Kidung Nyai

Oleh Sinta Ridwan |

Kidung Nyai Sri

I
Saptapertala bergoncang hebat,
gunung-gunung mengamuk,
petir saling membunuh.
Darah melunturi langit di Suryalaya.

Kening Sanghyang Pramesti Dewa Guru,
melipat menjadi delapan sudut bumi.
Geram melihat bidadari berterbangan,
kalut. Saling menubruk. Sayap-sayapnya nyangkut.
Ditugasi sang patih Narada sebagai detektif sewaan,
berburu dalang bencana di Kahyangan.

Narada mendapat mangsa, Dewa Anta,
sedang menendang anak tangga menuju surga.
Cerca-kan ketidak-berdayaannya dirikan istana Guru.
Ia tatap kerangka tubuhnya yang tak mampu mencakar langit.
Tiada jemari, dua lengannya menyatu dengan jantung.
Tiada jejak yang tertinggal, kakinya berupa ekor panjang bersisik.
Sedih tak berbakti pada Guru, malu pada bidadari.
Murka pada dalang, dengki pada wayang.

Tiga butir air mata Anta jatuh terhempas luka.
Menjelma bayi para dewa bumi.
Budug Basu, terbuang saat lawan Elang di terbangnya.
Jaka Sedana, tertidur nyenyak di pangkuan para bidadari.
Nyai Sri Puwaci, tertawa riang bermain dengan Guru.

II
Pesona Sri menggoda dewa-dewa genit.
Mereka saling hujat. Membantingkan pedang demi janur kuning.
Sedana pun lawan nafsu Guru yang terbakar kecantikan Nyai.
Butir kesedihan Sri ditinggalkan di langit. Kabur ke bumi.
Menyapa bapak dan ibu tani yang menyisir duka-gelisahnya.
Sri menghilang saat bapak tani ucap kunci larangan.
Darah yang menetes dari kebaya menjelma padi merah.
Warisan disembahkan kepada orangtua manusia Nyai.

Sri kembali pada pelukan Guru.
Merengek minta kawin. Dihidangkanlah Budug Basu.
Nyai sumringah. Ribuan ekor meteor jatuh ke hatinya.
Budug Basu adalah raja segala penyakit.
Saat ingin meleburkan cintanya, Sri kabur lagi.
Setelah menonton atraksi belatung bermuncratan penuh girang,
dari pori-pori suaminya. Nyai tidak terima,
memaki Guru dengan ujung trisula.
yang ia hunuskan pada asmaranya. Mati.
Budug Basu mengejar hujan,
lalu menatap trisula yang tertawa di hati Nyai. Ikut mati.

III
Jasad Sri menjelma surga.
Tulangnya menjadi bambu. Kepalanya menjadi kelapa.
Air matanya menjadi terigu. Urat nadi menjelma kacang-kacangan.
Bulu-bulu halusnya menjadi rumput yang suka menari di tengah purnama.
Pun jantungnya menjelma padi.

Jasad Budug Basu menjelma dunia,
babi, tikus, dan hama untuk merusak Nyai.
Banteng dan kerbau untuk melidungi Sri.
Ia menjelma raja ikan untuk mendampingi Dewi.

Abu Nyai ditaburkan di tanah Pajajaran.
Debu Budug Basu dihanyutkan di laut Caruban.
Cinta bersatu di lorong kerongkongan manusia,
dalam piring yang menghidupi cahaya.
Bertemu di pesta tani, menari di atas perahu.
Dalam sumpah nadran dan sedekah bumi.
Mereka bersama dalam tubuh umatnya.

Bandung Timur, 20 Februari 2010

*Puisi ini seutuhnya (ketiga bagiannya) pernah dimuat di Pertemuan Kecil – Khazanah, Pikiran Rakyat, harian Jawa Barat pada Minggu, 13 Juni 2010 halaman 22. Puisi ini dibagi tiga bagian dan dimuat ulang pada koran daring http://www.cirebontrust.com/kumpulan-puisi-sinta-ridwan-5-kidung-nyai-sri-1.html pada 15 November 2015, http://www.cirebontrust.com/kumpulan-puisi-sinta-ridwan-06-kidung-nyai-sri-2.html pada 18 November 2015, dan http://www.cirebontrust.com/kumpulan-puisi-sinta-ridwan-7-kidung-nyai-sri-3.html pada 19 November 2015.

Foto diambil pada 11 Januari 2010 di Jatinangor.

Kategori: Mengolah dan Puisi.
  • Kebo Tedong Bulan

    luar biasa