Barus: Kronik Hulu I

Dirangkai oleh Sinta Ridwan |

Kronik Hulu I (Asal Keturunan Raja Barus) 

- untuk ceritarempahbarus.org | Rilis 13 Maret 2021 |

Kronik dalam KBBI adalah sebutan untuk catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya, atau yang berhubungan dengan waktu. Sementara itu, manuskrip adalah naskah tulisan tangan yang menjadi kajian filologis, atau sebutan lain dari naskah, baik tulisan tangan (dengan pena, pensil) maupun ketikan (bukan cetakan). Sedangkan manuskrip Jawi merupakan naskah teksnya yang beraksara Arab dan berbahasa Melayu.

Manuskrip yang akan dibahas dalam kesempatan kali ini tentu saja tentang dan berasal dari Barus dari segi sejarah raja-rajanya. Pengkajian lengkap mengenai manuskrip ini dilakukan oleh Jane Drakard. Hasil penelusurannya diterbitkan pada 1988 dengan judul Sejarah Raja-Raja Barus oleh Penerbit Angkasa bekerjasama dengan lembaga penelitian Prancis, EFEO.

Manuskrip Jawi yang dikaji Drakard ini merupakan kumpulan manuskrip Barus yang dijilid menjadi satu dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional dengan nomor ML. 162. Disebutkan Drakard, dalam Katalogis van Ronkel, manuskrip ini disebut Bat. Gen. 162 dengan judul Asal Toeroenan Radja Baros. Akibat kumpulan manuskrip yang dijilid itu tidak memiliki halaman judul sendiri, Drakard menduga manuskrip tersebut berjudul Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

Drakard tidak mengetahui sejarah perjalanan kumpulan manuskrip tersebut hingga disimpan di Jakarta, namun ia menduga bahwa kemungkinan kumpulan manuskrip tersebut merupakan pesanan orang Eropa. Dalam penelitiannya Drakard kesulitan dalam menyimpulkan bahwa keseluruhan manuskrip merupakan kesatuan cerita yang utuh dari segi susastra maupun sejarahnya.

Van Ronkel sendiri (dalam Drakard, 1988: 35) menuliskan perihal manuskrip ML. 162 ini menguraikan perihal keturunan, pemukiman dan hukum-hukum raja-raja Barus, terkhusus pemukiman dan sejarah raja-raja Barus di Hulu. Tersebutkan kumpulan manuskrip terbagi menjadi sembilan bagian, gaya tulisan tangannya berbeda-beda, aksaranya pun berbeda-beda, sampai jenis kertasnya pun.

Kesemuanya dijilid menjadi ‘satu buku’ dengan ukuran folio dan bersampulkan karton. Banyak penulisan yang ditulis dengan tinta, tetapi persoalan penulisan nomor halaman menggunakan pensil, mulai dari nomor 1 sampai nomor 322. Kesembilan bagian diurai secara singkat oleh van Ronkel dalam katalognya pada halaman 281.

Dalam manuskrip terdapat kolofon atau catatan-catatan keterangan dalam bahasa Belanda. Drakard menyebutkan meski tulisannya sudah kabur, terdapat terjemahan dalam bahasa Belanda dari satu bagian atau satu seksi. Dalam seksi keenam yaitu Hikayat Carita ada tambahan catatan voor dan van. Pun terdapat sisipan secarik kertas resmi cetakan yang memuat keterangan “Dienst Aan Den Controleur te Baroes” yang dibubuhi cap dengan tulisan “Tapanoelie-Sibolga”.

Selain itu ada juga kertas tua dengan tulisan tinta yang kabur berisi keterangan manuskrip telah dialih aksara ke dalam huruf Latin, dari awal seksi 1 hingga seksi 58, yang diselipkan pada bagian belakang manuskrip. Pada akhir abad ke-19 M hingga awal abad ke-20 M, beberapa pejabat pemerintahan Belanda ditempatkan di Barus dan mereka menaruh perhatian pada tradisi setempat dan sempat menerbitkan artikel-artikel perihalnya (1988: 37).

Drakard menduga kumpulan manuskrip ini dikarang terpisah pada waktu yang berbeda. Tidak ditemukan kolofon khusus mengenai angka tahun dari penyalinnya dalam manuskrip mana pun. Namun, adanya penyebutan angka tahun disajikan secara kronologis. Misalnya pada saat raja di Hulu bertakhta, yaitu Sutan Marah Tulang pada 1270 H (1853 M).

