Nona Laut

Oleh Sinta Ridwan |

Cerpen ini dimuat di koran Bontang Post, Kalimantan Timur, 8 dan 9 Februari 2011. Selengkapnya dan edisi editan ada di buku kumpulan cerpen Perempuan Berkepang Kenangan, terbitan Ultimus Bandung, Desember 2017. Cerpen ini cerpen perdana aku yang dimuat di koran.

Hati Nona Laut

Rasanya, aku hampir tak percaya. Kini aku sedang duduk di atas perahu tradisional khas masyarakat Raja Ampat. Ya, Raja Ampat! Salah satu tujuan wisata yang diimpikan banyak orang. Aku sedang mengantongi buah keberuntungan, berkat kawanku yang bernama Kak Dea. Aku bertemu Kak Dea di Manado setelah sekian lama berinteraksi lewat jejaring sosial. Kak Dea sebenarnya berasal dari Gorontalo, tetapi ia bekerja di salah satu organisasi konservasi laut di Raja Ampat.

Ada satu pesan Kak Dea yang kuingat saat aku hendak menginjakkan kaki di salah satu kampung tempatnya melakukan konservasi, “Hati-hati dengan pesona Nona Laut saat bertemu di tengah laut nanti, ya, Ta. Ia bisa menarikmu sampai ke dasar lautan dan tak bisa muncul kembali di permukaan.”

Setiap kali kuingat pesan Kak Dea, aku bergidik. Bagaimana rasanya kalau aku sampai ditarik Nona Laut ke dasar lautan ya, aku kan tidak bisa berenang? Namun, Pak Demara membuatku tenang. Ia adalah seorang warga yang hidup di kampung yang sedang kutuju. Aku dijemput Pak Demara menggunakan perahu tradisional miliknya.

Di awal pertemuanku dengannya, Pak Demara menunjukkan gigi dan bibirnya yang merah sambil berkata, “Kalau bertemu Nona Laut nanti di jalan, sapalah dengan riang, karena ia suka dengan senyuman manusia. Jangan sampai membuatnya kesal, nanti perahu Bapak dibalikkannya.”

“Apa yang bisa membuatnya kesal, Pak De?” tanyaku sembari duduk di lengkungan perahunya.

“Buang sampah ke laut,” jawabnya.

“Ah, baiklah. Aku juga pasti kesal kalau ada yang buang sampah sembarangan di depan mataku, Pak De.” Kudengar Pak Demara tertawa sambil menyalakan mesin perahu kayunya.

Aku sudah tak sabar ingin cepat-cepat sampai ke kampungnya, tetapi dipikir-pikir kapan lagi aku bisa menikmati perjalanan laut dengan perahu tradisional begini? Bisa saja ini adalah pengalamanku yang pertama sekaligus terakhir kalinya. Jadi, aku akan menikmati tiap desir angin laut yang mengibaskan rambutku.

Kupandang sekeliling, hanya ada warna biru, sesekali tempurung penyu menyembul di dekat cadik perahu. Tak ada ombak yang bergulung, laut begitu tenang seperti sedang menikmati waktu dan tak memiliki masalah-masalah pelik dalam hidupnya. Kupandang langit yang juga berwarna biru, tetapi birunya langit dikalahkan warna laut yang tampaknya sedang kasmaran. Biru yang berkilauan.

Tiba-tiba, ada ombak besar entah dari mana mendekat sambil menari-nari. “Itu Nona Laut, ia muncul,” teriak Pak Demara yang suaranya hampir hilang ditelan suara mesin yang menderu.

Aku terpana melihat gaya tariannya yang malu-malu kucing itu. Ia tersenyum manis sekali. Betul kata Kak Dea, pesonanya sungguh membuat silau mata yang memandang. Wajahnya memancarkan—tunggu, bisa kutebak—ia sedang jatuh cinta! Ah, aku seolah ikut merasa bahagia melihatnya jatuh cinta. Konon, rasa jatuh cinta itu bisa memberi energi yang baik kepada sekelilingnya.

Aku pun penasaran, Nona Laut sedang jatuh cinta kepada siapa? Kepada Tuan Langitkah? Aku berbisik kepadanya setelah ia ikut duduk di perahu Pak Demara, ia kini berada di hadapanku. Tepat depan wajahku.

“Hei, Nona Laut. Aku ikut mendapatkan getaran energi kuat yang kau pancarkan. Apakah itu cinta? Kepada siapa cintamu jatuh?” tanyaku.

