Lima Lempir

Oleh Sinta Ridwan |

Lima Lempir Lontar

Di antara mata daun lontar kuminta juru tulis goreskan pangot
seirama gelisah yang telah mengutuk Yayi setelah kematianmu
di tangan Ramaku sendiri. Bercak darah menempel abadi di watu gatheng
seperti menghantam dada Yayi sendiri hingga sesak dendam dirasa.

Cinta Yayi tak memandang tugas dan takdir, seperti tersihir pesona Kanda
membahana, ditambah Baruklinting pada Kanda menambah pancaran pusaka.
Meski tak pernah diam di dekat Yayi. Masih kususuri pusaka Kanda
yang ditahan. Ya, tombak yang adalah Pamandamu sendiri.

Yayi butuh Baruklinting untuk lindungi Ananda kita berdua.
Kau dan dia punya darah Brawijaya terakhir.
Yayi tak nyana kau cepat pulang menjadi serbuk Semesta,
semoga gegas menyatu lagi. Hingga arah mata kita saling menarik.

Kurindukan telapak tangan Kanda menembus bulu-bulu lenganku.
Otot-sendi seolah ingin mengabadikan perdikan Mangir selamanya.
Kuatnya dorongan tenagamu seperti naga-naga yang sedang bermain.
Bergumul hingga tak mampu menutupi sinaran jiwaku jatuh di hatimu.

Lima lempir lontar ini tak cukup menggoreskan semua ingatan tetangmu.
Yayi takut nanti tak dapat ingat apapun terhadap Kanda. Yayi ingin simpan
jiwa Kanda dan membawanya jauhi Mangir yang sudah tak terbentuk ini.
Kepergianmu membuat perubahan banyak di tanah ini. Kelam menyelimuti.

Bayi kita, Kanda, bayi dari kumpulan benih ini menarik perhatian Rama.
Aku ingat betul makianmu yang melengking saat Yayi cerita Ramanda,
kalau Yayi ini Sekar Pambayun, putri dari permaisuri Mataram.
Mata cintamu berubah. Penuh kebencian. Sesaat surut ingat jabangmu.

Perkasamu sebagai prajurit luluh, terganti rasa sayang ayah.
Korbankan gengsi untuk menyembah Senopati sebagai menantu.
Yayi bahagia Kandaku mau datang ke tempat Yayi dibesarkan.
Aku sungguh cintaimu, Kandaku. Raja di hatiku. Prajurit sejati.

Andai tak paksa hadap Rama, tidak percaya muslihat penasihatnya.
Kepalamu tak akan berlumur darah, tidak terhormat untuk dendam,
demi upeti dan luas kekuasaan. Kau meninggalkanku pun Anandamu.
Tak sanggup tanpamu, di sini dekat dengan pembunuhmu. Esok pagi
hendak mencari atma ke arah barat sana. Tunggu kami kesatriaku,
semoga lima lempir lontar yang sudah ditulis ini sampai padamu.

Bandung Timur, 22 Februari 2012

*Puisi ini pernah dimuat di Seni Budaya, Harian Kabar Priangan pada Rabu, 27 Mei 2015 halaman 14 “Puisi-puisi Sinta Ridwan”.

Foto diambil pada 13 Februari 2012 di Jakarta.

Kategori: Mengolah dan Puisi.