Sinta Ridwan |

Kronik Hilir I (Sejarah Tuanku Batu Badan) 

- untuk ceritarempahbarus.org | Rilis 17 Maret 2021 |

Manuskrip kedua yang dikaji Jane Drakard dalam bukunya Sejarah Raja-Raja Barus yang diterbitkan pada 1988 oleh Penerbit Angkasa Bandung, bekerjasama dengan lembaga penelitian Prancis EFEO, adalah milik Zainal Arifin Pasariburaja dari Barus. Zainal Arifin Pasariburaja merupakan keturunan keluarga raja-raja di Hilir. Menurut keterangan Drakrad, ia mengambil gambar manuskrip dengan foto berwarna dan foto hitam putih pada 1981 dan 1982 (1988: 45).

Drakard menilai manuskrip ini berjudul Sejarah Tuanku Batu Badan. Terdapat kolofon atau catatan yang menerangkan manuskrip ini adalah salinan dan terdapat keterangan mengenai juru tulisnya yang bernama Sutan Marah Laut. Dikisahkan manuskrip adalah kitab tambo yang dalam istilah Minangkabau digunakan untuk uraian tertulis tentang leluhur dan asal usulnya.

Bersamaan dengan manuskrip yang masih tersimpan di Barus tersebut, menurut Drakard di dalamnya ditemukan sepucuk surat dalam bahasa Belanda yang dikeluarkan dari Barus. Drakard menduga tujuannya untuk disalin dan kemudian manuskrip ini dikembalikan pada 1939 kepada keluarga Pasaribu dengan perantara residen Tapanuli.

Dalam surat itu disebutkan judul manuskrip Tambo Barus Hilir, namun pada 1973, keluarga Pasaribu mengeluarkan alih aksara manuskrip dengan huruf Latin dan bahasa yang ‘lebih’ berbahasa Indonesia dan diberi judul Sejarah Tuanku Batu Badan Datang ke Daerah Barus. Meski tidak diterbitkan dan diperjualbelikan secara massal, hasil alih aksara dan alih bahasanya ini sempat dicetak sendiri dan diedarkan di Barus (1988: 46).

Informasi mengenai “Tuanku Batu Badan” menurut Drakard adalah nama yang dipakai dalam dongeng dari Barus untuk raja di Hilir yang pertama. Yaitu Sutan Ibrahim, yang menurut dugaan dimakamkan di Si Gambo Gambo. Terdapat sebuah kuburan dengan nisan berhias tetapi tidak ada keterangan atau tulisan.

Dikisahkan Sutan Ibrahim melakukan perjalanan dari Tarusan ke Barus, kemudian perang atau konfliknya dengan Aceh, dilanjutkan kisah kematiannya serta prosesi pemakamannya, di mana kesemuanya itu adalah awal kisah kronik. Dari kronik ini terlihat manuskrip Jawi yang lengkap, dikatakan salinan manuskrip dibuat pada 1289 H (1872 M) oleh Sutan Marah Laut bin Sutan Main Alam (Drakard, 1988: 46)

Informasi mengenai Sutan Marah Laut dan keluarga dekatnya disebut-sebut dalam sumber-sumber Belanda. Mengenai wafatnya Sutan Main Alam, ialah raja di Hilir yang menantang Raja Barus di Hulu dengan mendirikan pemukiman tersendiri di Barus Hilir atau Batu Gerigis pada 1824 M.

Drakard menemukan sebuah dokumen dengan tulisan tangan yang disimpan di Koninklijk Instituut voor de Tropen di Amsterdam. Isinya mengenai pertempuran terakhir antara kedua raja tersebut, yang terjadi pada 1830 M. Disebutkan dokumen ini ditulis tangan dalam bahasa Belanda dan tidak ditandatangani. Dokumen ini diberi judul Onze Vestiging te Baroes yang tercatat dalam katalog sebagai Broz Onz. 93-542: 6. Di dalam dokumen ini Sutan Main Alam dinamakan Sutan Tarusan, sebuah nama yang dipakai dalam versi lain untuk menceritakan sejarah Hilir.

