Ruang 202

Oleh Sinta Ridwan |

Membaca lagi cerita pendek ini aku hanya bisa tertawa, ini kayaknya unek-unek atau curhatan kasar. Sudah, itu saja komentarnya eh, pengantarnya, silakan dibaca, baru kali ini pembahasan soal keilmuan yang aku geluti, filologi.

Dialog Ruang 202

Ada rasa pengap dan sesak dalam Ruang 202 ini. Meski pendingin ruangan bersuhu jauh di bawah ukuran di luar ruangan, bahkan luar gedung. Udara hanya bersikulasi dari rongga hidung beberapa mahasiswa yang duduk gelisah di dalam ruangan dengan ruang yang besarnya tidak lebih dari ruang kerja plus perpustakaanku. Tidak ada jendela besar yang membuka diri pada dunia. Tiada warna hijau-hijau di sekitarnya. Hanya ada jendela kaca tertutup rapat bingkainya di atas kepala dosen yang sedang memberi materi.

Meski pengap, Ruang 202 ini terang oleh lampu dan benderang oleh silaunya cahaya mentari yang menerobos lewat jendela kaca di atas kepala dosen yang berbalut setelah hitam-hitam. Mulai dari penutup kepala hingga alas kakinya. Hitam. Entah, dosen ini sedang mengalami hari apa, hingga memutuskan berstelan hitam-hitam begitu. Sementara wajah-wajah mahasiswa yang tersilaukan celah cahaya, tampak kabut kebingungan mendengarkan materi dosen.

Dosen ini sebenarnya berlatar antropologi, mata kuliah lain selain hari ini yang diajarnya khusus mengenai antropologi budaya. Namun, aku yang datang terlambat masuk ke ruangan ini sebagai kelas pertama di semester tiga Jurusan Filologi merasa bingung. Dosen ini mengajar preservasi manuskrip. Aku kaget melihatnya. Kupikir siapa yang akan mengajar mata kuliah penting kali ini mengenai perawatan dan pemeliharaan manuskrip kuna.

Ada sebelas mahasiswa termasuk diriku. Sebenarnya ini kelas semester tiga sementara aku baru masuk di semester pertama. Aku disuruh loncat ikut kelas angkatan atas. Tujuannya agar bisa melihat dan mendengarkan mereka-mereka yang lebih dulu mengikuti jurusan ini. Sambil duduk tidak tenang, aku berpikir kalau mata kuliah ini semestinya tidak ada hubungannya dengan antropologi budaya yang dikuasai dosen di depan kami semua.

Posisi dudukku tidak nyaman sekali. Ditambah silau yang membuat kepala sedikit pusing ketika memaksakan diri berfokus pada apa yang disampaikan dosen. Semalam aku hanya tidur tiga jam lamanya. Kupaksakan senyum simpul di ujung bibir saat tatapan mataku kepergok kedua mata dosen.

Tiba-tiba hening meradang di dalam ruang. Suara gemetar kipas pendingin sampai terdengar. Sampai liukan suhu rendahnya dikagetkan suara kakak tingkat yang menanyakan sudut pandang antropologi dalam manuskrip yang sedang ia teliti untuk penelitian tesisnya. Dalam hati aku berbisik, “Nah kan, kelas sekarang bukan bahas antropologi budaya, tapi sedang bahas soal perawatan artefak khususnya manuskrip kuna.”

Sebelum menjawab, dosen menyerahkan dua buku berbahasa Inggris berjudulkan Preservasi Manuskrip dalam bahasa Indonesianya. Katanya, untuk mempelajari bagaimana cara memelihara dan merawat manuskrip termasuk mengkatalogisasikan dapat dimengerti dengan membaca kedua buku itu. Silahkan dikopi. Aku bengong menerima dua buku yang sudah dałam bentuk fotokopian. Memfotokopikan buku fotokopi. Aku celingak celinguk ke sekeliling. Semua tatapan sepakat, aku, si bungsu ini yang mendapat tugas memfotokopi buku tersebut dan membagikan ke semua.

Kakak tingkat melanjutkan, “Saat ini saya sedang meneliti manuskrip berjudul Panji. Ada hal yang menarik sehingga saya pilih Panji jadi bahan penelitian tesis. Saya menemukan manuskrip di Tatar Sunda lengkap dengan bahasa Sunda namun beraksara Pegon. Kemungkinan besar ditulis setelah Islam ada. Namun yang mengherankan, Panji konon berasal dari Jawa lengkap dengan tradisi Hindu. Karenanya saya ambil hipotesis awal, kalau manuskrip ini beradaptasi di wilayah Sunda.”