Dia menjawab dengan malu-malu, “Aku jatuh cinta kepada seorang nelayan.”

Aku berusaha tak kaget dengan mengangguk-anggukan kepala, tersenyum-senyum dan ikut larut pada energi cinta yang berasa bahagia milik Nona Laut. Aku menatap lekat wajahnya, dalam hati kuberkata, tak ada batasan untuk jatuh cinta kepada siapa pun. Semua makhluk berhak merasakan energi paling mulia itu.

“Ah, Nona,” lalu aku kembali membisikinya, “Hati-hati, Nona, jangan sampai sakit karena cinta,” kataku sambil ikut melambaikan tangan saat Nona Laut undur diri dan kebetulan sekali perahu yang kutumpangi juga sampai di tepi dermaga milik kampung yang kutuju.

Sebelum turun dari perahu Pak Demara, aku bersalaman dengannya, pamit dan mengucap terima kasih telah menjemput dan mengantarkan, sambil menunjukkan bibir serta gigiku yang merah. Ya, sepanjang perjalanan Pak Demara mempersilakanku mengunyah buah pinang yang dioles kapur sirih miliknya. Ia juga mengajariku tata cara menginang dan tertawa lebar melihatku sedikit mabuk karena mengonsumsinya.

Aku memilih membenamkan kedua kakiku ke pantai ketimbang naik ke atas dermaga, setelah melepas sepatu dan mengikatnya di ujung tas ransel yang sudah kugendong. Aduhai, rasanya seperti menginjak surga. Pasir di dalam air laut yang tingginya selutut ini sungguh lembut. Sesekali tak sengaja kakiku terbentur karang karena kedua mataku terlalu fokus mencari tahu letak para bulu babi yang berkeliaran agar kakiku tidak sampai menginjaknya.

Langkah demi langkah kudekati pantai yang pasirnya berwarna putih seperti serbuk detergen itu. Rasanya tak sabar untuk segera melepas tas dan berlarian mengelilingi pantai yang memanjang tanpa alas kaki.

Aku harus berterima kasih kepada Kak Dea, berkatnya juga Pak Demara bisa menjemputku dengan perahu miliknya. Konon, harga sewa perahu untuk bisa mengunjungi pulau-pulau di Raja Ampat harganya sampai jutaan. Tadi Pak Demara menjemputku di Pelabuhan Waisai setelah tiga jam kuhabiskan dalam kapal feri yang berangkat dari Pelabuhan Sorong. Aku bertolak dari Manado menggunakan pesawat kecil menuju Sorong.

Aku sedang di Raja Ampat. Raja Ampat! Sungguh, tak percaya aku bisa ada di salah satu pulau dari sekian banyak pulau yang dimiliki Raja Ampat. Pulau ini memiliki dua kampung, kampung barat dan timur. Kampung yang selalu diceritakan Kak Dea sejak mengobrol di jejaring sosial, kampung yang suka dipotretnya dan dipamerkan di Facebook.

Kak Dea memintaku datang untuk membagikan kisah-kisah perjalanan hidupku kepada kawan-kawan di Raja Ampat. “Kawan-kawanku di sini butuh api yang berkobar untuk menjalani lagi hidupnya, Ta,” pintanya.

“Kuingin kau untuk berbagi ceria dengan anak-anak di sini, Ta. Sebagai balasannya, kau bisa hirup udara segar sebebas-bebasnya, sebersih-bersihnya di sini, udara yang tak bisa kau dapatkan di kotamu, Ta.” Aku mengangguk mantap. Tak akan kusia-siakan kesempatan untuk mengunjungi kampung ini dan menuliskan apa yang kurasa.

Kak Dea tahu betul kalau aku ini ingin menjadi seorang penulis dan sebagai mahasiswa yang tak punya anggaran dana untuk berwisata. Ia memberiku kesempatan untuk melihat daerahnya bekerja, siapa tahu aku mendapat inspirasi untuk menuliskannya. Ah, Kak Dea, baik sekali kau ini. Aku pun merebahkan tubuhku di atas pasir. Posisinya masih belum mau beranjak dari pantai sejak kedatangan. Aku sedang menikmati lembutnya pasir putih yang berkilauan ini.

Ransel kubiarkan tergeletak di pasir. Sementara aku mengambil posisi tengkurap untuk menciumi tubuh-tubuh pasir yang bergumul di pantai ini. Kuresapi baunya dalam-dalam agar menyatu di saluran pernapasanku bersama udara yang segar.