Menurut dokumen yang ada di Tropen Instituut ini pula, Sutan Tarusan dikukuhkan dalam kedudukannya sebagai Tuanku Bendahara pada 1834 M dan wafat tidak lama sesudahnya. Sutan Tarusan diganti oleh anaknya, yaitu Sutan Ibrahim. Sementara itu si penyalin, yaitu Sutan Marah Laut, juga disebut-sebut dalam dokumen. Ia adalah saudara dari Sutan Perhimpunan, yang kemudian dalam salinan ia menyebut dirinya sendiri sebagai Sutan Marah Laut bin Sutan Main Alam. Pada 1872 M pun, ia membuat salinan baru, yang menurut Drakrad bahwa manuskrip aslinya disusun antara wafatnya Sutan Main Alam yaitu pada 1834 M hingga 1872 M (1988: 47).

Sejarah Barus pernah ditulis K. A. James yang pernah menjabat sebagai Kontrolir Barus antara 1899 hingga 1901. James menerbitkan sebuah karangan dalam bahasa Belanda yang menceritakan sejarah pemukiman pertama Sutan Ibrahim di Barus pada 1902.

Menurut James dalam Drakard, cerita itu datangnya dari cerita yang ditulis keturunan Sutan Ibrahim sendiri, yaitu Sutan Alam Syah yang pernah menjadi kepala distrik di Barus Hilir dan wafat pada 30 Desember 1898. Dokumen yang disimpan di Tropen Instituut ini memiliki judul Hikajat Ketoeroenan Radja di Koeria Ilir yang ditulis dengan pensil. Manuskrip ditulis dengan aksara Rumi (Arab) dan panjangnya hanya 14 halaman.

Manuskrip tersebut ditulis di Barus pada 26 Februari 1896 dan dialamatkan kepada “Kontroleur jang memerintah di dalam Negeri Baroes adanja”. Kontrolir ini sebelum James menjabat, bernama Lefebre. Keterangan dalam akhir dari manuskrip tersebut ditandatangani Alam Syah, “Kepala Districkt Kampoeng Hilir” (Drakard, 1988: 48-49).

Asal usul manuskrip ini dan penyalinnya lebih lengkap disebutkan daripada manuskrip “Kronik Hulu” yang lebih gelap dan tidak dapat ditelusuri. Dalam kesempatan ini, akan disampaikan ikhtisar “Kronik Hilir” di mana terjadi penyuntingan standar yang disesuaikan dengan tata bahasa Indonesia sekarang, serta penyebutan ‘sultan’ yang diubah menjadi ‘sutan’. Di mana Drakard menuliskannya tidak konsisten sama seperti alih bahasa dalam “Kronik Hulu”. Pemilihan kata ‘sutan’ dirasa lebih tepat dengan beberapa alasan, di mana dalam beberapa karya mengenai Barus terdapat penyebutan ‘sutan’ untuk nama-nama raja.

Contohnya dalam buku Studi Pertumbuhan dan Pemudaran Kota Pelabuhan: Kasus Barus dan Si Bolga ditulis oleh Suprapti, dkk pada 1994/1995 yang merupakan Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Beberapa kali penyebutan ‘sutan’ untuk nama-nama raja di Barus dan penyebutan ‘sultan’ untuk nama ‘raja’ di Aceh, yaitu Sultan Aceh. Selanjutkan akan disampaikan ikhtisar yang dibuat Drakard dalam bukunya Sejarah Raja-Raja Barus.

Ikhtisar [hlm. 30. 1] manuskrip Sejarah Tuanku Batu Badan ini mengandung sejarah dan silsilah keluarga yang menjadi asal mula raja-raja di Hilir yang berkedudukan di Barus.

[2] Kronik ini dimulai dengan pujaan untuk Allah, yang ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Serta diikuti pernyataan mengenai kebesaran dan undang-undang dari semua raja keturunan Kota Pagaruyung di Minangkabau. Pagaruyung sendiri dinyatakan sebagai sumber kerajaan dan kemuliaan yang menyinari semua raja di Pulau Perca, merupakan keturunan Pagaruyung dan yang mengikuti hukum syara (hukum syara adalah seruan/firman dari Allah yang terkait dengan perbuatan-perbuatan para mukallaf, baik berupa tuntutan, pemberian pilihan, atau penetapan sesuatu sebagai pengatur. Wahbah Az Zuhaili, Ushul Al Fiqh Islami, Juz I halaman 38).

[3] Kemudian dikisahkan beberapa tanda kebesaran Raja Minangkabau yang terdaftar di halaman dua dalam hiasan berbentuk lingkaran atau dalam cap; dan pada halaman tiga tergambarkan pula cap kerajaan Yang Dipertuan Pagaruyung. Lalu pada halaman empat, lima dan enam disebutkan raja-raja di Pulau Perca atau Sumatera yang merupakan keturunan Yang Dipertuan dari Pagaruyung.