Mendengarnya aku menjadi pusing. Kenapa jadi curhat di kelas. Sambil mendengar, aku menggambari selembar kertas kosong dengan spidol merah. Menyorat-nyoret sebuah konsep. Sesekali menarik napas berat dan memejamkan mata untuk mencairkan mata akibat silau saat dosen menanggapi dengan mengajukan pertanyaan lagi.

Di dalam ruang ini ada sebelas mahasiswa, tapi seolah hanya ada dua orang yang tengah bercakap-cakap.

“Apakah Bapak sudah membandingkan isi manuskrip cerita Panji di Jawa dengan di Sunda? Apa yang membedakan?”

“Sudah, Bu. Ada beberapa alur cerita yang berbeda. Seperti kisah Panji yang menculik seorang putri di manuskrip saya tidak ada. Mungkin dari sisi antropologi budayanya harus diteliti lagi, adegan yang ditambah atau yang menghilang,” jawab kakak tingkat saya itu.

“Jadi begini, ketika suatu manuskrip mengalami proses penyalinan akan terjadi perkembangan isi sesuai dengan pikiran penulisnya. Bila satu manuskrip ditulis ulang oleh pengarang A, lalu pengarang B menyalin ulang lagi, begitu juga pengarang C sampai pengarang D-E-F, pastilah cerita akan terjadi transformasi dan perubahan. Tugas filolog memilih manuskrip yang mendekati manuskrip aslinya,” jawab dosen.

Akhirnya kisah Panji dan perbedaan ceritanya menjadi pekerjaan utama. Dalam hati, akan kutunggu saat ujian nanti pertahanan kakak tingkat itu apakah mampu memberi jawaban soal perkembangan cerita Panji di tatar Sunda.

Seakan tak puas mengajukan beberapa pertanyaan yang sebenarnya memang tidak dijawab langsung oleh dosen—memang bukan bidangnya dosen ini harus menjawab, kataku. Aku mendehem beberapa kali. Sementara yang lain asyik mendengarkan dengan seksama. Kalau aku, tiba-tiba menjadi gerah dan semakin pengap. Padahal pendingin ruang berangka 16, paling rendah. Kakak tingkat itu mengajukan pertanyaan lagi.

“Saya tertarik dengan satu pertanyaan saat sidang usulan penelitian, ketika satu penguji bertanya pada peserta. Ia menanyakan apakah manuskrip yang diteliti itu akan berguna untuk masa kini atau masa depan nantinya. Pertanyaan saya adalah dahulu manuskrip itu ditulis dengan tujuan agar dapat dimanfaatkan di masanya dan kemungkinan besar sudah tidak berlaku lagi di masa sekarang bahkan di masa depan.”

“Lalu?” Tanya dosen.

Hening menyergap kembali. Tiada kelanjutan. Sampai dosen membuka mulutnya lagi. Ia mencoba menangkap maksud pertanyaan yang mirip pernyataan.

Dosen menyinggung soal sinkrenitas. Di tengah penjelasannya, aku mengacungkan lima jari ke atas.

“Ya, Zita, ada tambahan?”

“Begini Bu, untuk masalah bermanfaat atau tidak bermanfaatnya manuskrip yang kita teliti itu, pastinya di awal saat memilih manuskrip tersebut sebagai bahan penelitian kita, kita pasti sudah berpikir berpuluh-puluh kali terlebih dulu. Menimbang-nimbang apakah manuskrip ini ada manfaatnya untuk masa kini atau tidak. Kita dituntut cerdas melihat masa, melihat waktu, melihat kondisi. Ketika memilih apa yang kita teliti akan bermanfaat untuk orang banyak atau tidak. Misalnya, seperti meneliti manuskrip yang berisi cara pengobatan dan penyebutan tanaman obat macam tetamba bisa dimanfaatkan bagi dunia kedokteran. Lalu ada juga ajaran-ajaran tasawuf atau metode perundang-undangan di Nusantara bisa digunakan sebagai bahan pembanding mengatasi masalah yang ada saat ini.

“Nah itu benar, kita sendiri yang seharusnya menentukan manuskrip itu bermanfaat atau tidak untuk masyarakat luas di luar akademik,” kata dosen.

“Boleh saya menambah lagi, Bu?”

“Boleh saja, Zita, silahkan.” Jawab dosen yang sedari tadi duduk di belakang meja di bawah jendela kaca yang tertutup rapat bingkainya bagai patung yang tak bisa bergerak karena menompang beban.

