Barus: Kronik Hilir II

Dirangkai oleh Sinta Ridwan |

Kronik Hilir II (Sejarah Tuanku Batu Badan) 

- untuk ceritarempahbarus.org | Rilis 17 Maret 2021 |

Berikut lanjutan manuskrip kedua yang dikaji Jane Drakard dalam bukunya Sejarah Raja-Raja Barus yang diterbitkan pada 1988 oleh Penerbit Angkasa Bandung, bekerjasama dengan lembaga penelitian Prancis EFEO, adalah milik Zainal Arifin Pasariburaja dari Barus. Zainal Arifin Pasariburaja merupakan keturunan keluarga raja-raja di Hilir (1988: 45).

[7] Sutan Ibrahim semakin terdorong oleh keinginannya untuk mencari tempat yang cocok untuk permukimannya sendiri. Maka ditinggalkannyalah Tanah Batak, diiringi empat kepala Pasaribu yang membantu dan melindunginya. Sekembalinya ke tepi laut, ia sekali lagi menguji air berbagai muara sampai ia mencapai tempat yang airnya hampir sama beratnya dengan air yang dibawanya.

[8] Di tempat itulah Sutan Ibrahim menetap bersama pengikutnya. Ia menjadi raja dan tempat itu mereka namakan Barus sebagai kenangan pada daerah yang mereka tinggalkan. Permukiman mereka pun menjadi ramai. Pada suatu hari Sutan Ibrahim berjalan-jalan di tepi sungai, dilihatnya potongan kulit buah yang hanyut dengan (aliran) air sungai. Disadarinya bahwa di Hulu semestinya ada pemukiman lain.

Maka selanjutnya pertemuan pun terjadi antara kedua pemukiman. Muncul waspada terhadap kehadiran Sutan Ibrahim, penduduk Hulu pun menghilir dengan menyandang senjata serta menemukan pemukiman yang besar dan makmur. Mereka berhadapan muka dengan Sutan Ibrahim, lalu mereka mempertanyakan haknya untuk mengadakan (atau mendirikan) pemukiman di atas tanah milik raja [hlm. 32] mereka.

Sutan Ibrahim menyanggah pertanyaan dan menuntut hak milik atas tanah itu untuk dirinya sendiri. Kemudian, di hadapan raja di Hulu ia mengucapkan sumpah sambil menggenggam tanah dan air yang dibawanya, tanah itu haknya. Seandainya tidak begitu, katanya, hendaknya Allah menghancurkan mereka semua. Raja di Hulu menerima sumpah yang khidmat itu dan kedua belah pihak bersepakat untuk hidup bersama. Mereka berjanji akan saling melindungi terhadap musuh.

[9] Tetapi ada yang kurang (atau tidak) beres, sebab raja di Hulu (yang namanya tidak disebutkan dalam manuskrip) mempunyai rasa dendam terhadap Sutan Ibrahim. Kampungnya dipindahkannya beberapa kali untuk menghindar dari Sutan Ibrahim, namun Sutan Ibrahim malah senang melihat ketakutannya, (mereka telah) mengikutinya. Maka pada akhirnya pendatang baru itu mendirikan permukiman di Ujung Tanah.

Tak lama berselang, Sutan Ibrahim mendapatkan fitnah. Ada yang mengadu ke Aceh bahwa Sutan Ibrahim menantang Raja Aceh. Dengan marah Raja Aceh mengirim prajuritnya ke Barus untuk membunuh Sutan Ibrahim. Pertempuran pun terjadi berkepanjangan, namun akhirnya Sutan Ibrahim dipenggal kepalanya dan kepala itu dibawa ke Aceh.

[10] Kronik ini pun menceritakan kisah kepala Sutan Ibrahim di Aceh, tantangannya terhadap Raja Aceh dan kepulangannya ke Barus dengan segala upacara untuk raja. Kisah yang disajikan dalam manuskrip sama dengan yang terdapat dalam manuskrip Asal 1. Hanya saja upacara yang mengiringi kepalanya Sutan Ibrahim diceritakan lebih terperinci.

[11] Sesudah Sutan Ibrahim wafat, rakyat mengangkat anaknya, Raja Usuf, sebagai penggantinya. Juga diputuskan supaya diadakan perjanjian dengan Raja di Hulu. Raja Usuf mengadakan perjalanan ke Hulu dan disambut dengan pesta besar. Raja di Hulu bersepakat untuk bergabung dan membentuk satu kerajaan bersama. Raja Usuf pulang dengan hati yang lebih tenteram.