Kubalikkan lagi tubuh agar menghadap langit yang biru. Kubentangkan kedua tangan di atas ratusan ribu bahkan jutaan butir pasir yang empuknya mirip kasur spring bed. Adakah yang lebih indah daripada kampung asri yang belum terjamah oleh tangan kapitalis? Tanyaku kepada awan-awan yang sedang bermain kejar-kejaran.

Kudengar hanya ada suara cekikikan, tak ada jawaban dari pertanyaan bodohku itu. Beberapa menit kunikmati sambil memejamkan mata. Merasakan angin, hangatnya pasir, mendengar suara-suara yang bercampur antara manusia dan makhluk hidup lainnya. Saat membuka mata, aku mendapatkan sesosok wajah lugu yang keheranan melihatku berguling-guling di atas pasir.

Sesosok berwajah polos dan kurus semampai. Seorang gadis ingusan berambut keriting warna merah jagung berkulit cokelat gelap.

Aku pun terduduk di pasir putih. Sementara posisi Ibu Matahari yang tubuhnya bulat sudah menggeserkan diri mendekati cakrawala. Sambil kusenyum kepada gadis yang ternyata sudah lumayan lama juga memperhatikanku, kupanggilnya untuk mendekat.

Kulihat langkahnya ragu-ragu dan perlahan saat menghampiri. Setelah ia berdiri dekat di hadapanku, ia mengusap ingus yang mengalir dengan kausnya lalu menyodorkan tangan saat kuajak berkenalan dan memintanya menyebutkan nama.

“Mona,” balasnya.

“Ah, namamu bagus, Mona. Aku Tita. Salam kenal, ya.”

Kuajak ia duduk di sampingku sambil memandang Ibu Matahari yang terkantuk-kantuk, sayup matanya. Aku banyak bertanya pada Mona, sementara ia menjawab seadanya. Aku mendapatkan beberapa informasi penting, termasuk tentang keluarga dan perjalanan pendidikannya.

Aku asyik mendengarkan Mona yang terbata-bata bercerita tentang dirinya dan sekolahnya. Saking asyiknya, aku sampai lupa harus menyetor muka ke kepala kampung untuk meminta izin tinggal sementara.

Mona tinggal berdua bersama ayahnya, seorang nelayan. Ibunya mangkat saat Mona berusia lima tahun, “Karena sakit aneh,” tutur Mona. Saat ini Mona berusia dua belas tahun, kalau di kotaku atau pada umumnya dengan usia dua belas tahun seharusnya ia duduk di kelas enam sekolah dasar. Sayangnya hal itu tidak berlaku baginya, aku bingung mendengarnya, saat ia bilang, “Kak Tita, aku itu sudah kelas dua.”

“Wah, hebat, sudah kelas dua SMP, ya,” sahutku.

“Bukan, aku masih belajar di kelas dua SD,” jawabnya, sambil memandang laut yang sudah memerah, karena senja telah berpijar.

Saat kutanya kenapa ia masih kelas dua SD, ia menjawabnya hanya dengan menatapku lalu kulihat mimik wajahnya ikutan bingung.

“Ya sudah,” lanjutku. “Tak usah dipaksa mencari jawabannya, toh Mona suka dengan belajar dan sekolah, kan?” Mona menjawab dengan anggukan dan senyum manis yang baru kulihat di wajahnya itu.

Kelihatannya Mona sangat ingin terus belajar dan sekolah seperti teman-temannya. Ia masih kelas dua karena ayahnya sering tidak punya bensin untuk perahunya, sehingga ia sering kali tidak masuk sekolah.

Sekolah di sini tidak seperti di kotaku yang bisa dengan berjalan kaki kalau dekat atau naik angkutan umum atau diantar naik roda dua. Di sini, mereka harus menyeberang pulau dengan menggunakan perahu yang sama dengan Pak Demara. Di pulau yang ditinggali Mona tidak ada bangunan sekolah, adanya di Pulau Besar. Jaraknya sekitar satu jam dari tempat Mona. Beberapa anak kesulitan masuk sekolah karena biaya perjalanan yang tidaklah murah.

“Pantas saja Mona baru kelas dua SD,” batinku berbisik.

Tak terasa Dewi Senja mengeluarkan kado di akhir kemunculannya, ribuan bintang yang bertebaran di langit malam. Kupinta Mona mengantarku ke rumah kepala kampung. Kata Mona, nama kepala kampungnya bernama Pak Mayor. Sesampainya di depan rumah Pak Mayor, Mona pamit. Ia hendak kembali ke rumahnya.