Terdapatnya angka tahun dalam daftar para anggota keluarga Hulu yang bertindak sebagai Raja Barus mulai dari masuknya agama Islam “sampai sekarang” yang terbaca adalah 1283 H (1866 M). Dan satu-satunya penanggalan dalam tarikh Masehi pada bagian akhir Hikayat Carita dengan keterangan bahwa “sampai sekarang” itu jatuh pada 1873 M.

Keterangan angka tahun terdapat juga pada saat menyebutkan perihal wafatnya Sutan Main Intan pada 1266 H (1846 M). Dan terdapat watermarks atau tanda cap air dalam kertas yang ditemukan adalah cap “Concordia” yang menurut Russel Jones (dalam Drakard), cap air dalam manuskrip Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham (seharusnya penyebutannya adalah Sutan bukan Sultan, alasannya berada di paragraf selanjutnya) ini digunakan pada pertengahan abad ke-19 M. Dan manuskrip pun dimulai dengan judul yang sengaja digarisbawahi yaitu Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja dalam Negeri Barus (1988: 37, 41, 42).

Drakard menerangkan bahwa yang melakukan alih aksara dan alih bahasa kali pertama Kronik Hulu ini adalah H. N. van der Tuuk pada 1866. Ketika ia sedang berada di Barus sejak 1852 sampai keberangkatannya ke Negeri Belanda pada 1857. Disebutkan van der Tuuk giat mengumpulkan manuskrip lain dari Barus dan ‘mencatat’ dongeng setempat. Pada 1873, diketahui seorang pejabat Belanda di Barus yaitu G. J. J. Deautz menerbitkan tulisan yang bukan hanya perihal arkeologi Barus tetapi juga tentang tradisi-tradisi setempat mengenai raja-raja di Barus.

Setelah Deutz, 28 tahun kemudian terdapat karangan K. A. James yang tidak menyentuh kisah di Hulu, ia hanya mengikhtisarkan asal usul keluarga raja-raja di Hilir. Selanjutnya pada 1932, tersebutlah W. K. H. Ypes yang melakukan kajian etnografi mengenai daerah Dairi dan Toba, karangannya tersebut ditemukan oleh pemilik yang merupakan kepala distrik Barus Mudik. Sebagian dari manuskrip dikutip oleh Ypes, perihal pemukiman marga Pardosi di Barus Hulu yang jika ditilik suasananya mirip dengan yang disebutkan dalam manuskrip (Drakard, 1988: 43-45).

Dalam buku Sejarah Raja-Raja Barus yang disusun Drakard ini berbahasa Indonesia dan Inggris. Dua manuskrip (Kronik Hulu dan Kronik Hilir) dialih bahasakannya. Pada halaman 25 hingga 30 dalam bukunya, Drakard membuat semacam ikhtisar yang akan disalin ulang dalam kesempatan ini.

Jika ingin mengetahui alih bahasa secara keseluruhan dua manuskripnya dapat membaca buku Drakard tersebut. Selanjutnya adalah menyampaikan ikhtisar yang hampir tidak dipangkas, sedikit dilakukan ‘penyuntingan’ standar sesuai kaidah bahasa Indonesia di masa sekarang, pun ada beberapa ‘semacam kesalahan’ tulis yang dilakukan Drakard yang tidak bisa dihindari.

Contohnya penyebutan ‘sultan’ dan ‘sutan’ yang tidak konsisten, hingga dipilihlah kata ‘sutan’ untuk kesemuanya karena jika dijumlah kata ‘sutan’ lebih banyak digunakan daripada ‘sultan’ (jika melihat gelar, ‘sutan’ merupakan nama kecil atau gelar dalam kebudayaan salah satunya di Minangkabau. Kata ‘sutan’ dianggap mengalami pergeseran dari kata ‘sultan’ pada masa dulu penyebutan huruf ‘r’ dan ‘l’ sering menghilang. Tidak jarang huruf ‘r’ dan ‘l’ bila berada di tengah sebuah ‘kata’ akan menghilang. Namun, kesalahan ini bukanlah kesalahan fatal, karena semakin ke sini, ada banyak penulisan yang penyebutannya terkadang ‘sultan’ dan terkadang ‘sutan’). (BERSAMBUNG – SINRID)

Referensi:

Drakard, Jane. (1988). Sejarah Raja-Raja Barus. Bandung: Angkasa & EFEO.

Dirangkai pada 6 Maret 2021 di Surya Mulia IV, Jakarta Barat (Sinta Ridwan)

Karena belum pernah mengunjungi Barus secara langsung, menggunakan foto yang diambil oleh Dr. Tompi featuring Indonesia Kaya pada 21 November 2019.

Kategori: Barus dan Tulisan.