Tak lama kemudian Raja Aceh memanggil Raja Usuf yang berangkat dengan tekad membalas kematian ayahnya. Anak Usuf, Sutan Adil, menggantinya. Ketika Barus menerima kabar bahwa Raja Usuf pun gugur di Aceh, maka Sutan Adil mengadakan perjanjian baru dengan raja di Hulu untuk saling memberi perlindungan. Lalu rakyatnya dipindahkannya ke Hulu. Beberapa penghulu tinggal di Hilir untuk melindungi tempat itu.

Maka negeri pun kembali tenteram dan damai. Dan ketika raja tua wafat, rakyat mengangkat dua raja, Sutan Adil dan pengganti raja di Hulu. Berikutnya ada daftar upacara yang dipakai di kerajaan dan menceritakan tentang pemerintahan.

[12] Ketika kedua raja itu pun wafat, Raja Bongsu, pengganti raja di Hulu memerintah bersamaan dengan anak sulung Sutan Adil. Anak Adil bernama Tuanku Sutan dan Sutan Marah Laut. Sutan Marah Laut kemudian berganti nama menjadi Tuanku Bagonjong.

[13] Sementara Raja Bongsu dan Tuanku Sutan bersama-sama mengurus Barus, Sutan Marah Laut berkelana ke timur sampai di Toba Limbong. Di sana ia menjadi raja. Ketika tiba saatnya ia memutuskan untuk pergi karena rindu akan kampung halaman. Maka diangkatnya dua wakil untuk memerintah sebagai pengganti.

[Hlm. 33] Sutan Marah Laut kembali ke Barus yang ternyata sedang diserang oleh sekelompok orang Aceh yang hendak mengambil alih kekuasaan. Ia pun ikut bertempur dan menyelamatkan kerajaan. Lalu ia berangkat lagi dan mendirikan pemukiman di Sawah Lagundi. Kampung ini menjadi besar sekali dan lagi makmur, serta tidak lama berselang saudaranya, Tuanku Sutan, bergabung dengannya dan mereka bersama-sama mendirikan kota.

[14] Sementara itu Raja Bongsu terbunuh di pemukiman Hulu Lama. Rakyatnya mengungsi dan menyebar, dan banyak yang akhirnya sampai di Sawah Legundi yang semakin padat penduduknya. Maka Sawah Legundi berganti nama menjadi Barus dan kedua saudara mengembangkan pemerintahannya. Anak Raja Bongsu, Marah Pangkat, juga pindah ke pemukiman baru. Ia diterima oleh kedua raja di Hilir dan dikawinkan dengan anak Tuanku Bagondong, yaitu Putri Udam.

[15] Semenjak Tuanku Sutan wafat, Tuanku Bagonjong (Marah Laut)-lah yang sekarang memerintah di kampung Barus. Selama pemerintahannya ia diminta oleh wakil-wakil dari Kumpeni Belanda untuk pergi ke Padang dan berperang atas nama mereka. Selama kepergiannya, pemerintahan kerajaan diserahkan kepada anak menantunya (Raja di Hulu, Tuanku Marah Pangkat). Tuanku Bagonjong dikatakan kurang senang dengan rencana ini. Maka ia segera kembali ke Barus, namun wafat di kapal dalam perjalanan pulang.

[16] Maka Tuanku Marah Pangkat yang menjadi pengganti raja, dan sesudahnya anaknya, Tuanku Panjang Jirat. Demikianlah, menurut kronik, keadaan raja-raja di Hulu. Mengenai keturunan Sutan Ibrahim tercatat bahwa Tuanku Sutan meninggalkan dua putra, Tuanku Sutan Perhimpunan dan Tuanku Raja Kecil. Yang sulung, Perhimpunan, menjadi Raja Barus bersama Panjang Jirat yang sekarang bernama Baginda Sutan.

[16] Pada masa inilah rakyat terbagi menjadi dua kelompok dan beberapa orang masuk kerajaan Baginda Sutan. Pemerintahan Sutan Perhimpunan berlangsung lama dan pada saat ia wafat, anaknya ada tiga orang. Rakyat ingin mengangkat anaknya, Sutan Larangan, sebagai raja tetapi mereka dicegah oleh raja di Hulu. Maka Sutan Larangan terpaksa pindah ke Sorkam dan di sana ia diangkat menjadi raja oleh penduduk Batak Pasaribu dengan gelar Tuanku Bendahara.