Di antaranya raja di Jambi, Palembang, Padang, Banten, Rokum, Aceh, Siak, Sungai Paguh, Inderagiri, Inderapura, dan Pariaman tersebut dalam manuskrip ini, serta daerah-daerah sekelilingnya yang dipengaruhi/masuknya adat pun selain diberi nama juga disebutkan satu per satu.

[4] Maka cerita kronik yang sebenarnya baru dimulai dalam ‘gaya yang sama’ dengan keluarga Raja Inderapura yang telah menyebar ke Tarusan. Mula-mula dikisahkan bagaimana Sutan Ibrahim, anak Raja Tarusan, sampai meninggalkan rumah akibat perselisihan dengan ayahnya, yaitu Sutan Muhammad Syah.

Perselisihan mereka timbul lantaran serangan-serangan dari ikan todak yang mengganggu kerajaan. Seluruh kerajaan kebingungan sebab tidak seorang pun dari para prajurit dan para menteri dapat menemukan cara yang cocok untuk menghalau ikan-ikan tersebut.

Ikan-ikan yang menusuk [hlm. 31] mereka semua yang berani mendekati tepi laut. Akhirnya dikisahkan ada anak laki-laki, Si Bodak namanya, teman tersayang anak raja, yang mengusulkan supaya pokok-pokok (atau pelepah) pohon pisan (atau pisang) dijadikan sebagai tameng sehingga menyebabkan moncong panjangnya ikan-ikan todak akan tertancap, tidak terlepaskan lagi di dalamnya.

Penyelesaian ini pun berhasil. Terhasut oleh salah seorang menterinya, sang raja cemas memikirkan kemungkinan kepemimpinannya pada suatu hari akan ditantang oleh anak secerdas itu. Maka Si Bodak dibunuh oleh prajurit-prajurit raja. Rasa duka Sutan Ibrahim begitu dalam hingga ia memutuskan akan meninggalkan rumah ayahnya. Tetapi sebelumnya, dipungutnya segumpal tanah dan diambilnya air seguci untuk dibawanya pergi. Ia berangkat bersama istrinya dan seribu pengikutnya.

[5] Sutan Ibrahim dikisahkan berhenti di setiap muara, dan setiap kali ditimbangnya air muara dan dibandingkannya dengan air yang dibawanya tadi. Suatu mundam (jambang untuk mandi) yang terbuat dari emas terjatuh ke dalam air, yang terlepas dari tangan istrinya. Maka tempat itu mereka namakan Batu Mundam. Namun, pengujian yang dilakukan Sutan Ibrahim terhadap air tidak ada yang memuaskannya.

[6] Akhirnya Sutan Ibrahim membelok arah perjalanan dengan masuk ke pedalaman dan mengunjungi daerah-daerah Silindung, Bakara dan Pasaribu di Tanah Batak. Di Silindung ia diminta menjadi raja. Ia menolak permintaan tersebut, namun ia membuat perjanjian kesetiaan dengan penduduknya dan menunjuk empat orang wakil sebagai penggantinya.

Sementara itu di Bakara terjadi hal yang sama. Di sana ia tinggal sebentar saja sebagai raja. Selain itu ia menikah dengan putri dari raja sebelumnya dan memperkenalkan agama Islam, meskipun pada akhirnya banyak penduduk tidak masuk agama baru itu. Ketika ia meninggalkan tempat itu, istrinya dari Batak tidak ikut. Istrinya tersebut sedang mengandung anak laki-laki yang menurut petunjuk Sutan Ibrahim harus dinamakan Singa Maharaja. Anak itu akan memerintah di seluruh daerah. Sementara itu di Pasaribu, Sutan Ibrahim disambut dan dihormati dengan cara yang sama seperti sebelumnya dan ia membuat perjanjian kesetiaan dengan rakyat Pasaribu. (BERSAMBUNG – SINRID)

Referensi:

Drakard, Jane. (1988). Sejarah Raja-Raja Barus. Bandung: Angkasa & EFEO.

Dirangkai pada 7 Maret 2021 di Surya Mulia IV, Jakarta Barat (Sinta Ridwan)

Karena belum pernah mengunjungi Barus secara langsung, menggunakan foto yang diambil oleh Dr. Tompi featuring Indonesia Kaya pada 21 November 2019.

Kategori: Barus dan Tulisan.