Tangan kecilnya menunjuk satu rumah kayu sambil berkata, “Kakak, kalau mau tidur di rumahku saja, itu di sana rumahku. Bapak akan melaut malam ini, katanya mencari ikan untuk dijual lagi biar bisa membeli bensin dan besok bisa mengantarkanku sekolah. Jadi Mona tidur sendiri malam ini.”

Aku tersenyum mendengarnya sambil mengusap rambutnya yang lengket dan berpasir, aku mengangguk. Kulihat Mona berlari dengan riang meski jalanan gelap.

“Di sini tidak seperti di Bandung, Tita,” ujar Pak Mayor sambil mempersilakanku duduk di teras depan rumah kayunya. Tampak beberapa lelaki sedang berkumpul sambil mengutak-atik sebuah mesin diesel.

“Dea sudah memberi tahu Bapak kalau kamu akan datang, jadi jangan kaget kalau Bapak sudah tahu namamu, hehehe. Oh, iya, di kampung ini lampu akan menyala pukul tujuh malam nanti dan berakhir sampai dini hari, sumbernya dari diesel yang kau lihat itu.”

Aku manggut-manggut mendengarkan sambil membayangkan berapa jumlah liter bensin yang dihabiskan untuk menyalakan listrik dalam setengah malam.

Sebenarnya, aku suka malam gelap tanpa listrik. Bintang-bintang bebas berkelipan tanpa polusi cahaya, dan aku bisa menyaksikan keindahannya.

Tak lama kemudian aku pamit ingin istirahat setelah menempuh perjalanan panjang dari Manado. Aku meminta izin kepada Pak Mayor untuk menumpang di kampungnya beberapa hari. Tadi Pak Mayor sempat mengusulkan aku tinggal di rumahnya saja, tetapi aku menolak karena Mona lebih dulu menawarkan aku tidur di rumahnya.

Aku tidak sempat bertemu ayah Mona setibanya di rumah Mona. Ayahnya baru saja pergi melaut mencari ikan. Kata Mona, biasanya ayahnya membawa ikan kerapu ukuran besar dan akan menyisakan beberapa kerapu untuk diberikan kepadaku.

Ternyata Mona sempat cerita tentangku yang akan tidur di rumahnya. Wah, aku senang betul bakal makan ikan kerapu bakar. Di kotaku, ikan kerapu mahal harganya. Malah katanya, di Singapura saking bernilainya ikan kerapu, mereka melakukan budidaya ikan kerapu dengan mengambil bibitnya dari Bali.

Aku menggeleng-geleng saat Mona cerita kalau ia bisa makan ikan kerapu setiap hari. Aku iri sekali dan tak sabar ingin memakannya, penasaran dengan rasanya karena aku belum pernah mencoba sama sekali.

Setelah makan malam sederhana bersama Mona, gadis kecil itu pamit tidur lebih dulu. Sementara aku masih belum bisa tidur. Suara ombak bergulung seolah mengajakku bermain.

Akhirnya, aku pun menghabiskan malam dengan berjalan-jalan di pinggir pantai dan seperti yang kulakukan tadi siang, aku merebahkan diri di atas pasir putih. Seperti yang sudah dikatakan Pak Mayor, tepat tengah malam semua lampu di kampung padam. Gelap menyelimuti.

Jadi, aku bisa memandangi jutaan bintang di langit yang tampak lebih terang dibanding lautan. Sepertinya jumlah bintang bukan jutaan tapi lebih, miliaran. Aku memukul kepalaku sendiri, kenapa sedari tadi aku harus menghitung ini itu, ya bensin, ya bintang, sudahlah nikmati saja apa yang ada di hadapan. Tidak usah berpikir terlalu banyak, aku membisiki diri sendiri.

Dibanding tadi siang yang tenang, malam ini ombak bermunculan seperti pasukan yang sedang bernyanyi. Andai aku bisa menikmati suguhan alam seperti ini seumur hidup, alangkah bahagianya. Namun, mendadak aku mendengar suara tangisan muncul dari barisan pasukan ombak. Suara itu semakin keras dan mendekatiku dari arah lautan.“Eh, itu kan Nona Laut. Kenapa ia menangis di tengah malam begini?” Bisikku.

“Hei, Nona, kenapa kamu menangis di bawah terangnya para bintang? Adakah sesuatu yang kau tangisi sampai-sampai tangisanmu seolah menyayat hatiku yang mendengarnya.”