“Banyak lulusan jurusan ini. Khususnya hasil penelitian, pada akhirnya hanya menghabiskan banyak dana, tenaga, juga waktu yang terbuang percuma, tanda petik dua. Hasil karyanya disimpan tidak berdaya dan seolah tidak berguna untuk dunia, hanya teronggok di perpustakaan kampus. Tidak ada upaya lagi agar hasil karya itu bisa bermanfaat untuk orang banyak dengan cara membuat buku untuk umum atau non-filolog. Atau bisa langsung melakukan praktek di tengah masyarakat memakai hasil penelitiannya. Jadi intinya, ya kita harus cerdas memilih tema yang akan kita usung. Kecuali kalau niatnya hanya ingin cepat lulus lalu langsung diangkat menjadi pejabat PNS dan sama sekali tidak peduli penelitiannya itu berguna untuk orang lain atau tidak. Tesisnya hanya sebagai pajangan untuk memenuhi rak-rak buku di perpustakaan kampus.” Aku berkata sambil terbata-bata. Kenapa jadi keluar emosi karena pola pikir ini.

Lalu kakak tingkat itu menimpali, “Bukan masalah cerdas atau tidak. Kita dituntut untuk cepat beres kuliah. Kita juga tidak bisa melihat terlebih dahulu isi kandungan dalam manuskrip yang akan kita teliti sebelum deadline usulan penelitian. Mungkin setelah kita selesai kuliah di sini baru kita bisa meneliti manuskrip yang berguna bagi masyarakat lewat proyek lanjutan.”

Jemariku tanpa sadar semakin mengencang menggenggam spidol yang dari tadi kugunakan untuk menyorat-nyoret selembar kertas. Sambil berbisik dalam hati. Maka dari itu diperlukan kecerdasan. Kita sebagai manusia beruntung yang dapat pendidikan lebih harus cerdas dan iklas dalam berbagi ilmu. Kalau bisa kita harus mempublikasikan ulang apa yang telah kita kerjakan. Agar orang-orang di luar sana tahu bahwa manuskrip-manuskrip negeri ini punya banyak kekayaan intelektual. Bahwa Nusantara punya warisan budaya yang luhur dan orang lain yang tidak bisa membacanya, berhak tahu isinya.

Kita harus membuka akses informasi selebar mungkin agar mempunyai dampak yang berguna bagi masyarakat. Kita jangan asyik dengan dunia sendiri atau hanya demi kepentingan akademik dan perut sendiri. Tugas kita itu sebagai jembatan antara manuskrip dengan masa kini yang tak bisa menyampaikan langsung isi kandungannya kepada khalayak.

Terkadang pemikiranku terlalu naif. Kata kakak tingkat. Cara berpikirnya jangan polos seperti itu dong, Zita.

Aku langsung berpikir mengapa demi pelestarian kebudayaan Nusantara harus selalu berpikir pragmatis? Lewat proyek-proyek yang menjadikan warisan leluhur sebagai etalase pariwisata dan tanpa sadar telah melakukan eksploitasi terhadap nilai-nilai kandungannya. Hanya dijadikan proyek demi mengeruk materi sepihak. Berarti kita sama saja seperti wakil rakyat. Secara terang-terangan mereka sudah tidak menjelma wakil rakyat lagi di gedung mewah itu. Dengan fasilitas gaji yang besar. Mereka tetap melakukan korupsi dan penuh proyek tidak jelas. Demi keuntungan pribadi. Sementara nasib rakyat tetap kelaparan.

Aku berbisik ketus pada spidol merah yang kupegang juga pada lembaran kertas yang sedari tadi aku coret. Tanpa kusadari dosen mendengarkan bisikan itu.

Lalu terdengar sebuah pertanyaan lagi. Kakak tingkat yang datang paling terlambat. Sepintas ia melihat catatan dosen di papan tulis, “Ehm, jadi maksudnya sinkretinitas dalam manuskrip itu apa, Bu?”

Aku makin kencang memegang spidol. Aku langsung mengangkat tangan bermaksud menimpali pernyataan setelah pertanyaan itu. Ini bukan soal agama, kataku. Ketika dijawab sinkretinitas secara teori adalah terdapatnya perbedaan landasan agama di dalam satu kebudayaan. Contohnya dalam suatu ritual keagamaan yang masih menjunjung tinggi nilai kehinduan, seperti pada saat memandikan benda pusaka, diawali dengan bacaan basmalah terlebih dahulu yang notabenenya merupakan sikap dari agama lain.

Oh, tidak. Dialog ini akan panjang. Tak akan ada habisnya gemetaran di dadaku ini. Dan ruangan seperti semakin pengap mengingat manuskrip-manuskrip di negeri ini puluhan ribu jumlahnya sementara yang akan menggarapnya hanya bisa dihitung dengan jari. Dan kita berlomba dengan waktu dan pergantian zaman serta kemalasan dalam berpikir cerdas.

Ujungberung II, 17 Januari 2009

Foto diambil di Gunung Manglayang, Bandung pada 2 Januari 2011.

Kategori: Cerpen dan Tulisan.