Kisah di tempat ini menjadi kurang jelas sebab yang disajikan tidak hanya silsilah keluarga di Hulu dan di Hilir, namun juga pembagian dalam lingkungan keluarga Hilir antara mereka yang pergi ke Sorkam dan mereka yang tetap tinggal di Barus.

[17] Sutan Larangan mendirikan garis keturunan Sorkam. Ia sendiri dibunuh, namun neneknya, Putri Ma’anikam datang dari Barus dan minta pertolongan penduduk Batak dari Pasaribu dan dari Nai Pos Pos untuk membalas kematian Larangan. Ia mengadakan perjanjian khidmat dengan penduduk Batak dari Pasaribu yang menentukan bahwa Sorkam selalu akan diperintah oleh salah seorang anggota keluarga Hilir. Jika tidak ada calon untuk kedudukan itu, maka penghululah yang akan memegang pemerintahan.

[Hal. 34. 18] Setelah keberangkatan Sutan Larangan, yang tinggal di Barus ialah pamannya, Raja Kecil. Rakyat Hilir diperintah olehnya dan kemudian oleh anaknya, Sutan Emas, sekalipun Raja di Hulu melarang mereka memakai gelar raja. Sutan Emas mempunyai dua anak, Sutan Kesyari dan Sutan Pesisir.

Anak-anak Sutan Kesyari bernama Putri Perhentian dan Sutan Main Alam. Ayah mereka dijadikan raja di Kota Tengah oleh raja-raja penduduk Pasaribu Dolok, tetapi Sutan Main Alam tinggal di Barus dan berselisih dengan raja di Hulu. Seperti pendahulunya, Main Alam dilarang oleh Raja di Hulu untuk menjadi Raja.

[19] Perselisihan itu sama dengan yang diceritakan dalam “Kronik Hulu” mengenai perselisihan antara Sutan Sailan dan Sutan Main Alam dan kisah ini cocok dengan laporan Belanda pada abad ke-19 M.

[20] Maka Sutan Main Alam memutuskan keluar dari daerah wewenang raja di Hulu. Ia mendekati orang asing di Muara Gadang dan mereka setuju mengangkatnya sebagai raja mereka. Maka kronik mengisahkan pengangkatan Sutan Main Alam menjadi Raja di Muara Gadang dan pemerintahan pun ditegakkannya.

Ia mengangkat keempat penghulu seperti yang sudah menjadi adat kebiasaan dan mengambil gelar Tuanku Bendahara. Tindakan ini menimbulkan kemarahan raja di Hulu yang pernah meletus antara Hulu dan Hilir. Sementara pertempuran masih seseru-serunya, ada penengah yaitu Aceh, Raja Uda yang menafsirkan hal-hal yang sedang menjadi masalah. Maka diambil keputusan bahwa Main Alam sebaiknya menjadi raja di Hilir di samping raja di Hulu. Daerah-daerah yang termasuk tanggungjawab kewilayahan masing-masing disebut dan menurut catatan kronik, selama satu bulan ada kedamaian di Barus.

[21] Di dalam kronik ini tidak diberikan alasan mengapa pertempuran timbul kembali tetapi kemudian Sutan Main Alam mengakhirinya. Ia diganti oleh anaknya, Sutan Perhimpunan yang menjadi Raja dengan gelar Tuanku Sutan Ibrahim. Menurut kronik, penggantian ini terjadi karena Sutan Perhimpunan telah mengambil pusaka nenek moyangnya. Dan Sejarah Tuanku Batu Badan pun berakhir dengan pernyataan bahwa Tuanku Sutan Ibrahim menjadi raja dan bahwa kedudukannya diteruskan kepada keturunannya. (SELESAI – SINRID)

Referensi:

Drakard, Jane. (1988). Sejarah Raja-Raja Barus. Bandung: Angkasa & EFEO.

Dirangkai pada 7 Maret 2021 di Surya Mulia IV, Jakarta Barat (Sinta Ridwan)

Karena belum pernah mengunjungi Barus secara langsung, menggunakan foto yang diambil oleh Dr. Tompi featuring Indonesia Kaya pada 21 November 2019.

Kategori: Barus dan Tulisan.