Nona Laut menatapku sambil berbisik lirih dan tubuhnya gemetaran. Sayangnya aku tak bisa mendengarnya, “Kenapa, Nona? Ada apa sebenarnya?”

Sebelum beranjak pergi dan menghilang ia menyampaikan sesuatu pada salah satu pasukan ombak agar bisa dikirim kepadaku pesannya itu, “Hatiku hilang, Ta.”

“Apa? Hati Nona Laut hilang?” Aku kaget dan merasa bingung. Apa yang hilang tadi, hatinyakah? Apa aku salah dengar, hatinya? Apakah ia kehilangan hatinya? Aku terus mengulang tanya. Ia patah hati? Aduh, tanpa mendapatkan jawaban, aku hanya bisa memandang cahaya Nona Laut yang berangsur hilang ditelan gemuruh pasukan ombak. Sirna.

Aku kembali memandangi bintang-bintang. Puluhan bintang berjatuhan, tak bisa kuhitung dengan jari. Tak kusiakan kesempatan ini untuk kuucapkan banyak doa dan harapan. O, bintang jatuh. Jatuhlah ke hatiku yang paling dalam. Temukan kembali hati Nona Laut yang telah menghilang itu. Aku jadi ingin melantunkan syair teruntuk pemilik para bintang.

Wahai Raja Bintang, engkau pasti mengerti arti kata cinta. Cinta yang membara dapat membawa tubuh kita hangus tak menyisa. Anak-anak bintang yang bernama Kejora, apakah mereka jatuh dari cinta kepada Ibu Bumi? Ah, aku tak pernah paham atas cinta. Aku selalu gagal memilikinya. Namun, adakah yang lebih membahagiakan selain memiliki cinta dan larut dalam rasa debar-debar dalam hati karena cinta? Mungkin itu yang sedang dirasakan Nona Laut saat ini. O, Nona Laut, kuhadiahkan satu bintang jatuh untukmu seorang. Demi menemukan kembali cintamu, nelayanmu itu. Bawalah serta ia ke dalam dasar laut, untuk menemanimu selalu. Bercintalah dengan segenap jiwa dan rasa yang kalian miliki. O, Nona Laut, janganlah bersedih. Bahagialah dengan ribuan cinta di samudra mimpimu yang berwarna biru itu.

Tanpa terasa aku tertidur di bawah miliaran bintang, dininabobokan nyanyian pasukan ombak yang bergulung-gulung.

***

Cahaya Ibu Matahari yang bertengger di garis laut membangunkanku, ditambah jeritan suara burung-burung kakaktua putih berjambul kuning yang hidup liar di bukit belakang kampung. Suaranya ribut sekali, seolah dengan sengaja mereka membangunkan aku dari tidur.

Hamparan laut yang kembali berwarna biru sungguh indah disinari Ibu Matahari. Angin dari arah laut menyegarkanku dari kantuk. Di atasku ternyata ada pohon kelapa, betapa nikmatnya jika minum air kelapa di saat seperti ini. Baru saja kuucap keinginanku untuk minum air kelapa, tiba-tiba ada kelapa jatuh! Untung hanya satu butir dan tidak terkena kepalaku sendiri. Ah, nanti aku mau pinjam golok ke Mona untuk membuka kelapa ini dan meminumnya berdua dengan Mona.

Kubawa serta kelapa muda yang baru jatuh itu bersama langkah kakiku menuju rumah Mona. Dari kejauhan, rumah Mona terlihat ramai. Seperti dikerumuni para tetangganya. Aku penasaran dan mempercepat langkahku, ada apakah di sana sebenarnya?

“Mona!” panggilku ketika melihat sosoknya. Oh, ia sedang menangis. Kenapa dengan Mona? Kulihat ia berlari ke arahku, sambil menunjuk satu perahu. Milik ayahnya.

“Kakak Tita, perahu Bapak sudah kembali pulang tapi isinya kosong, tak ada Bapak.”

“Hah? Bapak Mona ke mana?” Aku coba menenangkan bahunya yang bergetar.

“Kata nelayan yang melihat di laut, Bapak dibawa Nona Laut. Bapak hilang, huhuhu,” isaknya.

“Apa? Hi-hilang?” Tiba-tiba aku teringat sesuatu, “Sya-syairku semalam!”

Ujungberung – Hill Top View, 28 Januari 2011

Foto diambil di Kampus Jatinangor pada 9 Februari 2011.

Kategori: Cerpen dan Tulisan.